tirto.id - Sejak 1926, seperti disebut dalam Memoar Perjoangan Menegakkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 (1985:176), Raden Panji Soedarsono sudah jadi pembantu inspektur polisi di kantor polisi Gondangdia. Ia lulusan sekolah polisi di Sukabumi.
Sebelum masuk sekolah polisi, Soedarsono yang lahir pada 6 Aoril 1903 itu terlebih dulu sekolah di MULO. Kariernya cukup cemerlang, antara 1939 hingga 1942 ia menjadi kepala urusan reserse dan kriminal di kantor Polisi Yogyakarta dengan pangkat inspektur kelas satu.
Pada zaman pendudukan Jepang, Soedarsono dijadikan pengajar di sekolah polisi di Sukabumi selama setahun. Setelah itu, tepatnya pada September 1944 ia kembali ke Yogyakarta. Dan setahun berikutnya ia dijadikan Kepala Polisi Yogyakarta dengan pangkat komisaris kelas satu.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, seperti disebut dalam buku Yogya, Benteng Proklamasi (1985:53), Soedarsono memimpin penyerbuan terhadap tentara Jepang dalam pertempuran di Kotabaru, Yogyakarta.
Muhammad Yamin dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3 (2008:170) karya Harry Poeze menyebut Soedarsono sebagai pahlawan Kotabaru. Ia menyebutnya selain sosok yang berpengaruh, Soedarsono juga seorang pemberani.
Waktu tentara Inggris membuat gangguan di Magelang, seperti dicatat Moekhardi dalam Bunga Rampai Sejarah Indonesia: dari Borobudur hingga Revolusi Nasional (2019:80), Soedarsono bersama Soeharto segera menuju Magelang. Kala itu, Soedarsono sebagai pemimpin polisi dan Soeharto dari Tentara Keamanan Rakjat (TKR).
Akhir 1945, Soedarsono bergabung dengan TKR dengan pangkat Jenderal Mayor. Bulan Mei 1946, ia memimpin Divisi III yang bertanggungjawab atas wilayah Yogyakarta, Kedu, dan Pekalongan. Kepala Staf Divisi III dijabat oleh Oemar Joi, sementara Letnan Kolonel Soeharto sebagai salah satu komandan resimennya.
Suatu hari, Soeharto yang tengah berada di markas resimennya di Wiyoro, Yogyakarta, kedatangan Ketua Pemuda Pathuk, Sundjojo, yang menjadi utusan Istana membawa pesan dari Presiden Panglima Tertinggi APRI.
"Dari Sundjojo saya memperoleh penjelasan mengenai keadaan negara, yang sedang terancam oleh perebutan kekuasaan di mana Jenderal Mayor Sudarsono terlibat, dan saya diperintahkan menangkapnya,” kata Soeharto dalam autobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).
Bagi Soeharto, perintah untuk menangkap Soedarsono adalah gagasan gila. “Di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti tertulis?” Soeharto membatin.
Tak lama kemudian utusan lain dari Istana datang membawa surat perintah dari Presiden Sukarno yag isinya sama dengan yang sampaikan Sundjojo. Posisi Soeharto pun kian sulit. Ia akhirnya memutuskan untuk mengembalikan surat perintah itu dan meminta dikembalikannya lewat Jenderal Sudirman. Meski demikian, selama proses pengembalian surat itu berjalan, Soeharto menyiagakan resimennya agar siap bergerak untuk mengamankan ibukota.
Soeharto kemudian menerima telepon dari Sundjojo yang menyampaikan bahwa ia telah melapor kepada presiden. Sukarno yang kesal menyebut Soeharto sebagai opsir koppig (keras kepala). Soeharto rupanya punya cara sendiri untuk mengamankan negara.
”Setelah mengeluarkan perintah siaga penuh pada batalion-batalion dari Resimen III, segera saya menghadap Panglima Divisi Mayor Jenderal Soedarsono. Saya tidak melaporkan bahwa ada perintah untuk menangkap, tetapi yang saya laporkan ialah adanya informasi tentang laskar pejuang yang belum jelas,” kata Soeharto.
Ia bahkan mengatakan bahwa ada usaha pihak tertentu untuk menculik Mayor Jenderal Soedarsono. Oleh karena itu Soeharto menyarankan agar Soedarsono tinggal di markas resimen Wiyoro bersamanya.
”Sekeluarnya dari mobil, beliau (Soedarsono) menunjukkan surat telegram dari Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang isinya menyebutkan harus menghadap segera. Saya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memberikan pengawalan dengan satu peleton berkendaraan truk,” imbuhnya.
Selepas waktu Isya, Soeharto menerima telepon dari Jenderal Sudirman yang mengabarkan bahwa Soedarsono akan bertahan di Wiyoro. Tengah malam Soedarsono pun datang ke Wiyoro bersama sejumlah pemimpin politik yang dikeluarkan dari Rumah Tahanan Wirogunan. Kepada Soeharto ia berkata bahwa "telah memperoleh kuasa dari Panglima Besar untuk besok pagi menghadap Presiden Soekarno di Istana.”
”Wah, keterlaluan panglima saya ini, dikira saya tidak mengetahui persoalannya. Saya mau diapusi (dibohongi). Tidak ada jalan lain, selain balas ngapusi (membohongi) dia,” kata Soeharto.
Malam hari tanggal 2 Juli 1946, Soeharto menginformasikan ke Istana tentang yang apa sedang terjadi di Wiyoro dan apa yang akan terjadi di Istana. Kepada pihak Istana, Soeharto mempersilakan ”menangkap sendiri” Jenderal Mayor Soedarsono.
Esoknya, 3 Juli 1946, Soedarsono dan rombongan berangkat menuju istana menggunakan sedan dan truk di bawah kawalan Sersan Gudel. Setibanya di Istana Gedung Agung, di sisi selatan Jalan Malioboro, seperti dicatat Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007:5), agen yang ditempatkan Zulkifli Lubis berhasil menangkap dan melucuti senjata Soedarsono dan rombongannya.
Sementara menurut versi Memet Tanumidja dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian (1971:55), Inspektur Polisi kelas dua Mardjaman dan Pembantu Inspektur Polisi kelas dua Winarso yang menggagalkan kelompok itu. Soedarsono dan para politisi yang terlibat--di antaranya dekat dengan Tan Malaka--kemudian mendapatkan hukuman singkat tanpa kerusakan nama baik seperti pelaku G30S.
Setelah peristiwa itu, Soedarsono tak lagi dinas di ketentaraan, melainkan melanjutkan kariernya di kepolisian. Seperti disebutkan dalam Memoar Perjoangan Menegakkan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 (1985:176), Soedarsono pernah belajar ke Thailand dan Italia. Warsa 1954, ia juga pernah belajar ke US Coast Guard (Penjaga Pantai Amerika Serikat).
Menurut Memet Tanumidja (1971:74), tahun 1951 Soedarsono adalah kepala bagian Polisi Perairan. Kesatuan ini kemudian berkembang menjadi Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud).
Editor: Irfan Teguh