tirto.id - Emo rock pernah menjadi genre musik yang sangat populer. Musisinya tidak hanya menumpah emosi ala remaja puber ke dalam hantaman drum, riff gitar, dan lirik.
Mereka juga menawarkan sepaket identitas khas, yang ramai-ramai diserobot oleh generasi muda dalam masa pencarian jati diri.
Rambut polem (poni lempar), dandanan serba gelap, dan sikap serba depresif diadopsi para emo kids kala sedang nongkrong atau pamer melalui unggahan di media sosial. Subkultur ini solid sepanjang era 2000-an, termasuk di Indonesia.
Ada banyak band asal Amerika Serikat yang bisa dijadikan acuan untuk mendedah fenomena emo rock. Salah satunya yang populer adalah Paramore.
Frontwoman Hayley Williams mengecat rambutnya dengan warna merah oranye-merah, berparas cantik, dan aktif di atas panggung. Ia merepresentasikan apa itu emo girl yang ideal. Tapi yang lebih penting adalah karakter vokalnya yang berkarakter serta bertenaga.
Ia segera menjadi daya tarik utama Paramore sejak album debut yang bertajuk All We Know Is Falling (2006).
Sejak awal Paramore tidak pernah benar-benar digolongkan sebagai band emo oleh pengamat musik. Melalui album debut mereka banyak mengawinkan emo rock dengan power pop dan pop punk. Contohnya ada pada "Pressure", "All We Know", dan "Emergency"—tiga lagu paling dikenal dalam album.
Gaya musikal yang sama dipertahankan dalam album Riot! (2007) dan Brand New Eyes (2009) namun dengan materi yang jauh lebih solid.
Penggemar Paramore akan bersepakat bahwa kedua album tidak hanya membawa band ke panggung popularitas yang lebih luas, tapi juga didaulat sebagai dua karya terbaik sepanjang karier.
Nuansa emo/pop punk masih terdengar, termasuk aura kegelisahan remajadalam lirik-liriknya. Lagu "Misery Business" dalam album Riot!, misalnya. Isinya adalah sindiran kepada perempuan yang Hayley sebut sebagai perempuan jalang.
“sekali seorang pelacur, kamu tidak lebih dari status itu / maafkan aku status itu tak akan pernah berubah” (once a whore, you’re nothing more/I’m sorry that’ll never change).
Hayley sempat berkata pada media bahwa lirik-lirik dalam kedua album menggambarkan fase sakit hati yang sedang dialaminya kala proses penciptaan lagu.
Rekan-rekan lain juga menjelaskan bagaimana penulisan lagu dianggap sebagai salah satu metode terapi dalam menghadapi problem masing-masing personel.
Menjauhi Agresi
Perubahan mulai terasa pada album ketiga, Paramore (2013). Materinya masih mengandung bunyi alternatif rock dan pop punk ala Paramore, tapi sudah susah dikategorikan sebagai emo pop sekalipun.
Beberapa pengamat terang-terangan menilai band sepenuhnya telah meninggalkan emo untuk fokus di ranah power pop.
Nada-nada ceria, riff gitar ringan, dan lirik roman picisan menjelma dalam dua lagu terpopulernya, "Still Into You" dan "Ain’t it Fun".
Jika video klip lama Paramore dibingkai secara gelap serta menggebu-gebu, video klip kedua lagu di atas mencolok mata penonton lewat warna-warna cerah. Para personel ditampilkan sedang melakukan aktivitas-aktivitas sepele namun menyenangkan.
Puncaknya adalah album yang rilis dua tahun silam, After Laughter. Kesan tidak emo langsung terasa pada judul album maupun ilustrasi sampulnya.
Dengan latar belakang gradasi ungu muda hingga menua, sampul menampilkan nama band dan nama album yang dikelilingi objek-objek abstrak berwarna pastel.
Materi lagunya sudah nihil pop punk atau alternatif-rock. Hayley dan kawan-kawan beralih mengolah nada-nada ceria di jalur new wave dan synth pop. Beberapa materinya ada yang dideskripsikan kritikus sebagai funk pop, indie pop, atau electro pop.
Estetikanya secara umum terinspirasi dari budaya pop 1980-an. Gaya ini amat terlihat dalam video-video klip terbaru Paramore.
Ingat Umur
Sebuah genre sejatinya tidak pernah mati. Emo pun demikian. Ia terus digalakkan oleh musisi-musisi yang menaruh hatinya di sana. Hanya saja, setelah sempat berjaya, emo dipaksa menyingkir dari untuk digantikan oleh genre-genre lain.
Leluconnya: menjadi emo kids hanya dianggap sebagai fase temporer bagi sebagian generasi 2000-an sebelum akhirnya ia dewasa. Mereka bak ditekan rasa malu untuk akhirnya memotong poni, menyeka eyeliner, dan menstabilkan emosi.
Paramore adalah sekumpulan seniman yang mencari makan lewat penciptaan dan penampilan lagu. Saat industri tidak lagi melirik genre emo, serupa langkah yang dilakoni band-band lain, mereka memutuskan untuk beradaptasi.
Dalam konteks industri musik, perubahan Paramore sesederhana upaya demi menjaga eksistensi.
Mencerminkan perubahan melalui album baru adalah tindakan lazim. Berjanji untuk tidak lagi membawakan lagu lama adalah manuver yang langka.
Independent melaporkan Paramore menyatakan tidak akan membawakan lagu "Misery Business" secara langsung saat sedang menjalani konser di kampung halamannya, Nashville, pada 7 September 2018. Pertimbangannya sudah dilakukan dalam waktu yang cukup lama, kata Hayley.
“Ini pilihan yang kami lakukan karena kami merasa sudah seharusnya begitu. Kami merasa ini saatnya untuk menjauh darinya untuk beberapa waktu. Ini untuk semua keputusan buruk dan yang memalukan yang pernah kami sampaikan, tapi kami mesti jalani untuk bisa tumbuh,” lanjutnya.
Hayley sebenarnya pernah mengungkapkan ketidaksukaannya pada lagu "Misery Business"karena mengandung lirik “sekali seorang pelacur, kamu tidak lebih dari status itu/maafkan aku status itu tak akan pernah berubah” (once a whore, you’re nothing more/I’m sorry that’ll never change).
Pada unggahan di akun Tumblr-nya Hayley menyampaikan bagaimana lirik itu membuat lagu bernada anti-feminis serta kini tidak lagi mewakili pandangannya.
“'Misery Business' bukan lirik yang dekat dengan perempuan usia 26 tahun (usia Hayley saat itu). Aku lama sekali merasa jauh darinya. Kata-kata itu ditulis saat aku berusia 17 tahun, yang harus diakui, dari sudut pandang yang sangat sempit.”
Di era menguatnya gerakan perempuan melalui #MeToo, keputusan Hayley tergolong masuk akal. Namun bagaimana dengan pop 1980-an yang Paramore eksekusi di album After Laughter?
Sejumlah fans di kanal Reddit menganggapnya sebagai hal yang wajar, mengingat estetika 1980-an memang sedang naik daun baik dalam musik, film, hingga gaya busana.
Pemantiknya pun beragam. Mulai dari karya-karya Daft Punk di album Random Access Memories hingga kesuksesan serial Strangers Things.
Linkin Park Tak Mau Gila
Band-band rock yang lahir dan besar pada era 2000-an, masih berkarya, serta menunjukkan perubahan gaya musik tidak cuma Paramore. Ada Linkin Park yang reputasinya lebih mendunia.
Barangkali tidak berlebihan jika pada 2014 Majalah Kerrang! pernah mendaulat Linkin Park sebagai Band Rock Terbesar di Dunia Saat Ini. Dalam genre nu-metal, mereka selalu dijadikan contoh paling sukses baik secara capaian artistik maupun komersil.
Dua album pertama mereka, Hybrid Theory (2000), Meteora (2003), telah mencapai status klasik. Orang-orang mendengarkan materinya sebagai karya penuh tenaga. Vokalis Chester Bennington menumpah teriak bak sedang marah-marah, diselingi lirik-lirik rap dari Mike Shinoda.
Alih-alih evolusi lurus ke depan, perubahan musik Linkin Park pada album-album selanjutnya lebih seperti alur maju-mundur.
Pada album Minutes to Midnight (2007) mereka melepas nu-metal dan rap rock untuk menjadi alternatif rock. Berlanjut ke A Thousand Suns (2010) dan Living Things (2012), band bereksperimen di ranah elektronik/industrial-rock. Sedangkan di The Hunting Party (2014) mereka kembali ke rap rock dan alternatif-metal.
Perubahan paling radikal terjadi pada album One More Light (2017). Shinoda, Bennington, dan kawan-kawan memilih untuk melepaskan sepenuhnya genre yang pernah membesarkan nama band.
Mereka pun banting setir ke elektro pop ala-ala EDM (Electronic Dance Music), sebuah genre yang telah dan masih jadi tren di kalangan anak muda.
Contohnya lagu "Heavy". Pertengahan Maret 2017 kanal FBE mengunggah video tentang beberapa remaja yang diminta pendapatnya mengenai lagu-lagu Linkin Park, dimulai dengan lagu tersebut.
Rata-rata reaksi mereka adalah tidak mengenalinya sama sekali. Saat tahu lagu tersebut adalah karya terbaru Linkin Park, mereka kaget.
Kekagetan itu berasal dari betapa lekatnya citra Linkin Park sebagai band nu-metal, bukan orkes yang ke-EDM-EDM-an. Saat mereka disuguhi lagu "One Step Closer" (Hybrid Theory) dan "In The End" (Meteora), para remaja baru tercerahkan.
“Ini yang aku harapkan dari Linkin Park. Bukan pop sampah itu,” kata salah satunya.
FBE kemudian mengundang Mike Shinoda untuk berpendapat mengenai reaksi-reaksi para remaja tersebut. Ia terlihat bergairah, terutama saat menjelaskan mengapa Linkin Park mengubah gaya bermusik.
Salah satunya adalah karena ia membayangkan bagaimana orang akan menampakkan reaksi jijik jika grupnya membuat materi seperti yang ia hadirnya pada dua album pertama. “Ini ("One Step Closer") di tahun 2000-an keren, di tahun 2017 memalukan,” ujarnya.
Alasan lain menurut Shinoda adalah karena jika Linkin Park menciptakan materi yang mirip melulu, hal tersebut akan “membuat kami gila”.
“Oleh sebab itulah kami membuat lagu yang tidak terdengar serupa. Inilah inti dari mengapa evolusi dan eksperimentasi adalah proses yang normal bagi sebuah band.”
Shinoda sempat mengungkap rasa heran mengapa ia dan personel lain terlihat sangat marah-marah di video-video klip lama. Ia turut berterima kasih kepada beberapa remaja yang mengapresiasi evolusi gaya bermusik Linkin Park.
Shinoda menyadari kebijakan band akan meruncingkan polarisasi penggemar, yakni antara mereka yang maklum serta setia, dan mereka yang tak terima lalu berubah menjadi hater baru. Risiko yang sama juga direnungi Hayley dan musisi-musisi rock lain.
After Laughter dan One More Light memang mendapat hujatan yang keras dari para penggemar yang tidak menyukai arah baru kedua band. Dihujat, dianggap lelucon melalui meme, semua meluncur deras di media sosial. Para kritikus sama-sama tak kasih ampun saat mengulasnya.
Apakah Shinoda kapok? Tidak. Shinoda justru menilai kondisi itu membuat segalanya makin menyenangkan.
“Lakukanlah dengan kesadaran penuh dan sesuai dengan apa yang kau cintai. Jika aku tidak mencintainya, orang-orang akan tetap menyukai atau membencinya.”
Editor: Windu Jusuf