tirto.id - Ia menemui kami di tanggal sembilan. Angka yang punya arti khusus bagi ayahnya, barangkali juga bagi semua anggota keluarganya. Ayahnya lahir di tanggal sembilan, bulan sembilan, dan karenanya menganggap sembilan sebagai angka keberuntungan.
Salah satu markas pemenangannya di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, enak sekali dijadikan tempat nongkrong, seperti kantor perusahaan teknologi baru yang menyediakan berbagai fasilitas untuk bersantai dan bersenang-senang. Kantor tiga lantai itu juga warna-warni, dindingnya ditulisi kata-kata mutiara atau penyemangat dan logo remi kampanye AHY, dan anak-anak tangga ditulisi semacam sifat-sifat atau keunggulan si calon Gubernur. "Thinker", "Berani", "Confident", "Sabar", dan masih banyak lagi. Di lantai duanya, ada semacam bar beserta tentu saja bartendernya.
"Mas Agus masih ada rapat," kata Caosa, sekretaris yang mengatur kegiatannya, "kira-kira sebentar lagi, jam 11-an, rapatnya beres." Kami dipersilakan untuk memesan minuman dan mengambil makanan yang tersedia prasmanan tak jauh dari bar.
Setelah satu jam menunggu, kami dipersilakan ke ruang pertemuan di lantai satu. Di sana, didampingi Rico Rustombi dan Rachland Nashidik, ia menyambut kami dengan wajah semringah dan mempersilakan kami duduk. Tanpa banyak basa-basi, Rico langsung mengingatkan waktunya yang hanya sejam.
Selama wawancara, ia terlihat santai dan seperti hafal betul apa yang harus ia sampaikan—kecuali di beberapa bagian, ia masih harus mengintip sobekan kecil kertas catatan. "Santai saja, ya, kita diskusi santai saja," katanya sebelum kami menghidupkan alat perekam dan melontarkan pertanyaan pertama.
Berikut kutipan lengkap wawancara kami bersama Agus Harimurti Yudhoyono.
Apa bedanya kegiatan Anda sebagai politikus sipil dengan militer yang harus siap menjalankan perintah. Apakah punya mentor-mentor—yang dalam istilah Rocky Gerung 'devil's advocate'—adalah salah satu cara Anda menyiapkan diri?
Militer terkesan very hierarcical ya, sangat hierarkis yang kaku begitu. Tetapi sebetulnya juga ada proses demokrasi di sana. Ada proses penyampaian saran, masukan, tetapi begitu keputusan sudah diambil oleh pimpinan, diambil oleh komandan semua melaksanakan serentak dengan penuh kesetiaan, tetapi tergantung pemimpinnya juga. Baru saja kejadian ada komandan dikejar-kejar oleh anggotanya sendiri. Mengapa? Karena ia memiliki bad leadership, bahkan toxic leadership. Inilah yang menurut saya sebetulnya prinsipnya sama.
Memimpin di militer, memimpin di dunia pemerintahan, di birokrasi, bahkan di dunia bisnis itu prinsip-prinsipnya sama. Ketika seorang pemimpin militer tidak bisa mengambil keputusan dengan tegas, contohnya ketika seorang pemimpin militer tidak bisa melakukan perencanaan dalam pertempuran dengan baik dan efektif, risikonya kematian, kehancuran, kekalahan dalam perang.
Di sini juga bukan berarti dengan tangan besi, kemudian prajurit atau anggota kita akan loyal. Tetap ada urusan memenangkan hati dan pikiran prajurit. Di dunia politik, di dunia birokrasi pemerintahan juga sama. Bagaimana kita memenangkan hati dan pikiran masyarakat. Tentu perbedaannya ada karena lebih terbuka, lebih dilihat, lebih masuk spotlight, seolah-olah hiruk-pikuk dalam politik itu jauh lebih kental dibandingkan dunia militer.
Saya berdiskusi, termasuk dengan bang Rocky Gerung dan teman-teman lainnya, para aktivis, para pengamat, para akademisi dan juga civil society, memang sengaja untuk terus melengkapi pemahaman saya terhadap berbagai isu, juga berbagai permasalahan yang ada di Jakarta. Itu penting dilakukan bukan hanya selama kampanye, tetapi juga penting saat seorang gubernur memimpin Jakarta. Inilah keterlibatan partisipasi masyarakat melalui mekanisme memberikan saran masukan yang baik, beretika, dan proporsional.
I’m willing to listen to people dan itu juga yang menjadi komitmen saya dan Mpok Sylvi. Bahkan saya mengatakan bahwa jika saya Insya Allah terpilih menjadi gubernur, saya akan tetap melakukan gerilya lapangan.
Seperti blusukan Jokowi?
Saya tidak mengatakan seperti Pak Jokowi. Saya punya gaya tersendiri ya, saya punya gaya tersendiri. Saya ingin karena terbiasa. Tidak mungkin militer [terus] di dalam ruangan. Pasti di lapangan. Jadi saya akan sangat nyaman jika melihat langsung kondisinya, berinteraksi langsung dengan masyarakat. Apakah terjadi progress dalam sebuah perencanaan dan eksekusi sebuah program atau terjadi stagnasi. [Cara itu] akan lebih obyektif dibandingkan hanya mendengar kata orang. Sambil saya terus membangun birokrasi yang matang, berintegritas. Kombinasi reporting system yang baik dan obyektif, tetapi secara spontan saya juga akan melakukan peninjauan-peninjauan langsung dan koreksi langsung di lapangan jika ada hal-hal yang perlu diselesaikan segera.
Anda lahir sebagai anak SBY yang sebelum menjadi presiden karir militernya cemerlang dan disebut sebagai ahli strategi. Apa benefit yang Anda dapat sebagai anak seorang Susilo Bambang Yudhoyono?
Banyak. Banyak. Mengapa? Karena beliau adalah mentor saya langsung. Unik, ketika 10 tahun beliau sebagai presiden, saya seorang prajurit, seorang perwira TNI [dan SBY panglima tertinggi TNI]. Bayangkan itu berapa layer dipotong itu untuk bisa berbicara dengan the commander-in-chief of TNI, panglima tertinggi TNI. Itu privilege yang saya miliki. Itu anugerah yang saya dapatkan, tetapi saya tetap menjaga etika.
Tentu saya sangat mensyukuri bahwa saya banyak belajar dari beliau. Kepada siapa lagi kita belajar kalau bukan kepada orang yang paling memiliki pengalaman di bidang politik, di bidang kepemerintahan, 10 tahun memimpin Indonesia, directly elected by the people, pernah di kabinet cukup lama dan puluhan tahun di militer. Lengkap.
Sehingga saya manfaatkan privilege yang saya miliki secara positif. Saya belajar, saya mendengarkan, saya mencatat, dan saya coba latihkan itu, diadaptasikan dengan kebutuhan saya dan tentu dengan karakter saya. Orang suka mengatakan “Wah ini di bawah bayang-bayang SBY,” “Ini SBY versi kedua,” dan sebagainya. Silakan orang mengatakan itu. Yang jelas AHY [adalah] AHY, SBY [adalah] SBY. Saya punya karakter tersendiri, bapak juga punya karakter tersendiri, walaupun ada kemiripan sana-sini. Wajar, DNA kami sama.
Anda merasa tidak bahwa Anda dipersiapkan sebagai pemimpin? Di Amerika ada keluarga politikus seperti Kennedy, Adams, Bush. Bagaimana dengan keluarga Yudhoyono?
Ya, tentu. Saya pikir setiap orangtua kalau punya anak [berharap] anaknya menjadi anak saleh, saleha, pintar, baik, berbakti kepada orangtua, bangsa dan negara. Intinya menjadi pemimpin juga. Termasuk Pak SBY mendoakan dan mempersiapkan saya, tapi saya sendiri tidak pernah merasa dipersiapkan untuk menjadi cagub. Hahaha. Enggak pernah. Masak masuk akademi militer [mau] jadi cagub? Tentu kalau masuk akademi militer ingin menjadi jenderal.
Tetapi saya dipersiapkan dan mempersiapkan diri sendiri untuk menjadi pemimpin di masa depan. Di profesi apapun, di level apapun. Dulu tentunya saya dipersiapkan dan mempersiapkan diri untuk meniti karier di militer. Ketika ada panggilan tugas lain, kemudian masuk ke ranah politik dan pemerintahan, itu bukan dalam desain. Sekali lagi, tidak dipersiapkan spesifik sebagai cagub.
Pak SBY tidak pernah mengajak Anda berbicara tentang kemungkinan Anda meniti karir politik jauh-jauh hari sebelumnya?
Oh itu, kita diskusi terus. Saya adalah orang yang senang membaca. Saya selalu melakukan benchmark dengan negara-negara lain. Belajar sejarah Amerika, contohnya. Saya sekolah di sana. Singapura juga.
Tentu saya melihat setiap orang itu punya pilihan hidup. Saya telah memilih jalan hidup saya 20 tahun yang lalu, 1997 saya masuk akademi militer, itu murni pilihan saya. Tidak dipaksa, tidak diharuskan orangtua, walau orangtua aktif di militer, kakek seorang perwira militer juga. Tetapi saya memilih sendiri.
Saya selalu menyiapkan mental bahwa pengabdian itu tidak harus di satu bidang saja, di satu jalur profesi saja. Bahkan, saya mengingat kembali di akademi militer itu tidak dijelaskan bahwa akademi militer menyiapkan calon-calon jenderal, tetapi menyiapkan calon-calon pemimpin bangsa. Artinya di manapun wilayah pengabdiannya bisa di TNI, bisa juga di tempat yang lainnya.
Apa perbedaan yang Anda diskusikan terakhir-terakhir ini, sepuluh tahun yang lalu, dan 20 tahun yang lalu dengan pak SBY? Temanya?
Temanya tentu ada kesamaan, tetapi ada perbedaan. Yang jelas dulu jarang ketemu, tapi kalau ketemu Insya Allah produktif, efektif.
Saya [dulu] mau ketemu orangtua sendiri harus minta izin sama ajudan. Itulah menariknya. Saya enggak bisa langsung.
Diskusinya kalau dulu tentu [SBY bertanya], “Bagaimana aktivitas di satuan, di TNI, apa yang sedang dilakukan?” Sambil beliau bernostalgia, karena beliau melewati trek yang sama. Tapi juga, karena beliau adalah presiden, saya juga banyak mendengarkan apa yang terjadi di negeri ini. Saya belajar. Jadi kalau ditanya penyiapannya kapan? Sebetulnya saya menyiapkan diri untuk hal-hal seperti ini, saya menyiapkan sejak lama, menyiapkan diri untuk segala apapun tantangan ke depan.
Ada satu hal-dua hal yang saya dimintai pendapat, "Kalau begini, bagaimana nih situasi seperti ini?”
Dulu itu saya merasa saya perwira di bawah jenjang yang luar biasa tingginya, jadi saya hati-hati betul berbicara. Jangan sampai saya membicarakan tentang saya, terus malah menyinggung institusi saya [TNI], karena institusinya di bawah beliau langsung.
Tapi sekarang saya jauh lebih rileks. Karena enggak ada konsekuensinya [kalau] saya cerita. Malah seru. “Oh memang biasa begitu, diserang, difitnah sana-sini, biasa. Dulu kita juga menghadapinya 2004, 2009, 2014.” Benar-benar seperti mentor yang sudah melewati pengalaman segala macam.
Anda tergolong tentara yang rajin sekolah, bisa cerita karya Anda? Apa buku terakhir Anda baca?
Pertama-tama, untuk bisa sekolah lewat seleksi. Jadi, bukan saya punya uang lalu saya sekolah. Itu tidak terjadi di TNI. Di luar negeri mungkin ada yang seperti itu. Militernya punya luxury jika ada yang mau sekolah, bisa sekolah. Di TNI enggak. Semuanya harus melalui seleksi ketat karena itupun program beasiswa, bukan program bayar sendiri. Semuanya scholarship.
Saya tentu memiliki harapan besar dari awal. Saya tahu bahwa seorang perwira militer tidak cukup hanya memiliki pemahaman terhadap aspek-aspek militer murni saja, karena pada akhirnya ancaman terhadap negara juga sangat terkait dengan bidang-bidang lainnya. Itulah yang menjadi motivasi saya untuk belajar.
Di Nanyang Tecnological University, Singapura […] saya belajar study of war, the evolution of strategic thoughts, belajar [teori] von Clausewitz, dan sebagainya. Termasuk juga paper saya ketika itu tentang Aceh 2005, baru terjadi peace process Helsinki. Saya [belajar] di sana 2005-2006. Saya membuat tesis mengkaji mengapa akhirnya pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka sejak tahun 1976 akhirnya selesai di masa pemerintahan SBY. Bukan semata-mata karena tsunami, sebab tsunami juga menghantam Sri Lanka, tetapi Macan Tamil Aelam tetap ada. Jadi, saya mengapresiasi apa yang dilakukan oleh pemerintah, policy-nya, militer bagaimana, kemudian proses rekonstruksi, rehabilitasi pascatsunami.
Kemudian, kesempatan yang kedua tahun 2009-2010 saya mendapat kesempatan scholarship di Harvard University di Kennedy School of Government. Di situ saya mengambil public administration. Saya pun enggak pernah berpikir sebelumnya ternyata ilmu itulah yang akan saya gunakan jika terpilih menjadi gubernur. Jadi berbicara statecraft memang [untuk tingkat] nasional, tetapi di-breakdown di level provinsi, governor, termasuk level mayor.
Jadi, saya belajar militer yes, saya belajar geopolitik, saya belajar public administration, saya belajar juga tentang manajemen, tata kelola pada lingkup yang lebih pragmatik. Itu saya anggap sebagai sebuah modal. Orang mengatakan saya belum siap. Orang tidak menghitung saya mempelajari itu. Dan, tentu komitmen dan pengalaman di militer juga akan saya jadikan sebagai modal penting untuk memimpin Jakarta.
Buku terakhir yang saya baca, saya suka Smart Power dari Joseph Nye, salah satu profesor di Harvard. Saya baca-baca lagi karena saya mencoba [menggali] apa sih konsepsi smart power yang bisa saya gunakan dalam campaign. Nah, rupanya memang [buku itu] menjelaskan bahwa pada akhirnya yang paling penting dalam abad 21 itu—walaupun hard power tidak bisa dilepaskan begitu saja—adalah soft power. Winning the heart and mind of the voters, dalam hal ini, karena saya berusaha memasukkan ke dalam konteks pilkada.
Jadi, bukan selalu dengan hard campaign, tapi ambil hatinya dengan cara-cara persuasif. Tidak melulu harus menggunakan logistik yang besar, tetapi kalau kita mendapatkan, menebarkan influence, pengaruh di hati mereka, mereka akan mengikuti kita tanpa kita sadari.
Apa contohnya dalam pilkada ini?
Saya ingin benar-benar masyarakat itu mengenal saya secara pribadi. Tentu sebagai newcomer di politik dan pilkada ini awalnya belum ada yang tahu [saya]. Tetapi, terbukti setelah saya melakukan gerakan gerilya di lapangan, terjadi peningkatan elektabilitas yang saya syukuri.
Ada teori bahwa untuk bisa seperti ini [peningkatan elektabilitas], logistiknya harus besar, harus ada pengerahan massa, harus ada media campaign yang luar biasa. Saya penantang petahana yang five years in office dengan segala network yang dibangunnya. Makanya saya pilih gerilya lapangan. Di situ, saya ingin memenangkan hati mereka dengan harapan-harapan. Bukan bluffing janji kosong ya, tetapi harapan baru. Saya mencoba menyentuh nurani mereka.
Terkait kampanye, banyak yang mengkategorikan program Anda 1M per satu RW per tahun sebagai money politics. Anda bisa jelaskan?
Oh ini. Kadang-kadang saya suka ketawa. Money politics dari mana? Definisi money politics itu apa? Apakah ada uang yang saya keluarkan dari kantong saya pribadi atau dari siapapun untuk mengatakan “Ini saya kasih uang 1 miliar 1 RW, pilih [saya].” Kan tidak sama sekali. Ini adalah sebuah gagasan. Soft power dalam konteks ini saya ingin membangun dan mengobati kekecewaan masyarakat, komunitas yang merasa selama ini tidak diberdayakan.
Banyak sekali keluhan yang disampaikan kepada saya maupun Mpok Sylvi. “Pak, boro-boro diberdayakan. Kami dicurigai, dibilang bohong, dibilang maling, dibilang enggak ngerti apa-apa, padahal kami sudah puluhan tahun di sini. Paling tidak, kami tahu apa yang terjadi di sini, struktur masyarakatnya, karakternya, apa yang diperlukan, apa yang menjadi solusi buat mereka sendiri.”
Nah, saya memahami itu dan sangat cocok dengan paradigma yang saya bangun untuk Jakarta bahwa Jakarta harus dibangun dengan lebih mengikutsertakan masyarakatnya. Partisipatif dengan community based development, termasuk program pemberdayaan komunitas RT/RW tadi. Orang kan dengarnya seksi-nya [saja] 1 M/RW per tahun.
Lihatlah semangatnya, ini untuk memberdayakan masyarakat yang selama ini tidak didengarkan. Mereka punya inisiatif, ingin punya kegiatan tetapi enggak di-support. Contohnya untuk membenahi, memelihara lingkungannya, menjadikan lingkungannya lebih tertib, lebih rapi, lebih aman tetapi they don’t have capacity untuk mewujudkan itu semua. Nah, di sinilah saya masuk [mengatakan] bahwa ruang fiskalnya ada. APBD kita Rp70 triliun dan itu kalau digunakan dengan sebaik-baiknya, Insya Allah akan benar-benar terealisasi dengan baik. Akan tetapi kalau kita dari awal curiga, bakal dikorupsi, bakal dikorupsi, sudah pasti [akan terjadi] begitu.
Berarti prosesnya bottom-up ya. Anda tentu tahu selama ini gubernur populer di Jakarta, Ali sadikin dan Ahok sangat keras, termasuk Sutiyoso. Anda berani lain dari mainstream seperti mereka?
Oh, Agus punya karakter tersendiri. Dan setiap pemimpin diperlukan di setiap zaman berbeda-beda, itu yang saya yakini. Walaupun punya style yang berbeda, as long as hati kita dijaga bahwa segala sesuatunya kita lakukan untuk rakyat, seluruh rakyat Jakarta. Makanya saya katakan Jakarta untuk rakyat, dari elit sampai yang hidupnya sangat sulit di Jakarta ini. Nah, bagi saya, tegas itu sebuah keniscayaan pemimpin. Pemimpin tidak tegas tidak akan menghasilkan kebijakan-kebijakan, keputusan-keputusan yang efektif.
Yang paling penting, tegas itu tidak sama dengan beringas, tidak manusiawi. Yang kita cari adalah leader yang mengayomi semua umat warganya.
Saya memahami benar bahwa setiap keputusan pasti ada konsekuensinya dan pemimpin yang baik berani mengambil konsekuensi, berani mengambil risiko setiap keputusannya, termasuk jika ada yang tidak suka dengan keputusan itu. Yang tidak boleh terjadi, dalam decision making process ada aspek-aspek yang dipangkas, apalagi kalau itu aspek hukum.
Kemudian, jangan sampai dalam proses pengambilan keputusan ada pihak-pihak yang terkena dampak paling nyata, tetapi tidak dilibatkan dalam proses. Pendekatan-pendekatan yang lebih partisipatif yang ingin saya kembangkan untuk Jakarta itulah yang saya harapkan bisa mengurangi, mereduksi tingkat kekecewaan, tingkat amarah dari rakyat, dari stakeholders yang akan terkena dampak dari setiap kebijakan yang diambil oleh gubernur.
Yang paling penting bagaimana setiap saat pemimpin itu berpikir sebagai the real leader, memikat semua rakyatnya, bukan hanya mengatakan yang penting selesai pekerjaan. Betul pekerjaan selesai, tetapi ingat dampak-dampaknya harus dihitung dengan baik. Jangan sampai ada rakyat Jakarta yang merasa kalah dan tersingkir dari kotanya sendiri. Jakarta ini milik siapa kalau pada rakyat yang sulit hidupnya bukan dilindungi malah semakin tergusur, tersingkir, dan terbuang dari sini?
=======================================
Simak lanjutan wawancara Agus Harimurti Yudhoyono (Bag II): "Saya Malah Dirugikan oleh Kasus Ahok"
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Maulida Sri Handayani