tirto.id - Puluhan kimono dari masa ke masa yang ditampilkan pada pameran bertajuk Kimono: Kyoto to Catwalk yang digelar Agustus 2020 lalu di Victoria and Albert Museum, London, membawa cerita dari masing-masing era. Perjalanan panjang kimono dari asal muasalnya di Kyoto, penampilannya di lantai catwalk hingga pengaruhnya bagi lanskap industri fesyenditampilkan pada pameran ini. Pameran yang dikuratori oleh Anna Jackson dan Josephine Rout ini menampilkan kimono dari pertengahan abad ke-17 ketika masih digunakan sehari-hari hingga ke masa ketika kimono menjadi simbol utama budaya Jepang.
“Karena pemakaiannya yang semakin berkurang, maka status simbolisnya meluas dan ia menjadi wakil Jepang di dunia yang mengglobal,” kata Anna Jackson kepada BBC.
Kimono sampai ke dunia Barat ketika seorang pedagang VOC di Jepang membawa pulang sepasang kimono saat mudik ke Belanda pada abad ke-17. Kala itu, kimono dikenalkan sebagai pakaian santai untuk para pria. Dalam waktu singkat, kimono menjadi begitu populer, muncul di berbagai potret bahkan dijiplak negara-negara tetangga.
Dalam paparan berjudul “How the Kimono has Influenced the World of Fashion” Fukai Akikomengatakan hubungan antara kimono dengan industri fesyen di Paris berlangsung secara alamiah. Para perempuan dengan mudah jatuh cinta pada busana cantik dan eksotis ini yang kemudian mereka kenakan untuk bersantai di rumah. Berbagai desain yang terinspirasi dari model Kimono pun mulai lahir dari tangan para desainer di Paris dan London.
Busana ini kemudian berkembang melampaui daya tariknya sebagai busana eksotis nan cantik, hingga kemudian berpengaruh bagi lanskap fesyen di Eropa. Jauh sebelum Tom Brown memamerkan beragam setelan bisnis pop kontemporer pada koleksi musim semi 2016 untuk pria yang mengadaptasi model kimono pada desainnya, desainer era 1920-an sudah menerapkan bentuk potongan lurus kimono pada karya mereka.
Adalah Madeleine Vionnet dan Paul Poret yang mengadaptasi konstruksi potongan lurus dari kimono dan menciptakan model pakaian yang membentuk garis-garis lurus dengan potongan berbentuk persegi panjang. Kimono membawa metode baru ke dalam teknik menjahit di Eropa.
“Dari periode ini, struktur dan bentuk dari pakaian mulai berubah, selaras dengan pemikiran para desainer yang mulai menjauh dari busana yang membentuk tubuh manusia dan mulai merangkul desain dan bentuk yang lebih luas dan lebih bebas,” tulis Akiko.
Siapa yang sangka, busana nasional Jepang yang mengubah industri fesyen Eropa ini pernah hampir menghilang dari peredaran sekaligus menjadi simbol perlawanan terhadap hierarki feodal Jepang.
Sejarah Kimono
Kimono, yang berarti “sesuatu yang dikenakan”, lahir pada Era Heian (794-1192). Saat itu, kimono hanya berupa kain berpotongan lurus yang dijahit jadi satu dan menghasilkan pakaian yang dapat dikenakan oleh semua bentuk tubuh.
Busana ini berkembang pada Era Edo (1603-1868) menjadi pakaian unisex yang disebut “kosode”. Senada dengan artinya, “lengan sempit”, jahitan dari kosode membentuk bagian lengan yang sempit. Belum adanya pengaruh dari negara asing mendorong perkembangan budaya tradisional Jepang yang sangat pesat pada periode ini.
Kosode dianggap sebagai salah satu elemen budaya penting pemersatu masyarakat Jepang. Sebagai pakaian sehari-hari, siapa saja mengenakan kosode tanpa melihat umur, jenis kelamin, ataupun kelas ekonomi dan sosial seseorang. Kosode yang sebelumnya hanya berbentuk potongan kain lurus pun sudah banyak bertransformasi dengan desain yang lebih pelik dan nilai estetika yang lebih tinggi.
Ketimpangan sosial yang tinggi membuat kosode menjadi identitas bagi para pemakainya. Rakyat miskin terpaksa menggunakan kain perca untuk membuat kosode. Hampir tidak ada kosode kaum miskin yang dibuat secara utuh dari satu jenis kain. Masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki lebih banyak uang mampu memesan kosode kepada para penjahit ulung dengan desain khusus.
“Pesan yang disampaikan pada kain ini menjadi jelas. Model, motif, jenis kain, teknik pembuatan, dan warna yang dipilih menjadi identitas yang menjelaskan riwayat hidup orang yang mengenakan,” tulis Cynthia Green dalam "The Surprising History of the Kimono” di Jstor Daily(2017).
Pergeseran terjadi ketika Jepang akhirnya membuka perbatasan untuk perdagangan dengan negara-negara Barat. Perubahan ini berujung pada kekacauan sosial yang akhirnya mendesak Kaisar Mutsuhito mengakhiri kekuasaan elit militer dan menghapuskan sistem feodal seluruhnya. Saat itulah era Meiji (1868-1912) dimulai.
Era Meiji ditandai dengan mulai dibangunnya berbagai gedung modern, industrialisasi, dan penguatan militer. Pada periode ini kosode mulai disebut kimono. Akan tetapi, masuknya budaya Barat membawa banyak perubahan bagi kehidupan sosial masyarakat Jepang, salah satunya dalam hal berpakaian.
Kimono pun berubah fungsi di tangan bangsawan yang perlahan mengadaptasi cara berpakaian Barat yang dianggap lebih praktis dan ringkas. Busana ini dinilai kaku dan mulai ditinggalkan oleh masyarakat Jepang dan hanya dikenakan di acara-acara formal, mulai dari pernikahan, hari-hari besar masyarakat Jepang, dan upacara tradisional.
Busana yang sebelumnya tidak memilih jenis kelamin ini bertransformasi menjadi setelan yang identik dengan perempuan. Perubahan ini terjadi pada 1890-an ketika masyarakat Jepang mulai menumbuhkan rasa nasionalisme dan keinginan untuk mengenalkan warisan budaya Jepang yang unik kepada dunia Barat. Pemerintah Meiji juga ingin menunjukkan bahwa Jepang setara dengan dunia Barat. Mereka mendorong perempuan untuk mengenakan kimono sebagai simbol dari budaya Jepang dan perilaku masyarakatnya yang halus dan sopan.
Perlawanan Sistem Hierarki Jepang
Puncak peran Kimono sebagai bentuk perlawanan terhadap hierarki sosial Jepang berlangsung saat era Edo. Setelah berabad-abad perang saudara dan kekacauan, Jepang berusaha menciptakan stabilitas politik, menumbuhkan ekonomi, dan ekspansi ekonomi pada zaman Edo. Kesuksesan di medan perang membuat Samurai, kelas militer penguasa Jepang, memerintah dan memiliki status hierarki paling tinggi. Pada era Edo, status sosial sangat ditekankan melalui penampilan.
Hierarki feodal yang begitu ketat membuat perempuan dari kelas pedagang (yang umumnya kaya) tidak dapat berkutik untuk mengubah status sosial mereka. Maka cara berpakaianlah mereka pilih bisa menunjukkan diri.
Ketika para perempuan kelas samurai identik dengan pakaian mewah yang disulam dan dicetak khusus oleh desainer, para perempuan dari kelas pedagang pun tidak mau kalah. Mereka menciptakan berbagai model, gaya, dan teknik baru pembuatan kimono. Peran kimono pun berubah menjadi simbol dari status sosial dan kekayaan.
Perempuan kelas Samurai akhirnya tidak merasa nyaman. Ketika para pedagang secara terang-terangan menunjukkan diri dengan berpakaian lebih dari yang seharusnya untuk kelas mereka, para penguasa akhirnya mengeluarkan sebuah undang-undang.
“Perangkat hukum ini mengatur secara ketat warna-warna yang diperbolehkan untuk dikenakan tiap kelas yang berbeda. Penggunaan sutra dalam pembuatan kimono pun dilarang selain untuk kelas Samurai,” kata Anna Jackson kepada BBC.
Meskipun tidak dipatuhi secara ketat dan seringkali diabaikan, peraturan ini menjadi katalis perkembangan kimono. Mereka yang mengenakan kimono untuk memberi pesan mengenai kekayaan dan kecerdasan mereka. “Orang-orang mengalihkannya dengan detail berskala kecil, mereka akan memesan kimono polos dengan lapisan mencolok atau sesuatu berwarna abu-abu atau cokelat, yang ketika dilihat dengan jeli membentuk motif yang rumit,” kata Jackson.
Pengaruh Global
Kimono yang hampir hilang dari peredaran saat Era Meiji akibat globalisasi kembali muncul dan dikenakan oleh generasi muda sejak 1990-an. Berbagai majalah fesyen, blog, juga media sosial turut mengulas dan meramaikan kembalinya kimono. Kimono kembali hadir di sisi jalan-jalan Jepang menjadi busana trendi.
“Tren ini mulai hadir di awal tahun 2000 ketika generasi muda mulai mengenakan kimono sebagai bentuk kejenuhan akan fast fashion sambil berusaha menyampaikan pesan kepada generasi tua yang melihat kimono sebagai model busana yang sudah ketinggalan jaman dan terlalu tradisional bahwa mereka tidak berpikir demikian,” jelas Josephine Rout kepada Vogue.
Fenomena ini tidak terlepas dari "Japonisme", sebuah gelombang antusiasme terhadap budaya Jepang yang menyapu Eropa dan Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-19. Gelombang ini menghasilkan pasar bagi “kimono untuk orang asing” sehingga para desainer rumah mode premium mengadaptasi model kimono pada rancangan mereka. Beberapa nama besar yang pernah mencipta busana yang terinspirasi dari kimono antara lainAlexander McQueen, Yves Saint-Lauren, Duro Olowu, John Galliano untuk Christian Dior, Thom Browne hingga Cristobal Balenciaga.
Semangat dan antusiasme yang dibawa di negara barat menular kembali ke Jepang. Generasi muda kini lebih leluasa mengenakan kimono dan seringkali memadukannya dengan benda fesyen modern hingga sandal atau sepatu dari label mode premium. Rout mengatakan kimono bukan lagi sekadar pakaian seremonial melainkan busana yang bisa dikenakan secara kasual dan menyenangkan.
Editor: Windu Jusuf