tirto.id - Ia menemui kami di tanggal sembilan. Angka yang punya arti khusus bagi ayahnya, barangkali juga bagi semua anggota keluarganya. Ayahnya lahir di tanggal sembilan, bulan sembilan, dan karenanya menganggap sembilan sebagai angka keberuntungan.
Salah satu markas pemenangannya di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, enak sekali dijadikan tempat nongkrong, seperti kantor perusahaan teknologi baru yang menyediakan berbagai fasilitas untuk bersantai dan bersenang-senang. Kantor tiga lantai itu juga warna-warni, dindingnya ditulisi kata-kata mutiara atau penyemangat atau logo resmi kampanye AHY, dan anak-anak tangga ditulisi semacam sifat-sifat atau keunggulan si calon Gubernur. "Thinker", "Berani", "Confident", "Sabar", dan masih banyak lagi. Di lantai duanya, ada semacam bar beserta tentu saja bartendernya.
"Mas Agus masih ada rapat," kata Caosa, sekretaris yang mengatur kegiatannya, "kira-kira sebentar lagi, jam 11-an, rapatnya beres." Kami dipersilakan memesan minuman dan mengambil makanan yang tersedia prasmanan tak jauh dari bar.
Setelah satu jam menunggu, kami diminta ke ruang pertemuan di lantai satu. Di sana, didampingi Rico Rustombi dan Rachland Nashidik, ia menyambut kami dengan wajah semringah dan mempersilakan kami duduk. Tanpa banyak basa-basi, Rico langsung mengingatkan waktu yang hanya sejam dan segeralah dimulai wawancara itu.
Selama satu jam wawancara, ia terlihat santai dan seperti hafal betul apa yang harus ia sampaikan—kecuali di beberapa bagian, ia masih harus mengintip sobekan kecil kertas catatan. "Santai saja, ya, kita diskusi santai saja," katanya sebelum kami menghidupkan alat perekam dan melontarkan pertanyaan pertama.
Soal penggusuran, biasanya gubernur yang bisa merealisasikan janji untuk tidak melakukan penggusuran. Sekarang Anda memberikan janji yang sama.
Iya. Itu komitmen saya.
Saya ingin meyakinkan komitmen saya adalah membangun tanpa harus menggusur. Ya, ini mengolah kreativitas kita. Kita bisa lakukan on-site upgrading, misalnya. Membangun di tempat lokasi yang sama, bukan tempat yang jauh-jauh. Betul, ada konsekuensi mengubah dari [hunian] horisontal menjadi vertikal karena kita enggak punya land mass yang besar di Jakarta, tetapi mereka tetap di situ. Dan bukan hanya berbicara lahan hunian, tetapi juga tempat usaha yang layak dan baik, sehingga mereka tidak tercabut dari mata pencahariannya.
Kemarin, baru saja saya ketemu dengan para korban gusuran, di rusun Jatinegara Barat. Mereka sampai saat hari kemarin masih menangis walau sudah sekian lama [tinggal di sana], satu tahunan mungkin. Masih berkaca-kaca digusur secara paksa. “Kami membangun rumah itu dari nol, puluhan tahun. Kami punya warung di situ, punya cukur di situ, tiba-tiba kami dipindahkan sejauh 20 kilometer.”
Asing, kehilangan segalanya. Mereka tiga bulan free [biaya rusun] katanya. Bulan keempat bayar, padahal sudah kehilangan pekerjaannya. Nggak punya skill yang lain untuk bisa bekerja yang lainnya. [Kalau] enggak bisa bayar, didenda. Didenda enggak dipenuhi juga, diusir.
Lalu apa solusi konkret Anda untuk masalah itu?
Ya jangan seperti itu, sederhana sekali. Jangan seperti itu dan mereka tidak diganti rugi. Yang kedua, yakinkan mereka korban gusuran itu mendapat prioritas. Contohnya, diberikan keterampilan, mendapat peluang lebih baik untuk lapangan pekerjaan, diperhatikan kesehatannya. Ada 3.000-4.000an orang kemarin dalam satu lokasi itu, tidak ada ambulans satu pun, [padahal] ada 4.000 orang di situ. Kalau sakit, bagaimana kalau malam-malam?
Berapa biayanya? Bisa dihitung. Kembali ke ruang fiskal kita yang masih luas. Kemudian ada yang tanya, “terus bagaimana kalau menata lingkungan?” Memangnya kita menjadi kumuh? Tidak. Saya tidak mengatakan padat itu harus kumuh. Banyak di kota-kota lain di dunia yang lebih padat daripada Jakarta tetapi jauh dari kata kumuh. Nah, inilah yang kita kembangkan.
Kami punya program unggulan, program rumah rakyat. Itu saya pernah saya sampaikan bahwa ini untuk mengatasi permasalahan kekurangan hunian di Jakarta, kurang lebih sekitar 300 ribu unit. Terutama untuk menata daerah-daerah yang benar-benar padat, kumuh, dan rawan banjir. Membangun tower-tower yang manusiawi dan juga yang membedakan adalah mereka tidak sewa.
Mereka memiliki [unit rusun]. Karena harus dikonversi dong tanah [gusuran] yang mereka miliki berapa [harganya] sekarang. Setelah dikonversi dengan baik, “Oh bapak ini atau keluarga ini mendapat satu unit.” Kalau kurang, karena rumah sebelumnya kecil banget, dia nanti nyicil Rp50 juta. Tapi kan untuk sekian puluh tahun sehingga bisa [terasa] lebih ringan.
Mereka ingin ditata. Jika ditanya, "Bapak mau ditata?" Mereka jawab: “Mau Pak, tapi bukan begini caranya. Tidak dikompensasi, ganti rugi.” Dan sudah banyak yang sakit jiwa karena stresnya luar biasa.
Terkait fasilitas air bersih, di Jakarta kita ada kasus Palyja. Anda sendiri bagaimana melihat problem kebutuhan sanitasi dan air bersih?
Saya mendapatkan sejumlah masukan dari para pemerhati dan practicioner yang memang berurusan dengan penyediaan air bersih untuk masyarakat, masih ada 60 persen masyarakat Jakarta yang belum memiliki akses yang baik untuk air bersih. Itu yang pertama. Perkara Palyja, saya tahu ini kompleks. Ini sejak tahun 1998, kontraknya 25 tahun, berarti berapa tahun selesainya 2023.
Ini ada beberapa kompleksitas. Tapi begini, saya ingin menegaskan komitmen saya. Pertama-tama, seharusnya sebuah kebijakan itu kembali dalam konstitusi kita. Pasal 33 kan jelas, bahwa air dan tanah kekayaan alam itu dikuasai oleh negara. Kita tahu masalahnya sudah kompleks. Kalau mencoba memutus kontrak, itu kan konsekuensinya kita kena konsekuensi internasional. Luar biasa, enggak kecil begitu.
Tetapi kita tidak boleh berdiam diri saja. Kita masih bisa melakukan evaluasi, kaji ulang, bahkan potensi renegosiasi dengan Palyja, misalnya.
Nah, tapi saya tidak ingin hanya memusatkan atau mengonsentrasikan kepada hal itu. A bigger problem exists. 63 persen ini masyarakat belum dapat air. Apa yang kita lakukan? Inilah pentingnya kita selalu mengembangkan komunitas-komunitas yang menghasilkan solusi-solusi dengan teknologi yang cocok di Indonesia untuk menghadirkan air-air bersih yang affordable dan bisa langsung dinikmati oleh warga.
Terutama yang di barat dan di utara yang paling parah. Saya pasti me-review secara total apa yang bisa kita lakukan supaya mereka mendapatkan kualitas air yang sudah baik. Mereka bayar. Jangan sampai kesalahan tata kelola, apalagi ada penyelewengan-penyelewengan dalam manajemen akhirnya merugikan masyarakat.
Masalah reklamasi yang sama rumitnya, bagaimana sikap Anda?
Reklamasi, ya? Ini hot topic ya, karena menjadi komoditas politik yang luar biasa juga pula dan tidak hanya di Jakarta, tetapi di level nasional. Akan ada pengaruhnya pada reklamasi-reklamasi lain yang ada di Indonesia. Ingat, berbicara reklamasi, ini tidak murni kebijakan di bawah Pemprov DKI Jakarta, tapi ada pemerintah pusat. Jadi kompleks.
Saya selama kampanye tidak pernah mengatakan akan membatalkan proyek itu total. Ada yang berpendapat seperti itu, tetapi saya juga tidak mengatakan saya akan lanjutkan.
Kenapa?
Saya ada di tengah, bukan tidak tegas. Itu sikap yang paling realistis. Why? [Karena] ini sudah jadi barang nih, sudah dilakukan. Yang saya lakukan, berhenti, hentikan sejenak, melakukan strategic assessment secara lengkap lagi. Karena saya mempelajari juga, tim melakukan riset bahwa ada sejumlah aspek yang terlewatkan, terutama aspek legal. Ada aturan yang dipotong, itulah yang meresahkan.
Yang kedua, tidak hanya dari aspek legal atau peraturannya. Saya juga harus me-review secara lengkap lagi bersama stakeholders lainnya bagaimana dampak lingkungan, ekosistem yang menjadi [bagian] konsekuensi proyek reklamasi tersebut.
Yang ketiga, cek lagi aspek ekonomisnya. Apakah menghadirkan manfaat yang sepadan dengan kerusakan lingkungan? Apakah dampak ekonomi itu dirasakan oleh banyak orang atau hanya sekelompok kecil saja? Apakah masyarakat pesisir terutama nelayan termasuk pembudidaya karang hijau dan sebagainya, mereka yang sangat sulit apakah mereka yang paling menderita nantinya?
Jelas terjadi penurunan penghasilan mereka sehari-hari. Baru setelah itu diketahui, kita ingin kembali me-review secara lebih komprehensif lagi. Kemudian setahu saya juga bukan hanya aspek lingkungan, tetapi banyak industri yang terganggu juga, yang ada di Jakarta Utara itu. Ada kabel bawah laut segala macam itu terganggu begitu dan ini sudah dihitung apa belum dan bagaimana solusinya?
Kemudian bahkan saya dengar Angkatan Laut kita juga terganggu untuk manuver operasional kapal-kapal mereka. Berarti ada multiaspek yang harus di-review sampai benar-benar diputuskan bagaimana kelanjutannya. Itu yang ingin saya lakukan. Jadi saya sekali lagi tidak mengatakan membatalkan total atau melanjutkan reklamasi. Saya ingin semuanya lebih clear lagi dan semuanya terpenuhi.
Berapa total waktu yang dibutuhkan untuk itu? Ya tergantung seberapa terlibatnya stakeholders dan kemampuan kita untuk melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat.
Apa pembeda Anda dari dua calon lain? Keunggulan Anda?
Keunggulan? Keunggulan saya? [tertawa]
Iya, menurut Anda.
Menurut saya? Saya suka susah bicarain sendiri ya.. [tertawa lagi]
Yang jelas saya punya pemikiran yang saya anggap visioner. Saya berusaha menjaga integritas dan saya memimpin dengan hati. Itu menurut saya yang membedakan karena ini ditanya—saya tidak mau menjual itu sebetulnya, biarkan [saja] orang yang menilai.
Saya ingin terminologi “merakyat” itu bukan [berarti] kita harus selalu seperti mereka, tapi setiap [saat] kita berpikir dan merasakan betul apa yang dirasakan oleh rakyat sehingga kita punya empati setiap saat. Itu yang dibangun dan itu mudah-mudahan yang menjadi guidelines bagi saya dalam mengambil keputusan jika saya menjadi gubernur.
“Mengambil keputusan ini apa dampaknya?” Bukan [berarti] menjadi peragu. Saya tahu konsekuensinya mengambil keputusan itu ada [yang akan] tidak suka dan saya sangat siap menghadapinya, asalkan kita melibatkan mereka terlebih dahulu dengan penjelasan. Mudah-mudahan mereka akan mengerti mengapa sebuah kebijakan diambil. Yang tidak boleh itu artinya tidak diajak bicara, tiba-tiba hantam saja, yang penting ini beres. Itu bukan saya. Saya ingin menghadirkan kepemimpinan yang efektif tetapi juga partisipatif, melibatkan masyarakat Jakarta semua.
Soal ormas-ormas reaksioner, tim Anda beberapa kali menyatakan tidak ada hubungannya dengan ormas-ormas reaksioner. Namun ada beberapa spanduk bilang mereka mereka mendukung Agus-Sylvi.
Pertama, bisnis paslon 1, 2, dan 3 hari ini adalah merebut hati rakyat sebanyak-banyaknya untuk nyoblos. Begitu kan? Artinya ketika ada masyarakat, individu, kelompok, atau organisasi yang memberikan dukungannya atau paling tidak bersimpati, ya tentunya kita syukuri saja. Misalnya Mas mau jadi ketua OSIS atau Ketua Senat, ada yang dukung kita, ternyata mereka preman, misalnya. Kita enggak bisa nolak juga kan kalau ada seperti itu. Nah, yang diklarifikasi oleh tim, karena sebetulnya [spanduk] yang dipasang-pasang itu tidak sesuai juga dengan apa yang mereka sampaikan secara official.
Kami tidak tahu siapa yang pasang spanduk itu. Bahkan secara official mereka mengatakan “kami netral.” Jadi jangan sampai ini membingungkan masyarakat. Sekali lagi, kami tidak pernah mencegah orang untuk suka-tidak suka dengan kita. Kami hanya membuat orang suka sama kami.
Bicara tentang orang yang tidak suka dengan Anda, mungkin (tim) Anda sudah melihat ada dua video viral tentang Anda. Pertama Anda bicara tentang penggusuran, Anda terlihat terbata-bata seperti tidak menguasai masalah, lalu dibikinlah video dengan muka superhero yang mengomentari Anda. Kedua, video Anda saat Anda disebut seperti Vicky baru. Apa tanggapan Anda?
Enggak pengaruh. Itu biasa. Orang-orang itu kerdil saja. Dan semakin mereka menyerang, tidakkah mereka mengetahui semakin saya diserang, semakin orang akan simpati kepada saya?
Jadi saya malah “ayo serang, serang, serang.” Enggak apa-apa. Saya akan fokus. Anda akan habiskan energi untuk menyerang saya. Saya juga enggak pernah melihat [kedua video itu].
Bicara soal kasus penistaan agama Ahok, apakah Anda merasa kasus itu menguntungkan buat Anda?
No. Saya malah dirugikan. Mengapa? Dituding-tuding sayalah yang atau kamilah yang membuat dia terjatuh, dalam arti masuk ke dalam kasus itu. Ini luar biasa, kan? Kejinya dibolak-balik begitu, kan? Yang mengucapkan kata-kata itu siapa? Apakah kami? Kan tidak. Malah kita yang dianggap menggoreng masalah ini sehingga timbullah gerakan massa yang ratusan ribu, bahkan orang mengatakan jutaan dan di seluruh Indonesia.
Siapa yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan itu? Pakai sistem komando pun sulit bergerak, berjalan dengan rapi menyuarakan aspirasinya. Jadi, sebetulnya saya ingin sekali kita semua meletakkan permasalahan pada tempatnya yang benar. Ada atau tidaknya pilkada, kasus penistaan agama akan mengundang reaksi. Reaksi dari siapa sih? Yang merasa dirugikan, yang merasa dilecehkan, yang merasa dizolimi, dan sebagainya.
Reaksi itu akan ekskalatif pasti. Kalau ditangani dengan cepat, tepat, segera begitu ya tentu tidak akan mengundang reaksi yang lebih besar lagi, lebih besar lagi, lebih besar lagi. Nah ini sayangnya kemarin too little and too late. Terlambat, terlalu sedikit yang dilakukan begitu sehingga sampai seolah-olah menjadi isu yang luar biasa sensasional karena tidak ditangani.
Kok tiba-tiba kami yang dibilang menggerakkan massa itu atau men-support atau sengaja digoreng terus sehingga meningkatkan elektabilitas kami? Ingat, elektabilitas saya meningkat sebelum kejadian Kepulauan Seribu. Elektabilitas saya meningkat tajam, drastis. Silakan dicek di dokumen mana pun.
Kemudian, setelah itu terjadi peningkatan [elektabilitas] adalah tren yang kita lakukan dari gerilya lapangan segala macam. Jadi saya menolak mengatakan [kasus Ahok] ini ada keuntungan buat saya. Tidak fair kalau saya dikatakan mendapat keuntungan, apalagi dianggap mendomplengi isu. Itu artinya saya menihilkan upaya kami berjuang di lapangan, strategi kami, termasuk tim relawan dan lain sebagainya yang sudah betul-betul berupaya meningkatkan elektabilitas. [Ini] bukan menguntungkan, tetapi merugikan, karena kami kena getahnya.
Terkait penistaan agama ini, pendapat Anda bagaimana?
Begini saja, tapi saya minta tolong jangan dikaitkan dengan Pilkada nih. [Ini pendapat] sebagai warga negara biasa—lepaskan dulu dalam pilkada sebagai salah satu kompetitor—yang mengerti betul bahwa negara kita negara hukum, negara demokrasi, negara yang majemuk, maka saya mengatakan [Ahok] salah telah mengucapkan itu. Sengaja atau tidak sengaja. Karena, saya pun tidak akan pernah berani mengatakan itu ya, apalagi kita ada dalam satu konteks politik. Tidak heran kalau tiba-tiba ada reaksi. Bagi saya itu salah secara etik.
Anda sudah terlanjur terjun ke dunia politik. Menang atau kalah mesti akan di politik, apalagi Anda sudah pensiun dari dinas kemiliteran. Anda akan meneruskan kiprah SBY di Demokrat?
Saya ini ingin menjadi contoh bahwa TNI juga adalah warga negara. Saya ingin menggunakan hak warga negara saya untuk dipilih. Oleh karena itu, saya memberikan contoh. Saya harus gentle. Letakkan [status anggota militer] itu, buat surat tertulis, ditandatangani oleh Panglima TNI secara official saya sudah siap berkompetisi di sini. Mudah-mudahan itu menjadi salah satu bagian dari pembelajaran buat kita semua.
Apapun hasilnya [kalah atau menang], ya move on. Tentu [nantinya akan terus] di wilayah politik, di wilayah kemasyarakatan, di wilayah sosial
Di Partai Demokrat?
Hahaha. Apapun itu ya. Apapun itu saya selalu mempersiapkan segala kemungkinan. Sama seperti halnya saya tidak terpikirkan untuk menjadi Cagub DKI Jakarta. Jadi, apakah saya menjadi cagub karena saya mempersiapkan diri? Saya siap karena memang saya menyiapkan diri saya untuk menjadi pemimpin. Level apapun, di ruang pengabdian manapun.
Siap jadi presiden nanti?
Kita fokus sajalah. Fokus untuk Pilgub DKI.
Jika selama ini Anda selalu ditanya peran SBY, sekarang kami mau tanya, apa peran Ibu Ani untuk Anda? Ibu Ani ini kan punya karakter kuat.
Wah luar biasa. Kalau saya agak-agak suntuk dikit, lelah ketemu ibu pasti saya strong lagi. Bangkit lagi. Dalam hiruk-pikuk ini doa ibu luar biasa. Enggak ada yang bisa mengalahkan. Yang kedua, tentunya sempat secara langsung maupun tidak langsung, ibu memberikan pandangan-pandangannya. Beliau terus memberikan spiritnya kepada saya untuk bisa tegar, sehat, stamina terjaga.
Kalau soal politik?
Oh iya dong. Pandangan-pandangan [dari pengalamannya] sebagai ibu negara 10 tahun dan sebagai Wakil Ketua Umum Partai Demokrat dulu. Tentunya beliau punya pengalaman 10 tahun di politik mendampingi bapak, luar biasa. Ya, hampir sama sebagaimana bapak, ibu adalah mentor saya juga. Dari sisi-sisi yang tidak mungkin disampaikan bapak, ibu selalu mengingatkan.
Misalnya apa?
Misalnya berbicara dengan kaum perempuan, ibu jelas kan, sebagai pengayom seluruh komunitas perempuan di Indonesia ketika itu, pasti beliau akan memberikan masukan-masukan. “[Soal] ini pasti concern-nya ibu-ibu, para wanita, yang menyusui, yang punya anak kecil,” dan sebagainya. Jadi, masuk dari situ. Termasuk juga berbicara tentang pendidikan bagi mereka, empowerment.
Apa lima film favorit yang Anda anggap terbaik?
Lima film?
Lima film. Atau tiga.
Saya suka film… saya suka agak lupa nih karena suka enggak inget judulnya. Oh, terakhir saya suka film yang banyak story-nya itu Sing. Film animasi. Itu cocok banget sama prinsip saya. Motto saya dream big, work hard, and never give up. Hidup punya mimpi besar. Dia bekerja keras. Begitu dia sudah hancur sehancur-hancurnya dia gak pernah putus asa gitu, saya suka film itu. Lucu tapi agak touching juga. Kemudian saya juga suka film-film kayak Avengers.
Superhero suka?
Terutama Avengers, ya. Avengers
Star Wars? Star Trek?
Star Wars oke. Saya terakhir juga nonton sih Star Wars, tapi saya suka Avengers, terutama Iron Man. Saya punya koleksi patung-patung kecil. Tony Stark itu kan flamboyan, menariknya gitu. Lalu fil-film perang kayak Black Hawk Down. Itu salah satu film favorit saya.
Musisi?
Supaya tidak dipolitisasi, [musisi] luar saja. Saya suka sebetulnya Il Divo. Terus yang kekinian, karena saya sering dengar sama Aira: Charlie Puth. Satu lagi, Michael Buble.
Tiga buku atau tiga penulis?
Freakonomics, tahu kan? Steven Levitt. Kemudian Soft Power Joseph Nye. Satu lagi, saya suka buku tentang leadership dari Philip Kotler.
========================================
Simak wawancara Agus Harimurti Yudhoyono (Bag 1): "AHY adalah AHY, SBY adalah SBY"
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Maulida Sri Handayani