tirto.id - Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 4 tokoh di Istana Negara, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Penganugerahan ini diberikan bersamaan perayaan Hari Pahlawan yang jatuh setiap 10 November. Keempat tokoh itu yakni Tombolotutu dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur, Raden Aria Wangsakara dari Banten, dan Usmar Ismail dari DKI Jakarta.
Nama terakhir sudah jamak dikenal sebagai Bapak Perfilman Nasional. Meski bukan kombatan, Usmar Ismail (1921-1971) lewat film Lewat DjamMalam (1954) berhasil menyuguhkan kritik bernas terhadap penumpang gelap revolusi.
Lewat Djam Malam bercerita tentang Iskandar, bekas letnan pejuang, yang menembak seorang kontraktor bernama Gunawan. Dulu semasa Revolusi, Gunawan ternyata adalah atasan Iskandar.
Gunawan digambarkan sebagai pejuang yang licik. Dia tak segan memerintahkan anak buahnya, termasuk Iskandar, untuk membunuh orang sipil yang dituduh mata-mata. Rupanya itu hanya dalih supaya Gunawan bisa menyikat harta si tertuduh dan menjadikannya modal bisnis. Dengan itu, Usmar Ismail hendak menyampaikan bahwa Angkatan 45 dan Revolusi tak sepenuhnya suci.
Usmar Ismail sangat berpengaruh dalam sejarah perfilman Indonesia pascakemerdekaan. Selain Lewat Djam Malam, film terkenal yang pernah digarapnya antara lain Darah dan Doa (1950), Tiga Dara (1956), Pedjuang (1960), Toha, Pahlawan Bandung Selatan (1961), dan Anak Perawan di Sarang Penjamun (1962). Film Darah dan Doakemudian dianggap sebagai tonggak bangkitnya perfilman Indonesia.
Usmar Ismail jadi sutradara film sejak Indonesia masih berperang melawan Belanda. Untuk mewujudkan filmnya, dia bahkan rela tinggal sementara di Jakarta yang sedang diduduki oleh tentara Belanda. Semasa di Jakarta itu, Usmar dengan diproduseri South Pasific Film Corporation menghasilkan dua film, yaitu Harta Karun dan Tjitra (1949).
“Tetapi saya tidak dapat mengatakan bahwa kedua film itu adalah film saya karena waktu penulisan dan pembuatannya saya banyak sekali harus menerima petunjuk-petunjuk yang tidak selalu saya setujui dari pihak produser,” kata Usmar Ismail seperti dicatat Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang Yang Wafat (2002, hlm. 218).
Usmar kemudian merintis berdirinya Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pada 1950. Dia pun sekaligus menjadi pimpinannya. Rosihan Anwar mencatat alat produksi film yang dipakai Perfini adalah alat bekas milik Studio Multifilm. Izin untuk mengakses alat-alat itu diperolehnya dari Menteri Penerangan Mr. Syamsuddin.
Usmar Ismail sadar belaka bahwa para sineas Indonesia musti pegang kendali atas alat produksinya, sekali pun itu alat bekas. Usmar Ismail, seperti disebut Rosihan Anwar, juga tak mempermasalahkan keterbatasan peralatan. Proses produksiDarah dan Doa, misalnya, dilakukan dengan kamera Akeley bekas. Dia pun rela mengangkut kamera itu dengan oplet yang tak kalah bututnya dari Jakarta ke lokasi pengambilan gambar di Subang.
Karena perjuangan macam itu, tak heran jika kemudian hari pertama syuting film itu, 30 Maret 1950, lalu ditetapkan sebagai Hari Film Nasional.
Riwayat
Usmar Ismail lahir pada 20 Maret 1921 dalam lingkungan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang guru sekolah dasar Hollandsch Inlandsch School (HIS). Di luar kedinasan, ayahnya juga seorang penulis buku soal Minangkabau.
Karena posisi orang tuanya, Usmar jadi bisa bersekolah lebih dari layak untuk ukuran pemuda di zamannya. Rosihan Anwar menyebut Usmar pernah bersekolah di HIS Batusangkar, MULO Padang, dan kemudian AMS Bagian Klasik Barat di Yogyakarta.
Usmar mulai menulis syair dan drama sejak remaja. Di zaman Pendudukan Jepang dia bekerja di Pusat Kebudayaan bagian sandiwara. Bersama kakaknya, dokter Abu Hanifah, serta iparnya, Rosihan Anwar, Usmar mendirikan kelompok sandiwara amatir bernama Maya yang aktif antara 1944-1945. Kelompok Maya pernah manggung di Gedung Kesenian Jakarta.
Kala Revolusi Kemerdekaan berkecamuk, Usmar Ismail termasuk orang yang hijrah dari Jakarta ke ibu kota baru Yogyakarta. Rosihan Anwar bersaksi, Usmar pernah dilibatkan dalam operasi intelijen yang dipimpin Kolonel Zulkifli Lubis.
Kala itu, dia diberi pangkat mayor. Usmar disebut pula menjalankan mingguan Patriot dan majalah Tentara. Pada pertengahan 1948, Usmar pindah ke Jakarta dan tinggal bersama Rosihan Anwar di Jalan Pegangsaan nomor 6. Usmar lalu bekerja untuk kantor berita Antara yang menjadi corong Republik Indonesia.
Ketika berada di Jakarta, Komisaris Polisi Yassin pernah mendatangi rumah mereka. Yassin kala itu termasuk polisi senior yang amat berpengalaman. Dia dulu pernah jadi polisi khusus di zaman Hindia Belanda,lalu jadi polisi Jepang, dan sempat pula jadi polisi NICA waktu Belanda berkuasa lagi di Jakarta.
Gara-gara keterlibatannya dengan intelijen Indonesia, Usmar lalu ditahan oleh satuan intelijen Belanda. Usmar ditahan di penjara Cipinang tanpa pernah diadili. Setelah dibebaskan dari penjara itulah kariernya di dunia film dimulai. Dia mulanya bekerja di South Pasific Film Corporation sebagai sutradara dan lalu jadi produser setelah tentara Belanda angkat kaki dari Jakarta.
Jatuh Bangun
Bikin film di era pascaperang bukanlah hal mudah, terlebih perkara biaya. Untunglah Usmar Ismail dapat banyak bantuan selama tahun-tahun awal berdirinya Perfini. Misalnya, Perfini pernah bekerja sama dengan Bank Nasional dan Komando Daerah Militer (Kodam) Mulawarman.
Perfini bekerja sama dengan Kodam Mulawarman kala dipimpin oleh Kolonel Suhario Padmodiwirio alias Hario Kecik. Pada 1963, film Tangan-tangan Jang Kotor hasil kolaborasi kedua institusi itu rilis.
J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 (2005, hlm. 65) menyebut sutradaranya adalah Sundjoto Adibroto, sementara ide ceritanya berasal dari dari Kolonel Suhario. Film itu kemudian dapat penghargaan dalam Lumumba Award dan Bandung Award.
Tak hanya menyutradarai film, Usmar Ismail juga seorang pencari bakat yang jeli. Dia dianggap banyak menemukan bakat alam untuk perfilman Indonesia. Buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1981, hlm. 247) menyebut Usmar Ismail juga ikut mendidik kader-kader perfilman dan mengajak mereka ikut dalam filmnya.
Banyak dari anak didik Usmar yang kemudian meroket namanya sebagai aktris maupun aktor. Mereka yang pernah diroketkan kariernya oleh Usmar antara lain Indriati Iskak, Mieke Widjaja, Suzanna, Nurbani Yusuf, Lenny Marlina, Rendra Karno, Bambang Hermanto, dan Achmad Nungcik Alcaf. Nama terakhir adalah pemeran Iskandar dalam film Lewat Djam Malam.
Setelah pulang dari Amerika, pada 1955, Usmar—bersama Asrul Sani—mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Tak hanya itu, dia juga mengorganisasi para pengusaha film ke dalam Persatuan Pengusaha Film Indonesia.
Tak hanya cakap bikin film, pria yang tutup usia pada 2 Januari 1971 ini juga berperan dalam menyuburkan komunitas film. Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (hlm. 248) menyebut Usmar adalah tokoh di balik penyelenggaraan Musyawarah Film Nasional untuk membina industri film. Pada 1959, dia juga aktif dalam gerakan perlawanan terhadap impor film yang berlebihan. Sejak 1967, dia aktif sebagai ketua Badan Musyawarah Perfilman Nasional (BMPN).
Usmar Ismail yang idealis pernah menolak politisasi film yang dicanangkan rezim Sukarno lewat Manifesto Politik. Dia salah satu anggota DPR-GR (1966-1969) yang menolak pidato pertanggungjawaban Sukarno yang kemudian menandai awal lengsernya Sukarno dari kursi presiden.
Usmar yang pernah jadi bagian Nahdatul Ulama (NU). Dia tercatat sebagai pimpinan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi).
Editor: Fadrik Aziz Firdausi