tirto.id - Pada 1 Maret 1949, tepat hari ini 72 tahun lalu, terjadilah serbuan militer kilat oleh pasukan Republik terhadap pos-pos Belanda yang kelak tercatat secara spesial dalam sejarah Indonesia. Serbuan itu, yang dikenal dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949, meletus di Yogyakarta dan dianggap sebagai pembuktian masih eksisnya negara Indonesia. Serangan tersebut mampu memukul mundur tentara Belanda dari Yogyakarta dalam enam jam.
Sebelumnya, sejak Desember 1948, serangan penjajah Belanda melalui Agresi Militer II membuat kondisi Republik dalam kesulitan. Bahkan, sebagai propaganda, Belanda mengumumkan TNI sudah tidak ada. Saat itu mulai dari presiden, wakil presiden, hingga anggota kabinet tidak mampu berbuat banyak. Harapan yang tersisa adalah awak militer dan anggota laskar perjuangan.
Di satu sisi, menurut laman Museum Vrederburg, Dorodjatun alias Hamengkubuwana IX, selaku raja Keraton Yogyakarta, mengirimkan surat kepada Jenderal Soedirman agar diadakan serangan. Sang Panglima Besar lalu meminta HB IX berkomunikasi dengan Komandan Brigade 10/Wehrkreise III Letkol. Soeharto.
TNI beserta petingginya memilih tidak menyerah dan melakukan Operasi Gerilnya Rakyat Semesta. Operasi ini terdiri dari berbagai elemen seperti TNI, laskar, dan rakyat bersenjata yang berusaha melakukan serangan balik. Seperti tertulis dalam laman Kemdikbud, para pasukan menyingkir ke bukit, lembah, dan pelosok. Semua pasukan menunggu instruksi untuk melakukan penyerangan. Sementara para petinggi militer dan pimpinan pemerintahan setempat sepakat mengambil alih kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949.
Perang dilakukan secara gerilya pukul 18.00 waktu setempat. Sirene dinyalakan sebagai tanda dilakukannya serangan. Seketika para pasukan TNI menyerang semua tentara Belanda yang ditemui di setiap sudut kota. Dalam perang yang terbilang singkat, yaitu selama enam jam, Belanda mampu dilumpuhkan dan mereka meninggalkan pos-pos militer.
Harta rampasan berupa persenjataan menjadi tambahan logistik untuk TNI. Lalu, pasukan TNI diminta mengosongkan Yogyakarta menuju pangkalan gerilya tepat pada pukul 12.00 siang keesokan harinya.
Serangan umum 1 Maret 1949 membawa arti penting bagi posisi Indonesia di mata internasional. Selain membuktikan eksistensi TNI, Indonesia memiliki posisi tawar melalui perundingan di Dewan Keamanan PBB. Perlawanan singkat tersebut juga turut mempermalukan Belanda.
Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949
Ada satu fragmen menarik di sekitar peristiwa monumental tersebut. Soeharto, yang seharusnya menjalankan tugas dalam perang melawan Belanda itu, justru sedang asyik jajan soto babat.
Kejadian itu diceritakan kembali oleh Abdul Latief, salah seorang anak buah Soeharto ketika Serangan Umum 1 Maret 1949 dilancarkan. Latief, dalam tulisannya berjudul “Laporan tentang Dewan Jenderal kepada Jenderal Soeharto” yang dimuat di laman penerbit HastaMitra, mengungkapkan:
“[...] pada penyerangan total kota Yogyakarta dan terkenal enam jam di Yogyakarta, pasukan saya mendapat kepercayaan untuk menduduki daerah sepanjang Malioboro, mulai dari Stasiun Tugu sampai Pasar Besar Yogyakarta [Beringharjo].”
Soeharto yang saat itu berpangkat letnan kolonel dan menjabat sebagai Komandan Wehrkreise atau komandan di daerah pertahanan, seharusnya bertugas memantau pasukan Latief dari markas komando yang terletak di Kuncen, kampung yang berjarak tidak seberapa jauh dari medan pertempuran.
Abdul Latief dan pasukannya terdesak, terkepung tentara Belanda yang melancarkan serangan balik dengan amat agresif. Beruntung, Latief bisa lolos dari kepungan itu kendati cukup banyak prajuritnya yang menjadi korban.
Sebanyak 52 orang, yang terdiri dari prajurit dan pemuda gerilya di bawah pimpinan Latief, terbunuh oleh Belanda, sedangkan 12 lainnya mengalami luka-luka. Latief dan sisa-sisa pasukannya dengan susah-payah mundur, berupaya kembali ke markas komando di mana Soeharto berada.
“Kira-kira pada jam 12.00 siang hari, bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol Soeharto di markas, rumah yang saya tempati sebagai markas gerilya, waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya,” ungkap Latief.
Kesaksian Abdul Latief
Tanpa mengajak ikut menyantap soto babat, sekalipun hanya sekadar basa-basi, tulis M. R. Siregar dalam buku Tragedi Manusia dan Kemanusiaan (2007), Soeharto segera memerintahkan Latief kembali berperang, menggempur tentara Belanda yang masih ada di sekitar daerah itu.
“Kami segera melaporkan tugas kewajiban saya. Kemudian beliau masih memerintahkan lagi supaya menggempur pasukan Belanda yang sedang berada di kuburan Kuncen Yogyakarta, letaknya hanya beberapa ratus meter dari markas gerilya saya itu,” kenang Latief.
Latief juga menceritakan hal ini kepada Soebandrio, mantan Wakil Perdana Menteri RI. Dalam bukunya berjudul Kesaksianku Tentang G-30-S (2000), Soebandrio mengungkap kembali penuturan Latief:
“Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah, mereka berjumpa Soeharto. Apa yang dilakukan Soeharto? Dia sedang santai makan soto babat,” tulis Soebandrio.
Soeharto—yang nantinya menjadi presiden—dicatat dalam buku-buku sejarah terbitan masa Orde Baru sebagai inisiator sekaligus pemimpin pertempuran bersejarah itu. Meskipun jika cerita Latief benar adanya, sang komandan justru sedang bersantap ria saat puluhan anak buahnya bertaruh nyawa di medan laga.
Selain itu, historiografi zaman Orde Baru dan film tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 juga tidak terlalu menonjolkan peran HB IX. Menurut Krishna Sen dalam Indonesian Cinema: Framing the New Orde (1994), sang raja hanya menjadi pengamat pasif. Padahal ia cukup aktif menunjukkan perhatian dan simpatinya dalam usaha tentara melawan penjajah Belanda.
Editor: Ivan Aulia Ahsan