Menuju konten utama

Saat Tubuh Bergerak di Luar Kontrol: Tardive Dyskinesia

Biasanya, ia merupakan efek samping dari konsumsi obat-obat gangguan kejiwaan dan obat pencernaan.

Saat Tubuh Bergerak di Luar Kontrol: Tardive Dyskinesia
Ilustrasi Tardive Dyskinesia. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dalam drama televisi The Good Wife yang ditayangkan CBS, pengacara Louis Canning (diperankan oleh Michael John Fox), diceritakan memiliki gangguan syaraf. Pada setiap persidangan, tangan dan kaki Louis selalu bergerak tak terkendali, tangannya terus berputar, begitu pula kakinya. Bahkan, gerakan itu juga terjadi saat Louis berbicara dengan hakim, berjalan, menulis, serta saat menuangkan air dalam gelas di persidangan.

Mulanya, gerakan itu mengganggu pandangan semua yang ada di ruang sidang, termasuk majelis hakim. Hingga akhirnya Louis menceritakan penyakitnya itu di persidangan, dan menunjukkan obat-obatan yang ia konsumsi. Mereka yang tadinya terganggu berubah menjadi simpati kepada Louis.

Anda mungkin pernah melihat orang yang mengalami serupa dengan Louis, atau dengan kebiasaan berulang lain seperti menghisap, mengunyah, berkedip secara cepat dan berulang, yang dilakukan tanpa mereka sadari.

Terkadang, dalam sebuah kelompok, orang seperti Louis akan menjadi bahan risakan. Padahal, persoalan itu sama sekali bukan soal sepele. Gerakan itu bisa jadi muncul karena tardive dyskinesia (TD) atau diskinesia tardif.

Diskinesia tardif merupakan gangguan gerak yang tak terkendali yang muncul karena efek samping obat antipsikotik. Yustinius Semiun, OFM dalam buku Kesehatan Mental 3 (2006:102) memaparkan bahwa orang yang mengalami diskinesia tardif biasanya akan melakukan tingkah laku yang tak dapat dikontrol pada mulut, bibir, dan lidah. Gerak tak terbendung ini juga dapat terjadi pada lengan dan anggota tubuh lainnya.

“Pasien-pasien yang mengalami tardive dyskinesia melakukan gerakan-gerakan mengisap, mengunyah, gerakan rahang samping, mengecap-ngecapkan dan mengerutkan bibir, mendorong dan memutar-mutarkan lidah, melakukan gerakan-gerakan seperti tic pada bibir, mata, dan alis mata,” ungkap Semiun.

Pada anggota tubuh dan lengan, umumnya mereka akan memutar-mutarkan tubuh, serta mengangkat bahu.

Semiun juga mengatakan kalau gangguan tardive dyskinesia bukan gangguan yang sepele, sebab dapat mengganggu pembicaraan, keterampilan, makan, pernapasan, ketidakmampuan berat, dan bahkan dapat menyebabkan kematian.

Bagaimana Sindrom Ini Dapat Terjadi?

Daniel E. Casey, M.D. dalam artikel berjudul “Tardive Dyskinesia” (PDF) menyampaikan bahwa sindrom ini dapat terjadi akibat penggunaan narkoba di masa lampau.

“Prevalensi tardive dyskinesia terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dengan persentase 5% hingga 10% pada pasien usia di bawah 40 tahun, dan naik pada kisaran 50% hingga 70% pada pasien di atas 65 tahun, dengan resiko terbanyak pada wanita,” ujar Casey.

Casey juga mamaparkan, orang dengan diagnosis pskiatri umumnya lebih rentan terhadap tardive dyskinesia. Namun, orang tanpa diagnosis pskiatri juga dapat terkena sindrom ini, sebagai akibat dari pengobatan dengan agen neuroleptik. Termasuk diantaranya pasien yang sedang menggunakan obat antiemetik seperti proklorperazin, atau dengan obat yang mengandung senyawa metoklopramida hidroklorida, yang biasanya terdapat dalam obat untuk gangguan pencernaan.

Dokter spesialis syaraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dr. Dyah Tunjungsari, Sp.S. mengatakan bahwa tardive dyskinesia dapat menyerang siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun lansia. Sindrom ini muncul akibat senyawa dopamin berlebihan pada otak.

“Ada salah saat senyawa dopamin yang berperan saat melakukan proses gerakan. Jadi di otak itu, pada saat melakukan suatu gerakan, neurotransmitter dopamin dalam keadaan cukup. Tidak kurang, tidak lebih. Nah ada jenis obat-obatan tertentu yang menyebabkan dopamin berlebihan, nah itu [dopamin berlebihan] yang menyebabkan tardive dyskinesia,” kata Dyah.

Dyah menyebutkan, obat-obatan yang menyebabkan sindrom ini merupakan obat-obatan anti-depresan atau obat pskiatrik, juga obat anti-epilepsi. Namun, bisa juga akibat efek samping dari obat anti muntah dan mual yang mengandung metoklopramida.

Infografik tardive dyskineisa

Mengurangi Risiko Diskinesia Tardif

Dyah Tunjungsari membeberkan cara untuk mengurangi resiko terkena sindrom tardive dyskinesia, yakni dokter harus mengedukasi pasien terhadap efek samping dari penggunaan obat yang mereka berikan.

“Gejalanya itu kan berupa gerakan di luar kendali. Seharusnya saat diberi obat, pasien mengetahui efek sampingnya, sehingga bisa dipantau saat gejala tersebut muncul,” papar Dyah.

Jika pasien mengalami sindrom tersebut, Dyah juga menyarankan untuk mengkonsultasikan ke dokter. Biasanya, dokter akan menelusuri penggunaan obat-obatan tersebut, serta melihat kepentingan dari penggunaan obat itu. Jika dimungkinkan, dokter akan menghentikan penggunaan obat yang dapat menyebabkan tardive dyskinesia, atau akan menurunkan dosis.

“Atau bisa juga dokter mengganti obat dari pasien. Misalnya sang pasien membutuhkan obat karena indikasi A, kalau ada obat jenis lain, bisa diganti dengan obat itu,” ungkap Dyah.

Dyah juga menyampaikan, sindrom ini perlu waktu cukup lama untuk bisa sembuh. Biasanya, semakin lama sindrom tersebut terdeteksi, semakin lama pula pengobatan terhadap pasien itu.

Pada tahun 2017, Food and Drug Administrasion Amerika Serikat memperkenankan penggunaan kapsul Ingrezza (valbenazin) dalam pengobatan tardive dyskinesia untuk orang dewasa. Kapsul tersebut merupakan obat pertama yang disetujui untuk pengobatan sindrom ini.

Manfaat dari Ingrezza tersebut telah teruji pada 234 peserta yang membandingkan obat ini dengan plasebo, setelah pengobatan selama 6 minggu. Namun, kapsul ini dapat menyebabkan efek samping serius, seperti kantuk dan irama jantung, sehingga mereka yang mengonsumsi Ingrezza tidak diperkenankan untuk mengemudi atau melakukan kegiatan berat.

Baca juga artikel terkait SINDROM atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Widia Primastika
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani