Menuju konten utama
1 Maret 1949

Propaganda Soeharto dan Serangan Umum 1 Maret 1949

Selama Orde Baru, kepahlawanan Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 terlalu dibesar-besarkan. Ia melegitimasi perannya lewat film-film propaganda.

Ilustrasi Mozaik Serangan 1 Maret 1949. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Kapten Abdul Latief dan segelintir prajurit yang tersisa beruntung bisa meloloskan diri dari kepungan tentara Belanda pada 1 Maret 1949 itu. Dua orang anak buahnya gugur, 12 orang lainnya mengalami luka-luka. Sementara 50 orang pemuda dari laskar gerilya kota tewas tertembus peluru, kemudian dikuburkan di makam tak bernama di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta.

Dengan berlumuran darah dan nafas terengah-engah, mereka terpaksa mundur dari ajang pertempuran dalam serangan umum tersebut. Tujuannya adalah markas gerilya di daerah Kuncen, sisi barat Kota Yogyakarta, yang juga menjadi tempat tinggal sementara Latief dan kawan-kawan selama perang.

Tiba di markas, Latief dan pasukannya yang berjumlah tidak lebih dari 10 orang berjumpa dengan Soeharto yang justru sedang duduk-duduk santai sembari menyantap soto babat. Latief sendiri menceritakan kejadian tersebut.

“Kira-kira pada jam 12.00 siang hari, bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreise Letkol Soeharto di markas, rumah yang saya tempati sebagai markas gerilya. Waktu itu beliau sedang menikmati makan soto babat bersama-sama pengawal dan ajudannya,” ucapnya.

Kesaksian Kapten Latief

Alih-alih menawarkan makan soto babat bersama, atau setidaknya minum dan istirahat sejenak, Soeharto justru memerintahkan Latief dan anak buahnya untuk kembali berperang. Mereka diminta menggempur tentara Belanda yang masih ada di sekitar wilayah itu.

“Kami segera melaporkan tugas kewajiban saya. Kemudian beliau (Soeharto) masih memerintahkan lagi supaya menggempur pasukan Belanda yang sedang berada di kuburan Kuncen Yogyakarta, dan letaknya hanya beberapa ratus meter dari markas gerilya saya itu, akhirnya beliau segera kembali ke markas besarnya,” sebut Latief.

Latief juga menceritakan hal ini kepada Soebandrio, mantan Wakil Perdana Menteri RI. Dalam bukunya berjudul Kesaksianku Tentang G-30-S (2000), Soebandrio—yang bersama Latief nantinya menjadi tahanan politik karena dituding terlibat peristiwa Gerakan 30 September 1965—mengisahkan:

Nah, saat Latief bersama sisa pasukannya berada di garis belakang itulah, mereka berjumpa Soeharto. Apa yang dilakukan Soeharto? ‘Dia sedang santai makan soto babat,’ ujar Latief” (hlm. 46).

"Ketika itu," tambah Soebandrio, "perang sedang berlangsung, ribuan tentara dan pemuda gerilyawan tengah beradu nasib menyabung nyawa, merebut tanah yang diduduki oleh penjajah. Toh, Latief dengan sikap tegap prajurit, melapor kepada Soeharto tentang kondisi pasukannya."

Latief sendiri mengakui bahwa ia selalu menghormati Soeharto selaku komandannya. Bahkan, selama masa Revolusi hingga terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949, Latief selalu diandalkan oleh Letkol Soeharto.

"[...] menurut perasaan saya, bahwa saya selalu mendapat kepercayaan (dari Soeharto). Sewaktu masa gerilya di Yogyakarta, sering saya mendapat perintah-perintah penting untuk menggempur kedudukan musuh tentara Belanda, dengan menggabungkan pasukan lain di bawah pimpinan saya," ungkap Latief.

“Kemudian pada penyerangan total Kota Yogyakarta dan terkenal dengan 6 jam di Yogyakarta (Serangan Umum 1 Maret 1949), pasukan saya mendapat kepercayaan untuk menduduki daerah sepanjang Malioboro, mulai dari Stasiun Tugu sampai Pasar Besar Yogyakarta (Beringharjo),” imbuhnya.

Latief melanjutkan, “Dan beliau sendiri mengikuti pasukan saya dengan menempati markas Komando Kie saya, yang terletak di daerah Kuncen atau Desa Sudagaran, yang hanya terletak 500 meter dari batas kota Yogyakarta.”

Di situlah, di Kuncen atau Sudagaran itulah, Latief yang baru saja lolos dari maut menemukan Soeharto sedang lahap menyantap soto babat, di tengah pertempuran mati-matian yang tengah berlangsung di Kota Yogyakarta.

Propaganda Peran Soeharto

Selama era Orde Baru, peranan Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 selalu digembar-gemborkan. Bahkan, dibuat berbagai propaganda untuk meyakinkan rakyat bahwa Soeharto adalah sosok pemberani sekaligus jenius yang berandil mutlak dalam peristiwa tersebut. Mulai dari buku-buku sejarah, buku-buku sekolah, hingga film berjudul Janur Kuning (1979) yang disutradarai Alam Rengga Surawidjaja, semuanya menempatkan Soeharto sebagai tokoh sentral.

Andil Soeharto dalam Janur Kuning dikisahkan dengan sangat berbeda di film yang telah dirilis pada era sebelum ia menjadi presiden, yakni film berjudul Enam Djam di Jogja karya Usmar Ismail.

Dalam film yang ditayangkan pertama kali pada 1951 itu, peran Soeharto digambarkan biasa-biasa saja. Sementara Janur Kuning menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan yang paling berjasa dalam menyelamatkan negeri ini dari agresi militer Belanda, melebihi Jenderal Soedirman dan Sultan Hamengkubuwana IX.

Selang dua tahun setelah Janur Kuning beredar, film propaganda bernuansa serupa kembali dirilis, berjudul Serangan Fajar (1981). Kedua film ini rupanya dibuat untuk “mengoreksi” Enam Djam di Jogja karena dianggap kurang memperlihatkan peran Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

Dalam Film, Ideologi, dan Militer (1999), Budi Irawanto menganalisis bahwa film-film tersebut melukiskan sosok pelaku secara kurang proposional. Aksi Letkol Soeharto sebagai pemrakarsa serangan, pemimpin lapangan, sekaligus penembak di garis terdepan dianggap berlebihan.

Sejak September 1998, Janur Kuning dan Serangan Fajar, juga Pengkhianatan G30S/PKI diputuskan tidak lagi menjadi tontonan wajib oleh Menteri Penerangan Yunus Yosfiah. Ia menyatakan, film-film itu adalah usaha untuk memanipulasi sejarah dan menciptakan kultus Soeharto, serta tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi (Tempo, 29 September 2012).

Kontroversi Tanpa Solusi

Setelah Soeharto tumbang pada Mei 1998, banyak hal yang mencuat terkait dugaan penyesatan sejarah yang terjadi selama Orde Baru. Salah satunya tentang Serangan Umum 1 Maret 1949, terutama peran Soeharto dan Sultan Hamengkubuwana IX selaku kepala daerah sekaligus Raja Kesultanan Yogyakarta.

Letkol Soeharto sebagai Komandan Brigade 10 Daerah Wehrkreise III memang memimpin serangan serentak itu, terlepas dari kesaksian Kapten Latief yang menyebutnya santai-santai makan soto babat saat perang berlangsung. Namun, serangan itu terlaksana berkat persetujuan dari Sultan HB IX.

Yang terjadi kemudian adalah peran Sultan HB IX menjadi sangat kecil dalam versi propaganda Orde Baru. Krishna Sen dalam Indonesian Cinema: Framing the New Order (1994) menyebut, Sultan HB IX hanya digambarkan sebagai "pengamat yang pasif, sekalipun penuh perhatian dan simpatik terhadap kegiatan tentara melawan Belanda."

Infografik Mozaik Serangan 1 Maret 1949

Infografik Mozaik Serangan 1 Maret 1949

Sejumlah pelaku sejarah, terutama Marsoedi yang menjadi anak buah Soeharto kala itu, mengungkapkan telah terjadi pertemuan antara Soeharto dengan Sultan HB IX pada 14 Februari 1949. Marsoedi bahkan mengaku, ia sendiri yang mengantarkan Soeharto ke Keraton Yogyakarta untuk menghadap Sultan.

“Mestinya, yang ditonjolkan adalah perundingan empat mata antara Soeharto dan Sultan HB IX (bukan dominasi peran Soeharto semata),” tukas Marsoedi seperti dikutip Syamdani dalam Kontroversi Sejarah di Indonesia (2001: 6). Marsoedi juga menyebut, gagasan serangan umum datang dari Sultan HB IX untuk dilaksanakan oleh Soeharto.

Namun, di kemudian hari, Soeharto membantah dan menyebut pertemuan itu baru dilakukan setelah serangan umum. Itulah yang digambarkan dalam Janur Kuning, yang menurut Sen, “Urutan kejadian seperti ini menghapuskan klaim Sultan HB IX bahwa ia melakukan prakarsa dalam strategi politis atas perencanaan serangan itu.”

Keyakinan serupa juga diungkapkan anak buah Soeharto lainnya dalam serangan umum, yakni Soekotjo. Ia pernah menanyakan langsung perihal ini kepada Soeharto pada 6 Maret 1999, beberapa bulan setelah mantan komandannya itu lengser dari kursi kepresidenan.

“Saya tanya siapa sebenarnya inisiator serangan umum itu. Pak Harto hanya tersenyum dan tak menjawab sepatah kata pun,” kata Soekotjo seperti yang ia ungkap dalam Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir (2013: 54) terbitan Tim Buku Tempo.

Kontroversi terkait persoalan ini memang terus bergulir dan belum menemui titik temu hingga saat ini. Latief hanya bisa berharap:

“Di sinilah pentingnya saya ungkapkan, demi untuk melengkapi sejarah dengan cerita yang sebenarnya. Bagi saya tidak ada artinya karena saya bukanlah orang penting dan orang yang besar,” ujar Latief mengenai alasannya membongkar kedok Soeharto.

"Yang penting, bagi ahli-ahli sejarah, harus teliti menyelidik dalam tulisan-tulisan sejarah yang tepat."

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan