tirto.id - Beberapa orang ditangkapi polisi Indonesia di masa pandemi COVID-19. Aktivis menilai apa yang terjadi saat ini adalah pemberangusan kebebasan berekspresi, dan itu keliru.
Beberapa kasus mengenai 'hoaks Corona', salah satunya dialami Alimudin Baharsyah pada 3 April lalu. Ia diduga menghina Presiden Joko Widodo karena berniat menetapkan status darurat sipil untuk menangani pandemi.
"Ini ada virus, darurat kesehatan, kok yang diterapin malah kebijakan darurat sipil? Emang ada perang? Ada kerusuhan? Ada pemberontakan? Heran deh," katanya lewat video. Dalam video itu ia juga menyebut presiden "gobl*k."
Unggahan lain berbunyi: "Harusnya rezim Jokowi enggak perlu ngambek sama kepala daerah yang lakukan lockdown. Kan biaya ditanggung mereka sendiri. Apalagi sih yang ditakutin, pak?"
Alimudin ditetapkan sebagai tersangka dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE (menyebarkan kebencian) dan Pasal 207 KUHP (menghina penguasa). Penyidik kemudian menjeratnya juga dengan pasal berlapis usai mengambil perangkat elektroniknya dan menemukan konten video-video pornografi.
Dari keterangan Himawan Bayu Aji, Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, warga sipil yang mengekspresikan pendapatnya diringkus institusi Bhayangkara karena "ada unsur diskriminasi ras dan etnis, berita bohong, dan penghinaan terhadap penguasa."
Hingga 21 April, ada 96 kasus terkait hoaks corona; 24 kasus ditangani Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Timur; 9 kasus ditangani Polda Riau; 12 kasus diselidiki Polda Jawa Barat dan Bareskrim Mabes Polri; sisanya di polda lain.
"Motif para pelaku adalah iseng, bercanda, dan ketidakpuasan terhadap pemerintah," kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Argo Yuwono pada 22 April.
SAFEnet, perkumpulan yang bergerak dalam privasi dan keamanan digital, mengingatkan langkah Polri menangkap puluhan warga sipil yang menyebarkan 'hoaks corona' semestinya "tidak langsung dihukum dengan jeratan undang-undang atau penjara."
Alasannya, kerap kali orang-orang punya kecenderungan "ingin tampil" karena selama ini "sudah terbukti banyak orang mendadak terkenal dari perilaku [menyebarkan hoaks]," ujar anggota tim pemantauan SAFEnet Abul Hasan Banimal. Dengan kata lain, mereka yang dituduh menyiarkan kabar bohong tidak selamanya bermotif buruk.
"Orang-orang yang tidak tahu itu, seolah ingin jadi [pihak] pertama yang mengabarkan kejadian, walau kadang dibumbui drama. Mereka ingin eksis di lingkaran sendiri," kata Banimal.
Hasil pemantauan sementara SAFENet antara 1 Februari-21 April 2020, sedikitnya ada 38 kasus terkait hoaks corona yang ditangani polisi. Ada yang ditangkap, ada yang ditahan, ada yang dilepas, ada juga yang diproses untuk dilakukan surat perintah penyelidikan.
Ada yang bekerja di rumah sakit, warga biasa, pengacara, kuli bangunan, ibu rumah tangga, sopir angkot, hingga kuli bangunan. Mereka menyebarkan kabar bohong atau belum teruji kebenarannya lewat medium Facebook, WhatsApp, YouTube, dan Instagram. Salah satu kasus itu terjadi di Jakarta Barat: seseorang menyebarkan video lewat WhatsApp yang merekam satpam jatuh pingsan sebagai korban COVID-19. Polisi menangkapnya dengan tuduhan telah berbuat onar.
Banimal berpendapat, alih-laih main tangkap dalam situasi pandemi COVID-19 tak menentu ini, "banyak hal yang bisa dilakukan untuk sosialisasi mengenai bagaimana berperilaku di medsos, juga hak-hak digital seseorang, berikut hak berekspresi."
Menangkap Pengkritik
Selain hoaks, penangkapan terkait isu penjarahan di tengah krisis pandemi COVID-19. Isu ini pertama kali berembus saat Kapolda Polda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana menangkap tiga remaja di sebuah kafe di Tangerang. Itu terkait vandalisme yang memuat pesan provokatif, beberapa di antaranya 'Kill the Rich', 'Mau Mati Konyol atau Mati Melawan', dan 'Sudah Krisis, Saatnya Membakar'.
Polisi menyebut anak-anak ini adalah kelompok "anarko" yang "memiliki paham anti-kemapanan."
"Mereka merencanakan aksi vandalisme secara bersama-sama di beberapa kota besar pada 18 April 2020 yang tujuannya mengajak masyarakat melakukan keonaran dan ajakan membakar, kemudian menjarah," kata Nana, 11 April lalu.
Polri kemudian gencar manangkap orang-orang yang diduga "kelompok Anarko." Polisi bergerak ke Bekasi dan menangkap dua orang lain. Lima orang inilah yang disebut akan merencanakan penjarahan se-Jawa, pulau terpadat di Indonesia dengan populasi 150,4 juta jiwa.
Berikutnya penangkapan terjadi di Banjar, Jawa Barat, terhadap pelaku vandalisme serupa di Tangerang. Polisi juga menangkap tiga pemuda di Malang, dengan tuduhan mereka "melawan kapitalisme."
Baik penangkapan di Tangerang maupun di Malang memiliki satu kejanggalan utama: polisi menyalahi prosedur, termasuk hanya menunjukkan surat perintah penangkapan tanpa nama.
Penangkapan-penangkapan ini rawan kriminalisasi. Dalam kasus tindakan mencorat-coret tembok, ia belum bisa dikategorikan sebagai penghasutan. "Harus ada unsur akibat. Artinya, polisi harus membuktikan lebih dulu bahwa pesan yang ditulis itu telah mendorong keonaran atau tindak pidana," ujar pakar hukum dari Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad.
Pendapat Suparji sejalan Putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009 atas pengujian Pasal 160 KUHP tentang penghasutan. Hakim konstitusi menegaskan pasal itu harus ditafsirkan sebagai delik materiil, bukan delik formil. Artinya, seseorang baru bisa disebut menghasut jika apa yang dia lakukan memunculkan tindak pidana lain seperti kerusuhan.
Dalam kasus penangkapan di Malang, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati berpendapat polisi "tidak bisa menangkap orang yang melawan kapitalisme, sebagaimana juga tidak bisa menangkap orang yang mengusung kapitalisme, karena perkara ini di level pemikiran."
Dari kasus penangkapan yang berpotensi dipakai otoritas kepolisian buat membungkam kritik, kasus Ravio Patra mungkin yang paling kentara kejanggalannya. Ravio, peneliti
kebijakan publik yang aktif berkomentar kritis di Twitter, ditangkap oleh Polda Metro Jaya di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, pada Rabu malam, 22 April.Rabu siang, akun WhatsApp Ravio diretas. Peretasnya kemudian menyebarkan pesan berantai ke orang-orang yang bukan kenalannya, salah satunya ke grup WhatsApp relawan Jokowi, memuat ajakan "provokatif" agar melakukan "aksi penjarahan serentak" pada 30 April. Perwakilan WhatsApp wilayah Asia Pasifik, yang berkantor di Singapura, memberitahu "akun Ravio entah bagaimana dibobol (compromised)." Akun WhatsApp Ravio kembali pulih dalam kendalinya pada pukul 19.00 atau lima jam setelah akunnya diretas.
Dalam situasi pesan peretas telah menyebar ke banyak pihak, Ravio merasa tidak aman dan berniat mencari perlindungan, tetapi Polda Metro Jaya menangkapnya berdasarkan laporan dari seseorang berinisial 'DR', antara pukul 21.00-22.00, alih-alih melindunginya. Pada 23 April pukul 14.00, Polda Metro Jaya baru mengakui telah menangkap Ravio dalam konferensi pers setelah saling lempar tanggung jawab ketika wartawan dan kuasa hukum Ravio menanyakan keberadaannya.
Ravio mula-mula menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tanpa pendampingan kuasa hukum, kemudian statusnya berubah menjadi saksi, menurut Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus yang mengawali kasus Ravio. Koalisi juga mencermati polisi berubah-ubah memakai pasal pidana buat menjerat Ravio. Semula menuduh Ravio telah menyebarkan berita bohong (pasal 28 ayat 1 UU ITE), polisi mengubahnya dengan menuding Ravio telah menyebarkan "kebencian" (pasal 28 ayat 2 UU ITE).
Polda Metro Jaya akhirnya melepaskan Ravio pada Jumat, 24 April, karena "tak menemukan bukti permulaan yang cukup" untuk menjeratnya.
Koalisi berpendapat bahwa peretasan akun WhatsApp dan penangkapan Ravio "terkait erat dengan kritik-kritik yang sering disampaikannya di media sosial." Koalisi juga mendesak Polri mengusut pelaku peretasan dan penyebar berita bohong melalui akun WhatsApp Ravio, alih-alih membungkam pengkritik.
Pemeritah Sebaiknya Terbuka Saja
Peneliti dari Human Rights Watch Andreas Harsono berkata serangkaian represi kebebasan berpendapat dan berekspresi di masa pandemi COVID-19 semestinya tidak terjadi. Masyarakat cukup "bawel"--dengan berbagai derajat--karena menurutnya pemerintahan Joko Widodo sendiri tidak terbuka dan kurang maksimal dalam penanganan pandemi.
"Tes [pemeriksaan COVID-19] di Indonesia jauh lebih rendah daripada yang harusnya dilakukan. Tracing [kontak pasien] juga kacau-balau," kata Andreas kepada reporter Tirto melalui sambungan telepon.
Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara lain dalam hal melakukan tes SARS-CoV-2. Indonesia baru melakukan 59.935 tes atau 219 tes per 1 juta populasi penduduk per 23 April 2020, kalah jauh dibanding Amerika Serikat (AS) yang memiliki populasi hampir serupa, 4,7 juta lebih tes.
Di tingkat ASEAN juga sama. Jumlah tes yang dilakukan tak lebih banyak dibandingkan Malaysia (117.406 tes atau 3.627 tes per 1 juta populasi) dan Filipina (72.564 tes atau 660 tes per satu juta populasi).
Pemerintah semestinya menjawab kritik masyarakat dengan menyediakan informasi yang jernih secara rutin dengan data yang akurat, termasuk data soal bagaimana penyebaran dan keterbatasan pemerintah dalam menangani pandemi, ujar Andreas.
"Ini yang menurut saya sampai sekarang kurang," tegas Andreas. "Sebaiknya pemerintah transparan saja dan bilang: 'Well, I am sorry, ini situasinya.' Tidak perlu janji yang muluk tapi tidak tercapai."
Sementara bagi aparat keamanan Indonesia, menurutnya, "tidak perlu represif."
"Menurut saya itu tidak perlu," katanya, menilai tudingan terutama merancang penjarahan sangat lemah dan sulit dibuktikan. Maka, katanya, "mereka harus dibebaskan."
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino