tirto.id - Perkara yang terjadi pada 1946 itu cukup rumit lagi serius. Presiden Sukarno sampai merasa harus turut-campur dengan mencoba melakukan intervensi kepada hakim yang paling berwenang menanganinya, yakni Koesoemah Atmadja. Orang ini adalah Ketua Mahkamah Agung (MA) pertama dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia yang belum genap setahun merdeka.
Kasus yang ditangani Koesoemah Atmadja dan membuat Sukarno agak kelabakan itu adalah Soedarsono Case, yakni upaya menggulingkan pemerintahan yang dimotori oleh seorang petinggi militer bernama Mayor Jenderal Soedarsono (A. Massier, The Voice of the Law in Transition: Indonesian Jurists and Their Languages 1915-2000, 2008:188). Mayjen Soedarsono saat itu menjabat sebagai Panglima Divisi III di Yogyakarta.
Kudeta Pertama di Republik Baru
Yang menjadi sasaran kudeta pertama dalam riwayat RI itu bukanlah Sukarno selaku presiden, melainkan kabinet yang dipimpin Soetan Sjahrir sebagai perdana menteri. Tujuannya menginginkan sistem pemerintahan Indonesia kembali ke format presidensial di mana presiden berfungsi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Tanggal 26 Juni 1946, terjadi penculikan terhadap Sjahrir di Surakarta oleh kelompok oposisi yang menamakan diri Persatuan Perjuangan dengan Mayjen Soedarsono selaku penggerak utamanya, dibantu oleh 14 orang pimpinan sipil. Kelompok ini tidak puas pada upaya diplomasi yang dilakukan Kabinet Sjahrir dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari Belanda. Sjahrir pun mereka tahan di Boyolali.
Tan Malaka dituduh sebagai aktor kudeta ini--tuduhan yang hingga kini masih terus diperdebatkan. Menurut Asvi Warman Adam dalam Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia (2006:6), ada yang meyakini bahwa Tan Malaka yang memang sulit diketahui di mana rimbanya tidak terlibat langsung dalam peristiwa tersebut karena saat itu ia berada dipenjara di Tawangmangu, Jawa Tengah.
Nama Panglima Besar Jenderal Soedirman sempat pula terseret dalam perkara ini kendati nantinya ia selamat dari tudingan. Rosihan Anwar mencatat dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya (2011:67), Soedirman memang bersimpati kepada gerakan Persatuan Perjuangan yang diinisiasi Tan Malaka, lantaran ia juga tidak sepakat dengan jalur diplomasi yang dirasa kelewat lembek dalam menghadapi Belanda.
Akhirnya, drama ini berakhir dengan ditangkapnya Mayjen Soedarsono dan kolega-koleganya. Para pelaku kemudian diajukan ke Mahkamah Tentara Agung yang diketuai Koesoemah Atmadja.
Melawan Kehendak Presiden
S. Pompe menyebutkan dalam The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (2005:41), mereka yang terlibat kasus ini ternyata orang-orang yang dekat dengan Presiden Sukarno, termasuk M. Yamin. Sukarno yang dikisahkan murka ketika upaya kudeta 1946 itu terjadi, berusaha mendekati Koesoemah Atmadja.
Selain Mayjen Soedarsono dan M. Yamin, sejumlah tokoh lainnya juga dituduh terlibat. Mereka dikenal memiliki hubungan baik dengan presiden, di antaranya Iwa Kusuma Sumantri, Achmad Soebardjo, Budiarto Martoatmojo, Buntaran Martoatmojo, R. Muhammad Saleh, dan sejumlah tokoh lain.
Sukarno memang tidak frontal melakukan intervensi terhadap Koesoemah Atmadja atas perkara ini. Usaha memengaruhi dilakukan dengan cara halus yakni meminta Koesoemah Atmadja bertindak lebih “lembut” kepada para terdakwa.
Permintaan itu ditolak mentah-mentah Koesoemah Atmadja. Bahkan ia mengancam mundur dari jabatannya jika Presiden Sukarno mencampuri kasus tersebut. Baginya, independensi institusi kehakiman wajib terjaga dan tidak boleh diintervensi, bahkan oleh presiden sekalipun.
Pengadilan pun tetap digelar. Koesoemah Atmadja kemudian menjatuhkan vonis tegas. Mayjen Soedarsono dihukum 4 tahun penjara serta dipecat dan dicabut hak dan jabatannya di ketentaraan. Lama hukuman yang sama juga dijatuhkan kepada M. Yamin. Sementara Budiarto Martoatmojo kena bui selama 3 tahun 6 bulan. Adapun Achmad Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri masing-masing mendapat ganjaran 3 tahun penjara.
Berikutnya, Koesoemah Atmadja menjatuhkan hukuman penjara 2 tahun 6 bulan kepada R. Muhammad Saleh, sedangkan Buntaran Martoatmojo bakal menjalani kurungan selama 2 tahun (Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, 2005:72). Adapun 7 terdakwa lainnya dibebaskan karena tidak cukup bukti yang menguatkan bahwa mereka benar-benar terlibat.
Memimpin MA Hingga Akhir Hayat
Raden Soelaiman Effendi Koesoemah Atmadja berasal dari keluarga terpandang di Purwakarta, Jawa Barat, lahir pada 8 September 1898. Ia lulusan Rechtshcool (Sekolah Tinggi Kehakiman) pada 1913. Sempat bekerja sebagai pegawai pembantu pengadilan di Buitenzorg (Bogor), ia mendapat beasiswa ke Universitas Leiden, Belanda, dan meraih gelar doktor pada 1922 setelah menuntaskan disertasinya.
Pulang ke tanah air, Koesoemah Atmadja menjalani profesinya sebagai penegak hukum di berbagai kantor pengadilan kolonial Hindia Belanda. Menurut D.H. Meyer dalam Japan Wint den Oorlog: Documenten Over Java (1946:86), ketika Indonesia diduduki pemerintah militer Jepang sejak 1942, ia diangkat menjadi Ketua Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) di Semarang. Pada 1944, Koesoemah Atmadja menjabat sebagai Pemimpin Kehakiman Jawa Tengah.
Menjelang kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya melawan Sekutu, Koesoemah Atmadja terpilih menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945. Dan, tak lama setelah Indonesia merdeka, Presiden Sukarno mempercayakan jabatan Ketua Mahkamah Agung (MA) yang baru saja dibentuk kepadanya.
Penolakan Koesoemah Atmadja atas “permintaan” Sukarno terkait proses pengadilan terhadap orang-orang yang terlibat peristiwa kudeta 3 Juli 1946 itu menarik dicatat. Apalagi Sukarno juga tidak memaksakan kehendaknya dan justru melunak dan membiarkan pengadilan bekerja secara independen. Selaku presiden, ia menyadari republik yang baru seumur jagung ini membutuhkan penegak hukum seperti Koesoemah Atmadja yang saat itu masih sangat langka di Indonesia.
Sukarno memilih jalan halus dengan merelakan orang-orang dekatnya menjalani sanksi yang diputuskan Koesoemah Atmadja untuk sementara. Dan hanya dalam waktu 2 tahun, mereka yang dipenjara karena terlibat kudeta dibebaskan melalui pemberian grasi oleh presiden pada 17 Agustus 1948 (Yuanda Zara, Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia, 2009:249).
Koesoemah Atmadja sendiri sangat setia kepada republik yang kemudian menempatkan Sukarno sebagai presiden. Ia pernah ditawari memimpin Negara Pasundan bentukan Belanda sebagai Wali Negara pada 1947, tapi ditampiknya dengan tegas (Album Pahlawan Bangsa, 1983:41). Pada 1948, dari 23 hakim senior, hanya 9 orang yang tetap bertahan bersama republik, Koesoemah Atmadja adalah salah satunya.
Meskipun berwatak keras dan teguh pendirian sampai berani menolak kehendak presiden, Koesoemah Atmadja nyatanya tetap dipercaya oleh Sukarno. Ia langgeng menjabat sebagai Ketua MA sejak 1945 hingga akhir hayatnya. Koesoemah Atmadja wafat di Jakarta pada 11 Agustus 1952, tepat hari ini 68 tahun silam.
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 12 Agustus 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Zen RS & Irfan Teguh Pribadi