tirto.id - Tenaga medis yang meninggal setelah menjalankan tugas berperang melawan COVID-19 sedikitnya sudah 40, hingga Rabu 22 April 2020. Pemerintah mengatakan mungkin salah satu penyebabnya adalah mereka tidak pakai alat pelindung diri (APD) sesuai standar--pernyataan yang sebenarnya menunjukkan inkompetensi mereka sendiri dalam melindungi para pekerja.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) Harif Fadillah menyatakan ada 16 perawat yang meninggal sampai Selasa (21/4/2020), ketika dihubungi reporter Tirto. Sebelum meninggal, belasan koleganya itu berstatus pasien dalam pengawasan (PDP).
"Sebelum sakit melaksanakan tugas seperti biasa," kata Harif.
Perawat pertama yang tercatat meninggal karena COVID-19 bernama Ninuk, usia 37, bekerja di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia sakit sejak awal Maret. Gejalanya demam, diare, hingga sesak napas. Ninuk sempat dirawat di RSCM, sebelum dipindah ke RSPI Sulianti Saroso Jakarta Utara, rumah sakit rujukan COVID-19. Di sanalah ia meninggal dunia pada 12 Maret.
Harif mengatakan perlu ada penelitian mendalam untuk mengetahui penyebab kematian masing-masing koleganya. Namun sejauh ini ia menduga salah satu faktor yang mungkin membuat para perawat tertular adalah tidak mencukupinya APD. Sebagian besar perawat yang meninggal bekerja di rumah sakit swasta atau di fasilitas kesehatan tingkat pertama, katanya, yang cenderung belum punya APD memadai. Situasinya sama sekali berbeda dengan rumah sakit rujukan.
"Apakah mereka dilengkapi dengan APD yang sesuai?" katanya.
Kemungkinan lain adalah ada APD, tapi para perawat tidak disiplin atau menggunakannya tidak sesuai standar. Dalam kasus Nunik, sepenuturan suaminya, ia mungkin tertular saat sedang menangani pasien yang mungkin terinfeksi. Namun karena tidak tahu status pasien, maka dia tidak pakai APD.
Faktor lain adalah penyakit penyerta yang diderita tenaga medis.
"Terakhir, kejujuran pasien. Ada tenaga medis baru mengetahui kalau pasien positif COVID-19 setelah dilakukan tindakan," katanya.
Ketua Satgas COVID-19 DPP PPNI Jajat Sudrajat mengatakan selama ini organisasinya mendapatkan data dari survei mandiri.
"Dari 16 yang meninggal, 14 orang positif COVID-19. Satu menunggu hasil dan satu lagi tidak sempat diambil swab," kata Jajat kepada reporter Tirto. Data lain, dari 39 perawat berstatus PDP, 21 di antaranya positif.
Nasib dokter tidak lebih baik. Ketua Biro Hukum Pembinaan & Pembelaan Anggota PB IDI M. Nazar mengatakan hingga Selasa kemarin sudah ada 24 koleganya meninggal. "Bisa jadi positif semua itu, dimakamkan secara prosedur COVID-19. Saat meninggal ada yang sudah positif, ada yang belum ada hasil laboratoriumnya," kata Nazar kepada reporter Tirto.
Salah satu dokter yang gugur bernama Ratih Purwarini. Kawan-kawan mengenalnya sebagai sosok yang punya "perspektif gender." Itu membuatnya mampu "memahami pasien lebih dekat," kata Nong Choirunnisa.
Seperti para perawat, IDI juga tengah menginvestigasi kematian para dokter. Nazar adalah salah satu anggota tim investigasi itu.
"Kenapa dia bisa terpapar? Apakah kurang hati-hati, kurang APD, atau APD kurang standar? Apa karena SOP di rumah sakit atau klinik kurang baik? Itu semua kami audit untuk kepentingan internal para dokter," katanya.
Jawaban final kenapa para petugas ini bisa terpapar COVID-19 memang belum ada. Namun versi pemerintah, salah satu sebabnya adalah karena para pekerja medis "menggunakan APD yang tak sesuai standar." Hal ini dinyatakan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Arianti Anaya dalam video konferensi 17 April lalu.
Menggunakan APD yang tak sesuai standar ini dapat terjadi karena APD yang sesuai standar tidak tersedia alias langka, terutama terjadi pada pekan-pekan awal pandemi menyerang.
APD di Tasikmalaya, misalnya, pernah hanya cukup untuk tiga hari, sementara RSUD Ciamis mengatakan stok akan habis dalam waktu satu pekan.
Saat itu banyak petugas medis mengakalinya dengan menggunakan jas hujan, yang kualitasnya jauh di bawah baju hazmat.
Menyikapi situasi yang mirip 'tugas bunuh diri' karena 'berperang dengan senjata seadanya' ini, pada akhir Maret lalu gabungan organisasi profesi kesehatan membuat surat berisi pernyataan tegas: sediakan APD sesuai standar atau tenaga medis tidak ikut merawat pasien.
Presiden Joko Widodo tahu masalah kelangkaan ini. Ia lantas menunjuk hidung pembantunya yang paling bertanggung jawab: Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Dalam video konferensi pada 13 April lalu, Jokowi mewanti-wanti agar Terawan bekerja mempercepat penyediaan APD untuk para petugas.
"Tolong dicek hal-hal yang berkaitan dengan ventilator, dengan APD. Jangan sampai ada yang masih mengeluh kekurangan, agar suplainya betul-betul dilihat sehingga tidak ada keluhan di bawah," katanya.
Setelah itu pemerintah memang mempercepat pengadaan APD, baik lewat impor atau bikin sendiri. Namun, seperti dilaporkan Tempo pada 20 April lalu, asosiasi dokter spesialis penyakit dalam masih mengaku kekurangan.
Data Harus Dibuka
Setiap hari pemerintah mengumumkan angka pasien positif secara umum, dalam arti tidak membedakan apakah ia masyarakat biasa atau petugas medis. Baik Nazar maupun Narif lantas mengusulkan ada data khusus soal pasien dari kalangan tenaga medis.
Nazar, misalnya, mengatakan data yang semestinya dibuka adalah jumlah tenaga medis yang positif dan meninggal, juga penyebab kenapa mereka bisa terinfeksi, "agar tahu dan bisa mencegahnya kayak apa."
Sementara Harif beralasan membuka data korban dari kalangan medis "supaya menjadi warning kepada kami [agar] tetap waspada dan disiplin. Jangan sampai kami sembrono [saat] bertugas."
Selain itu, "data itu bisa menjadi acuan juga." Haris mengatakan dengan semakin banyak data tentang tenaga medis yang terpapar virus, "kita bisa memprediksi apakah akan punya masalah kekurangan tenaga medis ke depan. Itu penting."
Sementara Jajat menegaskan sangat mungkin data yang mereka pegang lebih kecil dibanding kenyataan, sebab tidak semua perawat lapor "baik karena tidak tahu link-nya maupun karena dilarang tempat bekerja." Karena itulah ia juga setuju pemerintah membuka data khusus petugas medis yang terkena COVID-19.
Dokter meninggal terkait COVID-19
1. Hardio Ali
2. Djoko judodjoko
3. Laurentius
4. Adi Mirsa Putra
5. Ucok Martin
6. Toni Silitonga
7. Bambang Sutrisna
8. Iwan Dwiprahasto
9. Bartholomeus Bayu Satrio Kukuh W.
10. Exsenveny lalopua
11. Efrizal Syamsudin
12. Ratin Purwarini
13. Jeane PMR Winaktu
14. Nasrin Kodim
15. Bernadette Albertine Francisca
16. Ketty Herawati Sultana
17. Lukman Shebubakar
18. Wahyu Hidayat
19. Heru Sutantyo
20. Naek L. Tobing
21. Karnely Herlena
22. Sudadi Hirawan
23. Soekotjo Soerodiwirio
24. Hasan Zain
Perawat meninggal terkait COVID-19
1. Ninuk Dwi Pusporini
2. Sugiarto
3. Mulatsih WA
4. Setia Ariwibowo
5. Mursyida
6. Zaenal khabib
7. Adharul Anam
8. Nuria Kurniasih
9. Nur Putri Julianty
10. Elok Widyaningsih
11. Novera
12. Hastuti Yulistiorini
13. Rina Iswati Wuryaning Wulan
14. Nurkela
15. Agus Indarto
16. Shelly Ziendia Putri
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino