Menuju konten utama

Sepekan Penangkapan 'Anarko', Hantu yang Dibuat untuk Meneror Warga

Polisi menangkapi para 'anarko' dengan banyak kejanggalan. Ada dugaan cap ini adalah upaya membangkitkan 'hantu' baru setelah komunisme.

Sepekan Penangkapan 'Anarko', Hantu yang Dibuat untuk Meneror Warga
Sejumlah orang dari Anarko Sindikalis melakukan aksi vandalisme saat mengikuti aksi Hari Buruh (1/5/2019). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar

tirto.id - Polda Metro Jaya menangkap tiga pemuda di sebuah kafe di Tangerang, Banten, terkait corat-coret yang ditemukan di kota tersebut. Polisi menyebut pesan-pesan yang dibuat pakai cat semprot tersebut sangat provokatif. Beberapa di antaranya: 'Kill the Rich', 'Mau Mati Konyol atau Mati Melawan', dan 'Sudah Krisis, Saatnya Membakar'.

Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana menuding para remaja ini berniat bikin onar se-Jawa. "Dari hasil membuka handphone," katanya dalam konferensi pers, "mereka merencanakan aksi vandalisme secara bersama-sama di beberapa kota besar 18 April 2020 yang tujuannya mengajak masyarakat untuk melakukan keonaran dan ajakannya membakar, kemudian menjarah."

Penangkapan satu pekan lalu itu hanya permulaan. Setelahnya beberapa kali polisi menangkap kelompok yang mereka sebut 'anarko'--atau menurut Nana Sudjana "kelompok ini memiliki paham anti-kemapanan."

Dari Tangerang, polisi bergerak ke Bekasi dan menangkap dua orang lain. Lima orang inilah yang Nana sebut tengah merencanakan penjarahan se-Jawa, yang jumlah penduduknya mencapai 150,4 juta jiwa.

Nana Sudjana mengatakan saat ini kasus tengah dikembangkan. Bukan tidak mungkin ada tersangka lain, juga tidak hanya di Jakarta. "Kami akan coba seperti di Bandung dan beberapa kota, seterusnya," katanya.

Penangkapan 'anarko' memang berlanjut. Kali ini terjadi di Banjar, Jawa Barat. Polanya serupa: yang ditangkap adalah pelaku vandalisme. Pesan yang disampaikan juga sama: kill the rich. Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Pol Saptono Erlangga mengatakan memang belum ada bukti yang menyatakan pelaku vandalisme di daerahnya terkait dengan kelompok 'anarko' di Tangerang dan Bekasi. "Namun masih terus kami dalami," katanya.

Penangkapan selanjutnya terjadi di tempat yang cukup jauh dari Jakarta: Kota Malang, Jatim, Senin (13/4/2020). 10 orang ditangkap setelah diduga vandal dengan menuliskan pesan: "Bubarkan Negara" dan "Rakyat Tidak Butuh Negara" di terowongan Karanglo Singosari.

Penangkapan terbaru terjadi di Jakarta. Polda Metro Jaya menangkap seorang pemuda bernama Pius Laut Labungan yang mengaku "Ketua Anarko Indonesia," yang kemudian diketahui hanya seorang pencuri helm. Namun Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Jerry Siagian mengatakan polisi masih mendalami keterangan Pius sebagai 'ketua anarko'.

"Kami kasih [video Pius yang mengklaim ketua anarko] ke Kamneg sebagai bahan penyidikan mereka," katanya.

Klaim Janggal

Sejumlah pihak menganggap penangkapan ini janggal, apalagi jika dikaitkan dengan 'gerakan anarko' di Indonesia.

Dosen Program Studi Ilmu Politik UPN “Veteran” Jakarta Sri Lestari Wahyuningrum, misalnya, mengatakan sangat prematur kalau orang-orang yang ditangkap itu dicap anarko hanya karena mereka melakukan aksi vandal atau mencorat-coret tempat umum dengan simbol tertentu.

Lagipula, katanya, gerakan anarko di Indonesia sulit berkembang, meski secara gagasan tidak akan pernah mati--sebagaimana komunisme.

Gagasan utama anarkisme adalah anti-otoritas dan hierarki dalam bentuk apa pun, termasuk negara. Anarkisme menghendaki kesetaraan antar manusia karena mereka percaya setiap anggota masyarakat bisa mengelola hidup sendiri dan bisa mengatur komunitasnya secara mandiri. Karenanya, keberadaan negara yang mengatur justru dianggap sebagai ancaman.

"Kalau kita bicara soal equality dan equity, yang paling radikal adalah mimpinya anarko ini," kata Ayu kepada reporter Tirto, Kamis (16/4/2020).

Meski demikian, dunia saat ini telah disusun berdasarkan hirerarki sedemikian rupa, bahkan dalam hubungan keluarga dan hubungan kerja sekalipun. Itu yang pada akhirnya membuat mimpi para anarkis menghancurkan segala bentuk otoritas menjadi sulit diwujudkan, bahkan barangkali tidak masuk akal.

Ayu juga menyoroti kengototan polisi yang masih mau menyelidiki pengakuan si pencuri helm Pius yang mengaku 'ketua anarko'. Ideal bahwa masyarakat harus hidup tanpa otoritas dan hierarki membuat mereka tak mengenal ketua atau struktur seperti di organisasi pada umumnya. Pengakuan seseorang sebagai 'ketua anarko' semestinya tidak perlu diseriusi.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga mengatakan klaim polisi bahwa mereka menangkapi kelompok anarko dibuat-buat. Polisi, menurutnya, sama sekali tak paham apa yang mereka katakan.

"Buku-buku yang ditunjukkan sebagai barang bukti malah menunjukkan ketidakpahaman polisi," katanya kepada reporter Tirto.

Saat rilis, polisi memang menyertakan beberapa buku sebagai barang bukti. Buku-buku itu sama sekali tak terkait dengan anarkisme. Untuk menyebut beberapa saja, ada Corat-Coret di Toilet karya Eka Kurniawan--dengan sampul bergambar bom molotov--yang sebenarnya adalah kumpulan cerpen. Ada pula buku Aksi Massa (1926) karya Tan Malaka, sebuah karya penting yang menginsiprasi banyak orang untuk melawan penjajahan Belanda--termasuk Soekarno yang kelak jadi Presiden pertama RI.

Penyitaan buku juga bermasalah karena pada tahun 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) telah melarang hal tersebut. Kala itu, Hakim Konstitusi Mahfud MD mengatakan bahwa penyitaan buku hanya bisa dilakukan melalui putusan pengadilan.

Hantu dan Teror

Asfinawati lantas mempertanyakan bagaimana bisa video Pius beredar luas. Menurutnya, jika mengikuti nalar polisi, video itu dapat dikategorikan sebagai pesan teror kepada masyarakat.

"Harus diusut siapa yang fasilitasi, siapa yang sebar. Itu kan teror ke masyarakat. Merekam video dan menyebarkannya, kan, metode yang dilakukan teroris," kata Asfin.

Atas semua alasan tersebut, Sri Lestari Wahyuningrum menduga polisi sengaja menyebarkan isu anarko untuk menjadi 'hantu' baru sebagaimana komunisme sejak puluhan tahun yang lalu.

"Sekarang sama sekali enggak kondusif dan tidak menguntungkan buat pemerintah kalau pakai isu komunisme, sehingga harus dicari sesuatu yang lain," katanya.

Di masa lalu, hantu komunis dimunculkan sebagai dalil untuk memberangus tiap gerakan yang beroposisi terhadap pemerintah. "Anarkisme sebagai hantu itu selalu dimunculkan dari zaman dulu, dari zaman Belanda. Eduard Douwes Dekker itu kan anarkis, dan dia selalu dimunculkan sebagai hantu," tambah Ayu.

Baca juga artikel terkait ANARKO atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino