tirto.id - “Dalam kunjungannya ke sebuah sekolah menengah di New York di bulan Mei 1999, Senator Charles Schumer memperoleh pengalaman yang tak diduga dari sumber yang tak biasa,” tutur Paul A. Cantor dalam studinya berjudul “The Simpsons: Atomistic Politics and the Nuclear Family” (1999). Di hadapan para siswa, Schumer membanggakan dirinya telah sukses meloloskan RUU Brady menjadi undang-undang. UU Brady, yang diambil dari nama korban tewas penyalahgunaan senjata api, merupakan produk hukum yang mengamanatkan pemeriksaan latar belakang federal pada para calon pembeli senjata api di Amerika Serikat. Dengan UU ini, pikir Schumer, kekerasan yang bersumber dari senjata api akan menurun.
Sayangnya, seorang siswa bernama Kevin Davis tak sependapat dengan Schumer. Menurutnya, kemunculan UU Brady tak serta merta membuat kekerasan yang bersumber dari senjata api menurut. Uniknya, alih-alih bertumpu pada riset atau pendapat ahli, ketidaksetujuan Davis bersumber dari salah satu episode serial kartun The Simpsons. Pada salah satu episodenya, Homer, salah satu karakter utama The Simpsons, berusaha membeli senjata api. Sialnya, karena Homer pernah dua kali masuk penjara dan pernah pula menjalani perawatan di rumah sakit jiwa, pemerintah AS melabeli Homer “berpotensi membahayakan”. Pikir Homer, ia mungkin tidak akan pernah memiliki senjata api. Namun, ketika ia bertanya pada penjual senjata api, catatan buruk Homer berarti bahwa ia “harus menunggu tambahan beberapa minggu untuk memperoleh senjata api.” Homer, singkat cerita, akan memperoleh senjata api yang diinginkannya, tetapi dengan waktu yang lebih lama. Begitu pun dengan UU Brady. Klaim Davis, undang-undang ini sekadar menunda warga AS memiliki senjata api.
Kekhawatiran Kevin Davis terbukti jika merujuk data Statista. Pada 1990, 47 persen rumah tangga di AS memiliki senjata api. Pada 1996, alias dua tahun pasca-pengesahan UU Brady, kepemilikan senjata api di kalangan sipil di AS memang menurun, tetapi tidak signifikan. Kala itu, 44 persen rumah tangga di AS memiliki senjata api. Setiap tahunnya hingga 2020, kepemilikan senjata api di kalangan sipil AS naik-turun di sekitar 40 persen rumah tangga. Kematian akibat penyalahgunaan senjata api tak kunjung reda.
The Simpsons, sebagaimana Spongebob Squarepants atau Doraemon, adalah film kartun. Namun, jika Spongebob Squarepants bahkan Doraemon didefinisikan sebagai “hanya film kartun,” The Simpsons berbeda. The Simpsons, merujuk William Irwin dalam The Simpsons and Philosophy (2001), merupakan hiburan televisi yang dibuat oleh “sangat banyak pemikir hebat, bahkan melibatkan banyak lulusan Harvard University”.
Tatkala sebuah tayangan diproduksi oleh sangat banyak orang jenius, The Simpsons akhirnya bukan “hanya film kartun” yang menghibur, tapi juga mengkritik, menggoyahkan dogma, hingga memprediksi setiap aspek kehidupan masyarakat AS.
Termasuk meramalkan Donald Trump.
Tatkala Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat pada 2016 hingga terkena COVID-19 pada pekan pertama Oktober 2020, The Simpsons selalu ramai dibicarakan warga maya karena dianggap telah membuat prediksi jitu tentang Trump. The Simpsons, klaim netizen, pernah menampilkan sosok Trump sebagai presiden AS beserta kematiannya (yang dikait-kaitkan dengan kemungkinan meninggalnya sang presiden akibat Corona). Untuk kasus pertama, merujuk laporan Maya Salam untuk The New York Times(2/2/2018), The Simpsons memang pernah memuat episode yang menjadikan Trump Presiden AS, yakni dalam salah satu episode-nya di tahun 2000. Sayangnya, untuk kasus kedua, merujuk laporan Emma Nolan untuk Newsweek(2/10/2020), tak ada satu pun episode The Simpsons yang menampilkan kematian Trump, apalagi karena COVID-19.
Perlu dicatat, sosok Trump masuk sebagai presiden dalam salah satu episode The Simpsons karena sekitar akhir dekade 1990-an hingga awal dekade 2000-an, konglomerat properti dan hiburan di AS yang akhirnya menjadi presiden menggantikan Barack Obama itu sering sekali membahas kemungkinannya mencalonkan diri sebagai penguasa. Di sisi lain, kematian Trump, yang dimanipulasi salah seorang warga maya melalui Photoshop, membuktikan bahwa The Simpsons telah sangat mengakar dalam pribadi masyarakat AS. The Simpsons, kembali ke atas, bukan hanya film kartun!
The Simpsons: Mengkritik Kehidupan Orang Amerika Serikat
Dalam “The Triumph of Popular Culture: Situation Comedy, Postmodernism and ‘The Simpsons’” (1994), Matthew Henry menyebut The Simpsons sebagai serial yang lahir dari rahim genre di dunia pertelevisian bernama komedi situasi (sitkom), yang muncul pertama kali di AS sejak 1950-an dan kian populer sejak 1970-an. Sitkom, jelas Henry, populer karena jenis hiburan ini secara bersamaan menggabungkan kekonyolan dan kritik. Ini, tentu saja, tak asal terjadi.
Ketika sitkom lahir, industri manufaktur AS tengah berada di puncak. Jutaan pekerja makan darinya. Kaum pekerja, yang hidup dari gaji ke gaji, dari satu utang ke utang yang lain, ditertawakan dan menertawakan dirinya melalui tayangan televisi, lebih tepatnya lewat sitkom. Singkat kata, sitkom merupakan genre yang mengajak masyarakat AS menertawakan diri sendiri. Karena kisahnya berkutat pada kehidupan nyata, tak aneh bila sitkom terasa sangat riil meski kita tahu itu semua fiksi.
Perlahan, selepas serial The Honeymooners, All in the Family, Roseanne, Married with Children, The Flintstones, dan The Jetsons tayang di dunia pertelevisian AS, lahirlah The Simpsons. Menariknya, The Simpsons tak hanya menghibur masyarakat AS dan mengangkat kegelisahan kelas pekerja. The Simpsons adalah dokumentasi sosial bagi publik AS yang terlibat "culture wars" (perang budaya) di sekitar isu gender, seksualitas, dan obat rekreasional. Kembali merujuk Henry, kisah-kisah yang tertuang dalam The Simpsons menyajikan konflik nilai antara kaum konservatif dan progresif, antara umat beragama yang saleh dan yang tidak, Demokrat vs Republikan, dan seterusnya.
The Simpsons, tutur David Feltmate dalam “It’s Funny Because It’s True? The Simpsons, Satire, and the Significance of Religious Humor in Popular Culture” (2013) merupakan sitkom animasi yang menampilkan kisah-kisah kenaka dan satir yang terkait erat dengan kehidupan masyarakat AS. Serial ini berkutat pada kehidupan satu keluarga, The Simpsons, dengan Ned Flanders sebagai sosok kepala keluarga dan Maude sebagai ibu rumah tangga. Keluarga Simpsons menampilkan sosok Rod dan Todd sebagai anak-anak. Serial ini lahir dari pemikiran James L. Brooks, Matt Groening, dan Sam Simon. Sejak 14 Januari 1990, The Simpsons tayang di kanal televisi milik 20th Television--kini milik The Walt Disney Company.
Mula-mula, The Simpsons menayangkan “Bart the Genius”. Episode perdana ini memperoleh 24,5 juta penonton. Tak sampai setahun tayang, The Simpsons memperoleh predikat “Tayangan yang sangat sukses, pencipta tren industri, cetakan budaya, dan dianggap sebagai tayangan religius untuk pengikutnya yang paling fanatik.”
Kenapa The Simpsons sukses? Sederhana, meskipun para pencipta The Simpsons diduga merupakan orang-orang progresif, pendukung Partai Demokrat, dan lebih menjunjung tinggi sains daripada dogma agama, serial ini sukses menayangkan sketsa-sketsa yang tidak berat sebelah. Terlebih lagi, The Simpsons tidak bertujuan menjadi wasit perang budaya. The Simpsons, tutur Matt Groening, salah satu penciptanya, hanya dibuat untuk menonjolkan hiburan, bukan pernyataan sosial maupun politik. The Simpsons, tegas Groening, “adalah satir yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak. Kami akan mengolok-olok siapa pun yang kami anggap lucu”.
Karena pernah muncul dalam sketsa The Simpsons, Donald Trump memang lucu.
Editor: Windu Jusuf