Menuju konten utama

Sejarah Hari Bumi yang Jadi Google Doodle 22 April 2018

Hari Bumi 2018 fokus pada gerakan untuk mengakhiri penggunaan plastik sekali pakai yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia.

Sejarah Hari Bumi yang Jadi Google Doodle 22 April 2018
Mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Pencinta Alam melakukan aksi menyambut Hari Bumi di depan Kampus Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (21/4). Antara Foto/Sahrul Manda Tikupadang.

tirto.id - Hari ini, 22 April 2018, Google Doodle memperingati Hari Bumi dengan mengangkat sosok Jane Goodall. Peringatan Hari Bumi pertama kali dilakukan pada 1970, sebagai hari untuk mengenal isu-isu lingkungan. Gagasan tersebut muncul pada awal 1960-an di Amerika Serikat, ketika orang-orang mulai sadar tentang efek pencemaran lingkungan.

Isu pencemaran lingkungan ini juga diangkat dalam buku karya Rachel Carson berjudul Silent Spring yang terbit pada 1962. Buku ini berkisah soal bahaya pestisida di perdesaan Amerika.

Beberapa tahun setelahnya, terjadi kebakaran besar di Sungai Cuyahoga, Cleveland yang disebabkan oleh pembuangan limbah kimia ke sungai. Beberapa peristiwa tersebut kemudian mendorong orang untuk melindungi sumber daya alam.

Pada 1969, mulai bermunculan aktivis peduli lingkungan yang fokus pada isu-isu pencemaran lingkungan berskala besar, seperti polusi udara yang disebabkan pabrik dan pembuangan limbah yang belum diatur secara ketat. Hanya sedikit masyarakat Amerika pada tahun itu yang mengenal istilah daur ulang.

Senator Gaylord Nelson, yang terpilih di Senat AS tahun 1962, bertekad untuk meyakinkan pemerintah bahwa planet bumi berada dalam bahaya. Pada 1969, Nelson kemudian menjadi salah satu orang yang mengembangkan gagasan Hari Bumi.

Nelson mengumumkan konsep Hari Bumi di sebuah konferensi pers di Seattle pada musim gugur 1969. Dennis Hayes, seorang aktivis muda yang pernah menjabat sebagai presiden mahasiswa di Universitas Stanford, terpilih sebagai koordinator nasional Hari Bumi.

Hayes bekerja bersama para relawan mahasiswa dan beberapa anggota staf dari kantor Senat Nelson untuk mengatur proyek Hari Bumi tersebut.

Menurut Nelson, seperti dikutip dari History, "Hari Bumi bisa terwujud karena respons spontan dari level akar rumput. Kami tidak punya waktu atau sumber daya untuk mengelola 20 miliar demonstran, ribuan sekolah dan komunitas lokal yang berpartisipasi. Itulah yang luar biasa dari Hari Bumi, ia mengorganisasikan dirinya sendiri."

Selama tahun 1970-an, sejumlah undang-undang lingkungan disahkan, di antaranya UU Udara Bersih, UU Peningkatan Kualitas Air, UU Spesies Terancam Punah, UU Pengawasan Zat Beracun dan Pertambangan, serta UU Reklamasi.

Selain itu, pada Desember 1970 dibentuk Badan Perlindungan Lingkungan, yang bertugas melindungi kesehatan manusia dan menjaga lingkungan alam, termasuk udara, air dan tanah.

Sejak saat itu, peringatan Hari Bumi terus tumbuh dan dikenal dunia. Pada tahun 1990, Hari Bumi diikuti 200 juta orang di lebih dari 140 negara, menurut Earth Day Network (EDN), sebuah organisasi nirlaba yang mengkoordinasikan kegiatan Hari Bumi.

Menurut EDN, saat ini lebih dari 1 miliar orang terlibat dalam kegiatan Hari Bumi, yang menjadikannya "acara sosial terbesar di dunia."

EDN mengumumkan bahwa Hari Bumi 2018 fokus pada program "Mengakhiri Polusi Plastik". EDN mendorong dibuatnya peraturan global soal penggunaan plastik sekali pakai. Menurut organisasi ini, plastik berdampak buruk bagi kesehatan manusia, hewan dan mencemari air serta tanah.

Plastik yang terdapat di makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia berdampak buruk bagi hormon yang berpengaruh pada pubertas dini. EDN ingin mengakhiri penggunaan plastik sekali pakai dan menggantinya dengan alternatif lain yang berbahan dasar fosil.

Gerakan ini juga mengajak untuk memakai plastik 100 persen daur ulang dan mendorong pemerintah untuk menanamkan pemahaman kepada masyarakat soal bahaya plastik sekali pakai.

Baca juga artikel terkait HARI BUMI atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra