Menuju konten utama

Sejarah Kenaikan Gaji PNS Era Soeharto: Tak Dilakukan Jelang Pemilu

Soeharto beberapa kali menaikkan gaji pegawai. Namun dia bukan tipe penguasa yang melakukannya jelang pemilu.

Sejarah Kenaikan Gaji PNS Era Soeharto: Tak Dilakukan Jelang Pemilu
Soeharto dan uang pecahan Rp50.000 bergambar dirinya. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sugiri adalah salah dari sekian ribu pegawai negeri sipil di zaman Soeharto. Sugiri menikmati indahnya naik gaji. Sebagai manusia Pancasila, sudah seharusnya puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dia ungkapkan. Tak hanya itu, dia pun melayangkan ucapan terima kasihnya kepada Presiden.

“Selanjutnya kami beritahukan, rapel kenaikan gaji pensiunan sebe­sar 15% dari gaji pokok telah kami terima tanggal 4 Juli 1998 di kantor pos cabang stasiun Tg. Priok Jakarta Utara. Kami haturkan banyak terima kasih, sebab Bapak yang mengusulkan kenaikan gaji pegawai negeri, ABRI, dan sipil,” tulis Sugiri seperti dilampirkan dalam Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998 (1999: 612).

Sugiri tentu bukan satu-satunya pegawai negeri atau ABRI yang berbahagia dan berterimakasih kepada Soeharto. Di tahun-tahun terakhir Orde Baru, Soeharto rupanya berusaha menaikkan gaji. Dalam sejarah, bukan sekali dua kali Soeharto menaikkan gaji abdi negaranya, baik PNS maupun anggota ABRI.

Meski merasa tak dekat lagi dengan pimpinan ABRI pada 1990-an, Soeharto berusaha terus mendekatkan diri dengan ABRI. Jika sulit bermain dengan pucuknya, tidak ada salahnya jika terus bermanis dengan serdadu-serdadu bawahannya.

Tak hanya dengan ABRI, Soeharto merasa perlu untuk peduli kepada para PNS. Pada 1989 gaji ABRI dan PNS dinaikkan. Soeharto tentu tahu, naik gaji adalah kabar gembira bagi PNS, ABRI, dan keluarga mereka.

Naik Setelah Pemilu

Sebagai politikus, Soeharto tentu ingin selalu menaikkan gaji para abdi negara untuk mendapat dukungan politik dari mereka. Namun apa boleh buat, kemampuan keuangan negara tidak memungkinkannya. Jika keuangan negara terbatas, sulit menunaikan kehendaknya itu kepada ABRI dan PNS.

Dalam artikel "Keterangan Pemerintah Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 1989/1990" yang disiarkan koran Angkatan Bersenjata (9/1/1989) dan bisa ditemukan di buku Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto Dalam Berita XI 1989 (2008), Soeharto menyebut, “karena kemampuan keuangan negara yang terbatas, gaji pegawai dan anggota ABRI sudah beberapa tahun tidak dinaikkan, walaupun pemerintah menyadari bahwa harga-harga kebutuhan hidup telah naik sebagaimana tercermin dalam laju inflasi” (hlm. 42-43).

Tak lupa Soeharto memuji pada abdi negara yang menghadapi masa sulit dengan ketabahan dan tetap disiplin demi prestasi kerja. Selain itu, tanpa kerja para pegawai negeri, maka Indonesia sulit meraih kemajuan.

“Untuk itu, dari mimbar ini, saya ingin menyampaikan penghargaan saya yang tinggi dan terimakasih saya yang sangat dalam kepada semua pegawai negeri sipil dan anggota ABRI,” kata Soeharto. “[...] dewasa ini pun, kemampuan keuangan negara masih terbatas. Namun, pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk selalu memperbaiki kesejahteraan pegawai negeri sipil dan anggota ABRI beserta keluarganya.”

Menurut Soeharto pula, abdi negara yang sejahtera akan membuat mereka semakin fokus bekerja.

Kenaikan gaji ini dilakukan Soeharto setelah Pemilu 1987 berlalu. “Banyak orang berhitung, kenapa menjelang pemilu ini gaji tidak dinaikkan. Saya kira Presiden justru ingin menunjukkan bahwa pemilu yang akan datang tidak dikampanyekan lewat APBN,” puji Sabam Sirait, anggota Dewan Pertimbangan Agung dan bekas Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia, seperti dirilis Antara (6/1/1987). Dari awal 1989 itu, gaji PNS dan ABRI naik 10 persen.

Rencana kenaikan gaji ini sudah dibicarakan dari tahun sebelumnya, ketika menyampaikan Rancangan APBN 1988/1989. Kepada DPR, Soeharto menyatakan, “Pemerintah akan mengusahakan dengan sungguh-sungguh perbaikan atau tambahan gaji dan kesejahteraan pegawai negeri pada umumnya apabila peluang untuk benar-benar terbuka sepanjang pelaksanaan tahun anggaran 1988/1989 yang akan datang.”

Soeharto melanjutkan, "Pengeluaran pembangunan yang berjumlah Rp 13 trilyun terdiri dari pembiayaan rupiah Rp 3,6 trilyun, dan bantuan proyek Rp 9,5 trilyun. Jika dibandingkan dengan APBN yang sekarang, jumlah pengeluaran pembangunan naik dengan lebih dari Rp 4 trilyun atau sekitar 47 persen. Suatu kenaikan pengeluaran pembangunan yang cukup besar."

Infografik Soeharto Pendongkrak Gaji Tanpa Tanda Jasa

undefined

Soeharto Dikenang, Pendukungnya Kenyang

Di tahun emas kemerdekaan Republik Indonesia, 1995, Soeharto mewacanakan kenaikan gaji lagi. Kala itu Pemilu 1992 juga sudah berlalu dan Pemilu berikutnya akan dilakukan pada 1997. Presiden mengajukan RAPBN 1995/1996 dengan kenaikan 11,9 Persen di dalamnya.

Soeharto berusaha menaikkan gaji sebesar 10 persen bagi PNS dan ABRI. Soal kenaikan itu, Soeharto, seperti dirilis Business News (6/1/1995) dan dimuat dalam Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita XVII 1995, menyebut bahwa “[...] kenaikan itu akan dilakukan dalam dua tahap. Kenaikan gaji pegawai negeri golongan I dan II akan mulai berlaku sejak bulan Januari 1995 [...] ada pun kenaikan gaji pegawai golongan III dan IV akan berlaku sejak April 1995 nanti, bersamaan dengan dimulainya tahun anggaran baru” (hlm. 29).

Di masa Orde Baru berjaya, partai semu pendukung Soeharto, Golongan Karya (Golkar), dianggap sebagai pihak yang juga berjasa dalam menyejahterakan PNS dan ABRI. Setidaknya ada istilah “Beras Golkar.” Waktu Pemilu tiba, seorang PNS atau ABRI bisa mendoktrin anggota keluarganya bahwa Golkar lah yang memberi mereka makan.

Memilih Golkar sudah pasti memantapkan berkuasanya Soeharto. Dalam pikiran mereka, Soeharto adalah orang yang berjasa menaikkan gaji dan tunjangan. Dengan kata lain: Soeharto dikenang, pendukungnya kenyang.

Begitulah Soeharto dan Golkar mengamankan akar rumput abdi negara, ketika para pucuknya agak sulit dipercaya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan