Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

SBY Turun Gunung Dukung Prabowo, Seberapa Besar Pengaruhnya?

SBY akan turun gunung menangkan Prabowo di Pilpres 2024. Jika menilik pengalaman sebelumnya, seberapa besar pengaruhnya?

SBY Turun Gunung Dukung Prabowo, Seberapa Besar Pengaruhnya?
Prabowo Temui SBY di Pacitan. foto/Dok. Media Gerindra

tirto.id - Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan dukungannya kepada Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden pada Pilpres 2024. Dukungan ini diputuskan usai Demokrat resmi keluar dari Koalisi Perubahan setelah merasa “dikhianati” Anies Baswedan karena lebih memilih Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai bakal cawapres.

Dalam pertemuan di kediaman Prabowo pada Minggu, 17 September 2023, di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, SBY mengaku siap 'turun gunung' untuk memenangkan Prabowo di Pilpres 2024. Demokrat bahkan bersungguh-sungguh dalam hal tersebut.

Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani mengatakan, pernyataan SBY akan 'turun gunung' untuk Prabowo semakin mempertegas keseriusan Demokrat. Parpol berlambang mercy itu akan bersungguh-sungguh dengan segenap daya dan upaya untuk mewujudkan sukses Pilpres 2024 menghantarkan Prabowo sebagai presiden berikutnya.

“Faktor SBY tentu masih menjadi elemen penting dan memiliki magnet elektoral dalam perpolitikan nasional,” ujar Kamhar kepada reporter Tirto, Selasa (19/9/2023).

Hadirnya SBY dan Partai Demokrat di gerbong Prabowo, diyakini Kamhar akan memberikan kontribusi elektoral bagi menteri pertahanan itu selaku calon presiden yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari Gerinda, Golkar, PAN, Partai Gelora, dan PBB.

Analis Politik Ipsos Public Affairs, Arif Nurul Iman mengamini, turun gunungnya SBY dalam memenangkan Prabowo di pilpres bisa berdampak kepada suara pemilih ke Prabowo. Sebab, kata dia, Presiden RI ke-6 tersebut masih cukup memiliki pengaruh.

“Tetapi berapa besar pengaruh itu atau seberapa signifikan terhadap dampak electoral? Kalau bicara dampak tentu, kita harus mengukur kalau riset harus pakai survei,” kata Arif saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (19/9/2023).

Namun secara kualitatif, kata dia, Demokrat itu sejatinya adalah SBY fans club. Artinya ketokohan SBY sampai hari ini teruji dan terbukti dengan survival-nya Partai Demokrat dalam kompetisi elektoral di perpolitikan Indonesia.

Prabowo Temui SBY

Prabowo Temui SBY di Pacitan. foto/Dok. Media Gerindra

Berkaca dari Pengalaman Masa Lalu

Selain perlu data survei, kita juga bisa menilik pengalaman masa lalu saat SBY “turun gunung” memenangkan paslon dan parpol. Misal yang terdekat adalah dua pemilu sebelumnya, yaitu 2014 dan 2019.

Pada Pemilu 2014 misal, suara Demokrat turun drastis setelah “tsunami kasus korupsi” yang menghantam sejumlah elitenya. Meski SBY sampai “turun gunung” mengurus partai dengan menjadi ketua umum lewat Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang digelar di Bali pada 30 Maret 2013, tapi suara parpol mercy itu hanya finis di urutan keempat dengan perolehan suara nasional 10,19%. Padahal, Demokrat adalah pemenang Pemilu 2009.

Sebagai catatan, Demokrat adalah pemenang Pemilu 2009 dengan suara sangat besar, yakni 20,85%. Unggul jauh dibandingkan Partai Golkar dan PDI Perjuangan di urutan kedua dan ketika yang hanya dapat suara 14-an persen.

Demikian pula pada Pemilu 2019. Saat itu, suara Demokrat lebih kecil lagi, menyusut menjadi 7,77 persen dari total suara sah nasional. Tak hanya itu, pasangan calon yang diusung di Pilpres 2019, yaitu Prabowo-Sandiaga Uno juga kalah dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Sementara jika melihat dalam pertarungan Pilgub DKI Jakarta, paslon yang diusung Demokrat juga kalah di putaran pertama. Demokrat saat itu mengusung AHY dan Sylviana Murni hanya mendapatkan suara 946.461 atau hanya 17,06 persen. Sementara dua pasangan calon lainnya Ahok-Djarot berhasil merebut 42,96 persen, dan Anies-Sandiaga 39,97 persen.

Belum adanya tokoh dari internal partai yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai calon presiden atau wakil presiden, membuat partai yang sekarang dipimpin AHY itu harus bekerja keras untuk meraih kesuksesan di Pemilu 2024.

Namun, Arif melihat persoalan penurunan suara di masa lalu Demokrat terjadi karena isu konflik internal serta adanya beberapa tokoh partai yang tertangkap korupsi. Kondisi ini membuat perolehan suara partai ini jeblok.

“Kalau kemudian di 2014 kita tahu partai Demokrat lagi banyak masalah kadernya, ketua umumnya tersangkut Hambalang," ujar Arif.

Akan tetapi, Arif menilai, capaian Demokrat pada 2014 sudah bagus karena masih lolos parlemen setelah menghadapi “turbulensi” politik yang begitu hebat. Sementara terkait AHY kalah di Pilgub Jakarta, kata dia, adalah sebuah investasi politik bagi AHY. Sebab, saat itu AHY pendatang baru.

“Itu full kekuatan SBY waktu itu, sehingga terlepas kemudian kalah, tetapi bagi saya itu investasi politik besar dilakukan SBY terhadap AHY. Jadi mewariskan ketokohan politiknya kepada AHY. Ini yang penting, bukan menang atau kalahnya," terangnya.

Dari contoh kejadian masa lalu tersebut, Arif meyakini pengaruh SBY masih akan cukup berdampak besar bagi pasangan calon yang didukung di 2024. Walaupun besar kecilnya tidak bisa diprediksi ketika di lapangan.

Faktor Ketokohan Lebih Utama

Terlepas dari itu, lanjut Arif, dalam kompetisi elektoral pilpres ini, faktor utamanya adalah ketokohan. Berkaca pada Pilpres 2019, Joko Widodo secara elektabilitas tinggi di atas 50 persen. Namun, ketika ditopang oleh mesin partai politiknya cuma naik sekitar 2 persen saja.

“Artinya ketokohan jadi faktor penentu. Meskipun kita tidak bisa mengabaikan mesin politik yang dari partai politik maupun dari sukarelawan," jelas dia.

Akan tetapi, kata dia, perlu diingat juga bahwa setiap partai memiliki basis nasional. Setidaknya mereka akan menyumbang dari basis nasional maupun fungsionaris dari DPP sampai tingkat desa untuk mengintervensi dukungan atau suaranya.

Sebagai catatan, nama Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo bersaing ketat di posisi pertama dan kedua, sementara Anies Baswedan berada di urutan ketiga. Hasil ini terekam dari survei dilakukan Indikator Politik Indonesia.

Survei Indikator Politik Indonesia digelar di 38 provinsi pada 15 hingga 21 Juli 2023 dengan melibatkan 1.811 responden yang merupakan WNI dan memiliki hak pilih.

Responden itu dipilih melalui teknik multi stage random sampling. Mereka ditanya langsung oleh pewawancara dengan menjadikan kuesioner sebagai pedoman. Toleransi kesalahan (margin of error) hasil survei itu mencapai 2,35 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Dalam survei tersebut, Ganjar memperoleh 35,2 persen suara dari total 1.811 responden. Kemudian Prabowo mendapat 33,2 persen dan Anies sebanyak 23,9 persen.

Namun, posisi itu berbalik dalam skema head to head antara Ganjar dan Prabowo. Dalam simulasi dua nama itu, Prabowo memperoleh 47 persen suara responden, sedangkan Ganjar meraih 39,6 persen.

Prabowo juga unggul dalam simulasi dua nama saat dihadapkan dengan Anies. Ketua Umum Partai Gerindra itu memperoleh 51,2 persen, sementara Anies mendapat 33,5 persen.

Dalam simulasi head to head antara Anies dan Ganjar, eks gubernur Jawa Tengah itu menempati urutan pertama dengan perolehan 48,3 persen dan Anies Baswedan memperoleh 37,1 persen.

Pengamat politik dari Populi Center, Usep Saepul Ahyar mengatakan, dalam konteks pilpres memang paling banyak mengandalkan sosok figur. Karena mesin partai kadang-kadang tidak sepenuhnya mendukung paslon yang diusung.

“Saya kira partai pendukung itu dalam konteks pilpres itu memang lebih banyak mengandalkan figur ya. Itu lebih banyak pada sosok itu. Jadi mesin partai itu kadang-kadang seringkali apa yang disebut split tiket," kata dia saat dihubungi Tirto, Selasa (19/9/2023).

Karena itu, kata dia, maka tidak heran ketika di lapangan pilihan pemilih partai itu berbeda dengan calon yang partai itu dukung. Sehingga tergantung juga apakah Demokrat bisa signifikan atau tidak, karena akan bergantung kepada kepentingan partai juga.

“Pendukung-pendukung Demokrat mau milih Prabowo atau tidak bisa dilihat juga apakah dari Demokrat itu ada tidak posisi di pasangan itu diwakili, misalnya sebagai ketua timnya, kemudian juga misalnya dia dijanjikan posisi apa," katanya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Politik
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz