tirto.id - Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani peraturan tentang “kedaulatan internet”, populer disebut Runet, pada awal Mei 2019. Pemerintah Rusia mesti menciptakan infrastruktur Domain Name System (DNS), sistem yang menyimpan informasi tentang nama host atau domain, sendiri. Secara sederhana, diwartakan CNN, Rusia hendak mencipta jaringan internet sendiri yang mampu bekerja tanpa bantuan negara lain.
Ars Technica melaporkan peresmian peraturan tersebut dilakukan sebagai bentuk keamanan nasional. Rusia khawatir, melalui internet, negerinya dapat diserang secara siber. Selain itu, penciptaan “kedaulatan internet” dilakukan agar mereka dapat lolos jika menghadapi situasi genting: dihadang atau diputus untuk mengakses internet dunia dengan alasan apa pun.
Hingga hari ini, menurut BBC, ada 12 organisasi yang mengatur DNS dunia. Namun, tidak ada satu pun berasal dari Rusia. Rencananya, peraturan Runet akan mulai berlaku November tahun ini. Namun, mengingat penciptaan infrastruktur untuk mendukung Runet tidak mudah, perusahaan penyedia jasa telekomunikasi baru akan memberlakukan sistem ini secara efektif pada 2021.
Runet diperkirakan menelan biaya 20,8 miliar rubel atau sekitar Rp4,5 triliun. Mayoritas warga Rusia sendiri, menurut jajak pendapat yang dilakukan, tidak setuju dengan Runet. Hanya 23 persen warga Rusia yang setuju atas Runet.
Meski terdengar beralasan, apa yang dilakukan Rusia atas internetnya diduga sebagai bentuk sensor ketat, mirip sistem penyensoran internet ala Cina yang disebut The Great Firewall of China.
Setelah masuknya internet ke Cina pada awal 1996, Cina kemudian mulai membangun "tembok" untuk melakukan sensor terhadap internet. Penyensoran yang dilakukan pemerintah Cina mencakup pada pembicaraan netizen, mengendalikan situsweb asing, filterisasi konten, serta menurunkan laju lalu lintas internet dari Cina menuju luar negeri.
Jika laju lalu lintas ke situsweb luar negeri terlalu banyak, biaya bandwidth internasional yang harus dibayar pun mahal mahal. Diberitakan Business Insider, pada 2010 terdapat 1,3 juta situsweb yang diblokir otoritas Cina.
Pemerintah Rusia sendiri memang sering melakukan tindakan yang cukup ketat atas masyarakatnya pada dunia maya. Pada Maret lalu, diwartakan CNN, parlemen Rusia mengesahkan aturan yang memungkinkan warganya dipenjara atas menyebarkan berita palsu alias hoaks, juga unggahan-unggahan yang menyerang pemerintah di internet.
Dengan aturan itu, siapa pun warga Rusia yang terbukti menyebarkan hoaks atau menyinggung pemerintah dapat diancam penjara selama 15 hari atau denda antara $45 hingga $75. Sementara itu, jika yang melakukan pelanggaran adalah grup atau entitas legal, denda yang dikenakan bisa mencapai $15 ribu.
Hampir setahun lalu, Rusia pun mengurangi ruang-gerak aktivitas maya warganya. Secara resmi, Rusia melarang penggunaan Virtual Private Network (VPN).
Bisakah Rusia Ciptakan Sistem Internet Sendiri?
DNS, yang hendak diciptakan sendiri oleh Rusia, merupakan buku kontak bagi internet. Komputer, dalam jaringan internet, memiliki alamat unik yang membedakan antara satu dengan lainnya. Alamat itu, bila menggunakan standar IPv4, memiliki rupa seperti 104.20.62.13. Pada standar IPv6, rupanya seperti 2400:cb00:2048:1::c629:d7a2.
Manusia pada umumnya sukar mengingat alamat itu. DNS kemudian memudahkannya. Ia menjadi jembatan antara bahasa manusia dengan bahasa komputer. Untuk mengunjungi komputer dengan alamat 104.20.62.13, yang merupakan alamat IP Tirto, manusia hanya perlu mengetikkan “tirto.id” di address bar perambah yang digunakan.
Pada kenyataannya, masing-masing komputer atau server hidup tak hanya mengandalkan dirinya sendiri. Semua saling terkait.
Andrew Blum, penulis buku Tubes: A Journey to the Center of the Internet, mengatakan kepada Wired bahwa setiap komputer atau server atau situsweb atau konten di internet saling terkait. Situs berita, misalnya, yang mengunggah segala kontennya di Amazon Web Service, lalu memanfaatkan alat pelacakan dari Google Analytics, kemudian menautkan dengan sistem Facebook.
Menjaga agar segala kerja internet hanya dilakukan secara lokal, dalam hal ini dalam satu negara, sukar dilakukan.
“Setiap laman web diciptakan dari 1.000 hal berbeda. Jika kamu menjalankan situsweb di Rusia, kamu harus memastikan bagaimana mengamankan segala hal itu berasa dari mana saja,” tegas Blum.
Kemungkinan, selain digunakan untuk “melindungi” pemerintah, Rusia ingin mengamankan konten-konten lokalnya tidak tergilas pemain asing. Intinya adalah proteksi yang, lagi-lagi, juga dilakukan Cina.
The Great Firewall of China sukses melambungkan pemain-pemain lokal. Di kategori mesin pencari, sebuah perusahaan bernama Baidu mencuat. Baidu terbilang sukses melayani pengguna internet Cina. Menurut data yang dipacak Statista, pada 2016, Baidu memperoleh pendapatan hingga $10,16 miliar. Namun, tentu Baidu berbeda dengan Google.
Sebagaimana diwartakan The Washington Post, kala seseorang melakukan pencarian di Baidu, ada sensor yang menghampirinya, terutama pada lema tertentu. Contohnya adalah “Tiananmen” dan “Tiananmen tank man”. Baidu akan secara otomatis menyeleksi kata-kata sensitif semacam itu.
Selain Baidu, ada pula perusahaan teknologi Cina lain yang ada akhirnya menjadi raksasa tatkala penduduk sana tak bisa menikmati layanan dari perusahaan teknologi dunia. Alibaba, e-commerce penantang Amazon, sukses mendulang pendapatan hingga $15,69 miliar pada 2016 kemarin.
Hal ini tentu bukan sesuatu yang cukup mengejutkan. Cina memang memiliki potensi belanja online yang sangat besar. Data Statista menyebutkan, pada 2016, pembeli online baru negeri tersebut menghabiskan uang $53,45 juta untuk memuaskan nafsu belanja mereka.
Editor: Maulida Sri Handayani