tirto.id - Dunia kerap terpesona oleh kisah fiksi yang tampak selaras dengan kenyataan. Salah satunya adalah manga The Future I Saw karya Ryo Tatsuki. Awalnya terbit pada 1999 dan nyaris tak dikenal, manga ini mendadak populer setelah bencana Tohoku 2011 yang mengakibatkan gempa dan tsunami yang menghancurkan pembangkit listrik bertenaga nuklir di Fukushima.
Efeknya luar biasa. Manga ini dicetak ulang pada 2021 dalam edisi lengkap, dengan tambahan “ramalan” baru: bencana besar pada 5 Juli 2025. Dalam edisi ini, Tatsuki menggambarkan retakan bawah laut besar berlokasi di bentangan dari Jepang hingga Filipina yang memicu tsunami dan berpotensi tiga kali lebih tinggi dari peristiwa 2011.
Akan tetapi, ada yang lebih menarik: narasi fiksi itu dengan cepat meresap ke kepala manusia dan bahkan memengaruhi realitas sosial. Prediksi gempa dari manga Tatsuki berdampak serius pada pariwisata Jepang. Potensi kerugian ditaksir mencapai 560 miliar yen.
Maskapai Greater Bay Airlines melaporkan penurunan pemesanan 30 persen dan memangkas penerbangan. Di Tottori, pemesanan dari Hong Kong turun hampir 50 persen. Secara nasional, kapasitas penerbangan anjlok hingga 83 persen.
Meski ilmuwan telah membantah prediksi tersebut, banyak orang tetap membatalkan perjalanan. Bukan karena data, tapi karena rasa takut.
Sementara itu, survei nasional yang dilakukan Sky Perfect JSAT pada Juni 2025 menunjukkan, 49,4 persen responden Jepang telah mendengar tentang “ramalan” tersebut, dengan persentase tertinggi di kalangan remaja putri (61,4 persen) dan sisanya wanita usia 50-an (57,8 persen). YouTube menjadi sumber informasi utama (27,7 persen), diikuti televisi (25,7 persen), dan platform berita daring (24,1 persen).
Manga berjudul asli Watashi ga Mita Mirai: Kanzenban yang terbit pada 1999 itu awalnya tidak terlalu diperhatikan selama lebih dari satu dekade. Barulah setelah bencana Tohoku 2011, ketika teks “Bencana akan tiba pada Maret 2011” di sampulnya ditemukan publik, manga ini mendapatkan perhatian luas.
Jumat lalu, 4 Juli 2025, Pemerintah Jepang telah mengevakuasi seluruh penduduk desa Toshima. Wilayah yang terdiri dari rangkaian pulau itu diguncang lebih dari 1.000 gempa bumi dalam kurun kurang dari dua minggu. Perintah evakuasi dikeluarkan setelah pulau-pulau di Prefektur Kagoshima dilanda gempa berkekuatan 5,5 skala Richter.
Keterkaitan yang terjadi, meskipun kebetulan, memainkan jangkar psikologis yang kuat. Keberhasilan manga Tatsuki menciptakan narasi tentang kemampuannya untuk melihat masa depan.
Kronik Mimpi Sang Mangaka
Ryo Tatsuki, seorang seniman manga Jepang yang lahir pada 2 Desember 1954 di Prefektur Kanagawa, memulai kariernya pada 1975, lalu pensiun pada 1999. Setelah berdekade-dekade berkarya dalam "diam", ia kembali aktif pada 2021 untuk penerbitan ulang The Future I Saw.
Karyanya itu merupakan kompilasi entri buku harian mimpinya. Tatsuki mengklaim telah mengalami mimpi-mimpi premonisi sejak 1980. Lalu, ia memutuskan untuk mencatatnya dalam buku harian mimpi.
Pada 1999, ia mengumpulkan mimpi-mimpi yang paling mengerikan itu menjadi sebuah manga. Ia menulis tentang gempa di Kobe pada 2 Januari 1995, 15 hari sebelum Gempa Hanshin melanda. Bahkan, pada 1996, ia bermimpi tentang bencana di Jepang timur pada Maret 2011. Mimpi tersebut ia publikasikan lima tahun sebelum tsunami Tohoku benar-benar terjadi.
Tatsuki juga menulis mimpi tentang kematian Freddie Mercury dan pandemi virus pada tahun 2020, yang disebut akan muncul kembali satu dekade kemudian. Mimpinya mencakup pula potensi letusan Gunung Fuji, bencana di Kanagawa pada 2026, dan yang paling ramai diperbincangkan: gempa dan tsunami besar pada Juli 2025, digambarkan lewat retakan di dasar laut antara Jepang dan Filipina serta “laut mendidih”.
Catatan harian mimpi, yang kemudian dikemas dalam manga The Future I Saw, tersebut menyulut spekulasi luas. Meski tak berdasar ilmiah, korelasi samar antara mimpi dan peristiwa nyata membuatnya dipercaya oleh sebagian publik, terutama di tengah ketidakpastian dan kecemasan kolektif.
Meskipun daftar prediksinya mengesankan, penting untuk memahami cara persepsi akurasi itu terbentuk. Banyak dari ramalan Tatsuki sangat samar. Sebagai contoh, ramalan gempa Kobe adalah 15 hari atau 15 tahun kemudian, yang memberikan rentang waktu yang sangat luas.
Prediksi Tohoku 2011 hanya menyebutkan bencana di suatu tempat di Jepang Timur pada Maret 2011, tanpa lokasi atau magnitudo yang tepat. Pikiran manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk menemukan pola dan makna untuk peristiwa traumatis yang dialami.
Ketika bencana terjadi, orang cenderung secara selektif mengingat dan menekankan keberhasilan prediksi yang tampaknya selaras, sambil mengabaikan kegagalan atau kesamaran yang melekat pada ramalan asli.
Sebagai ilustrasi, Tatsuki pernah meminta maaf atas ketidakakuratan prediksinya mengenai puncak dan hilangnya COVID-19. Demikian pula, mimpinya tentang Putri Diana tidaklah menyebut tentang ramalan kematian, tetapi pembaca kemudian memaksakan interpretasi tersebut.

Manga The Future I Saw telah terjual lebih dari 900 ribu eksemplar, termasuk dalam bahasa mandarin. Popularitas Ryo Tatsuki meningkat menjadikannya dijuluki “Baba Vanga” Jepang, sebuah penghargaan kepada mendiang mistikus Bulgaria yang terkenal karena warisan kenabiannya, mengutip dari Economic Times.
Mengapa Gambar dan Emosi Lebih Nyata dari Kata?
Gaya artistik dan penceritaan Tatsuki berperan penting terhadap dampak karyanya. Ia menggambarkan visinya sebagai kilasan spontan.
Gaya penulisannya lugas. Ia secara eksplisit menahan diri untuk tidak menawarkan interpretasi, sebuah karakteristik yang menurut beberapa pengikut membuat karyanya terasa lebih autentik dan kurang didramatisasi dibandingkan dengan "nabi-nabi" lain yang mendeklarasikan dirinya.
Skala mengerikan dari visi Tatsuki, misalnya estimasi tsunami tiga kali lebih besar dari tahun 2011 serta gambaran "laut mendidih" bencana Juli 2025, membuat banyak orang sulit mengabaikannya, bahkan meski tanpa dukungan ilmiah.
Manusia pada dasarnya terhubung dengan cerita. Narasi bukan hanya bentuk hiburan; mereka adalah moda utama untuk memahami, memberikan konteks, menetapkan taruhan, dan menawarkan solusi potensial.
Gaya naratif manga memiliki keunggulan unik dalam memengaruhi persepsi publik. Penelitian Journal of Anime and Manga Studies menunjukkan, manga mampu menciptakan keterlibatan emosional yang mendalam dan memengaruhi perilaku pembaca melalui identifikasi karakter. Inilah alasan visual dramatis gempa dan tsunami dalam komik Tatsuki mampu menciptakan pengalaman virtual yang lebih mudah diingat daripada grafik probabilitas seismik.
Itu adalah mekanisme kognitif yang berevolusi untuk memproses dan mengingat informasi kompleks. Komunikasi ilmiah tradisional sering menyajikan data mentah, statistik, dan model abstrak, yang, meskipun akurat, sering kali tidak berstruktur naratif inheren. Sementara itu, manga karangan Tatsuki—menyajikan prediksi bersumber mimpi yang sangat pribadi, ditambah dengan pengalaman visual yang jelas—secara langsung memanfaatkan preferensi kognitif manusia yang mendalam.
Protagonis Tatsuki, konflik bencana yang akan datang, dan plot mimpinya yang seolah terwujud dalam kenyataan, menciptakan alur naratif menarik. Struktur naratif ini memungkinkan ramalannya melewati pengawasan rasional murni dan langsung menyentuh respons emosional, menjadikannya lebih mudah diingat, lebih relevan, serta berdampak lebih mendalam daripada pernyataan ilmiah yang kering dan abstrak.
Konsensus Ilmiah tentang Ketidakmampuan Memprediksi Gempa
Jepang rawan gempa karena berada di pertemuan empat lempeng tektonik. Salah satu ancaman paling serius adalah gempa megathrust Nankai, yang menurut ilmuwan hampir pasti terjadi dalam beberapa dekade. Pemerintah memperkirakan potensi dampaknya hingga 298 ribu korban jiwa dan lebih dari 2,3 juta bangunan hancur.
Untuk menghadapi itu, Jepang menyusun strategi kesiapsiagaan berbasis bukti. Targetnya memangkas korban 80 persen, memperkuat infrastruktur, memperluas sistem peringatan, dan mewajibkan latihan evakuasi rutin.
Dalam dunia seismologi, ada konsensus ilmiah yang tegas dan tidak ambigu dari badan resmi dan para ahli. Namun, menurut Robert Geller, profesor seismologi Universitas Tokyo, prediksi gempa bumi berbasis ilmiah pun tidak mungkin.
“Tidak ada prediksi yang saya alami dalam karier ilmiah saya yang mendekati sama sekali,” katanya kepada Reuters.
Beberapa penelitian ilmiah memang sedang mengeksplorasi potensi prekursor gempa bumi, misalnya, perubahan medan gravitasi frekuensi rendah, perubahan komposisi cairan geokimia, atau derau mikroseismik. Namun, perlu digarisbawahi bahwa ini masih dalam tahap eksperimen; belum cukup andal dan tepat untuk prediksi operasional yang dapat ditindaklanjuti.
Sifat ilmu pengetahuan, dengan komitmennya terhadap bukti empiris, mendorong para ilmuwan untuk berkomunikasi dengan saintifik dan sering kali menekankan ketidakpastian, terutama di bidang yang kompleks seperti seismologi.
Namun, dari sudut pandang publik, kehati-hatian ilmiah kerap dipersepsikan sebagai keraguan, kurangnya jawaban definitif, atau bahkan ketidakmampuan untuk memberikan informasi penting, terutama dalam situasi berisiko tinggi dan menakutkan seperti bencana alam.

Sebaliknya, prediksi yang percaya diri, meskipun tidak ilmiah, dan berasal dari sumber antah berantah (seperti mimpi harian Tatsuki), menawarkan jawaban yang jelas dan tampak nyata.
Hal itu memberikan kepastian psikologis kepada publik, terutama ketika menghadapi ancaman yang tidak dapat diprediksi secara ilmiah. StudiPsychological and Cognitive Sciences (2020) menyebut bahwa mengomunikasikan ketidakpastian secara numerik hanya memberikan efek minor terhadap kepercayaan.
Hal itu kemudian menimbulkan paradoks prediksi: "keraguan" yang lahir dari kejujuran dan ketelitian ilmiah secara tidak sengaja menciptakan kekosongan. Kekosongan tersebut kemudian dengan mudah diisi oleh klaim pseudo-saintifik yang menawarkan ilusi kepastian. Publik secara tidak sadar lebih condong pada "kepastian", meskipun tidak ilmiah, daripada "keraguan" yang berbasis sains.
Paparan konten bencana, meski tak langsung, bisa berdampak besar secara psikologis, dari kecemasan hingga gejala PTSD. Di era digital, batas antara fiksi dan kenyataan makin kabur. Gambar bencana di layar kaca bisa terasa nyata, meski kejadiannya jauh atau bahkan belum terjadi.
Berbagai media sosial memperkuat prediksi manga Tatsuki hingga jadi viral secara global. Tagar #July2025Prediction menjadi tren di berbagai negara, memicu diskusi masif dan menyulitkan informasi faktual menembus hiruk-pikuk.
Algoritma platform dirancang untuk memprioritaskan keterlibatan, bukan akurasi. Ini menciptakan ruang gema, tempat pengguna hanya melihat konten yang mendukung pandangan mereka. Saat itulah bias konfirmasi mengambil alih; orang makin mencari dan menyebarkan informasi yang menguatkan keyakinan awal.
Akibatnya, cerita fiksi terlihat lebih kredibel daripada sains. Narasi yang terus diulang dalam jejaring sosial menciptakan ilusi kebenaran sehingga pernyataan ilmiah yang kompleks makin sulit diakses dan dipercaya.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































