tirto.id - Di ranah akademis, Bill McBain—pelajar asal Duxburry, Massachusetts, Amerika Serikat—memang terlihat memiliki masa depan yang gemilang. Sejak belia, McBain amat menggemari matematika. Tak sekadar menyukai, dia pun amat cemerlang dalam ilmu yang kini mendikte dunia melalui bidang turunannya, komputer. Itu semua dilakoninya sembari menyelami hobi fotografi dan sastra pula.
Sayangnya, bak mengamini kepercayaan umum bahwa kegemilangan akademis tak berkorelasi dengan kehidupan, McBain memiliki kelemahan fundamental yang mengancam hidupnya. Sebagaimana dipaparkan Amy Webb dalam The Genesis Machine: Our Quest to Rewrite Life in the Age of Synthetic Biology (2022), McBain punya fisik yang lemah.
Meski memiliki tinggi badan seperti anak-anak seusianya, badan McBain kurus, sangat kurus. McBain bisa mengkonsumsi hingga 18 liter air setiap hari. Webb menyebut, laku hidup ekstrem itu dilakukan karena, "McBain selalu kehausan dan air yang dikonsumsinya tak pernah berhasil membuat tenggorokannya bahagia." Itu pun tak berhasil membuat tubuhnya terjaga dalam kondisi prima.
Kala berusia delapan tahun pada 1998 silam, laku ekstrem itu membuat McBain ambruk sehingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Saat dirawat itulah, sebab mengapa McBain mengonsumsi air berlebihan setiap harinya akhirnya diketahui. Usai diteliti, level gula darah bocah itu ternyata sangat tinggi, mencapai hingga 500 miligram per desiliter (mg/dL). Itu sangat jauh di atas rata-rata normal sebesar 70-99 mg/dL. McBain rupanya mengidap diabetes melitus tipe 1.
“Vonis” dokter itu membuat orang tua McBain sedih sekaligus bertanya-tanya. Selama ini, menurut mereka, “kebiasaan ganjil” anaknya hanyalah konsumsi air yang berlebihan. Dalam pengakuan mereka lagi, McBain tidak tidak mengkonsumsi minuman atau makanan manis berlebih sebagaimana anggapan umum soal penyebab diabetes.
Tak mau berdebat dengan orang tua pasien, dokter yang merawat McBain menimpali, "Pak, Bu, ini soal gen. Tidak ada yang bisa kami lakukan."
Riwayat Penemuan CRISPR
Tak lama usai James Watson dan Francis Crick mengurai Deoxyribonucleic acid atau DNA, ilmuwan dunia berusaha mencari tahu mengapa empat senyawa, yakni adenin, guanin, sitosin, dan timin, bisa menentukan hidup makhluk hidup—termasuk manusia. Guna menjawab pertanyaan ini, juga mencoba mencari cara “bermain-main mengubah takdir" makhluk hidup, serangkaian penelitian lebih dalam tentang genetika dilakukan.
Pada 1973, rekayasa genetika pertama dilakukan pada bakteri. Setahun kemudian, para ilmuwan mengotak-atik gen tikus. Dan, pada 1983, hasrat ilmuwan mengetahui misteri kehidupan coba dipraktekkan pada tembakau.
Serangkaian penelitian ini dapat menggali cukup banyak informasi tentang kehidupan. Namun, sebagaimana dipaparkan Walter Isaacson dalam The Code Breaker: Jennifer Doudna, Gene Editing, and the Future of the Human Race (2021), informasi yang diraih tetap belum cukup untuk menjawab misteri kehidupan.
Kemudian, empat tahun usai rekayasa terhadap tembakau dilakukan, tim peneliti dari Research Institute of Microbial Deseases Osaka, Jepang, berhasil membuat langkah awal di bidang rekayasa untuk mencapai “kehidupan sempurna”.
Kala itu, melalui penelitian mereka tentang E. coli, tim peneliti menemukan adanya struktur seluler yang belum pernah diketahui, tapi diduga sangat penting perannya. Namun, tim ilmuwan dari Osaka ini belum berhasil mengurai apa sesungguhnya struktur tersebut.
Misteri struktur seluler tak dikenal itu baru terpecahkan hampir dua dekade kemudian. Ahli mikrobiologi asal University of Alicante Francisco Mojica kemudian menyakini bahwa struktur misterius ini adalah "fragmen DNA/RNA dari virus yang menyerang."
Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan Rodolphe Barrangou dan Philippe Horvarth pada 2007, struktur ini diyakini tak berbahaya. Malahan, tatkala Barrangou dan Horvarth sengaja menginveksikan virus mematikan pada mikroba Streptococcus thermophilus (mikroba yang digunakan dalam pembuatan yogurt), sebagian besar mikroba tersebut mati, kecuali mikroba yang memiliki struktur misterius ini.
Struktur misterius yang kemudian diberi nama Clusters of Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats alias CRISPR. Setelah melalui beberapa penelitian lanjutan, CRISPR kemudian dikenal sebagai alat biologis untuk mengubah kode-kode genetik. CRISPR merupakan wilayah khusus dalam DNA yang mengandung nukleotida dan spacer (wilayah DNA yang tak terpetakan di dalam gen). CRISPR secara sederhana merupakan sistem pertahanan melawan virus.
Dalam studi berjudul “A Programmable Dual-RNA–Guided DNA Endonuclease in Adaptive Bacterial Immunity” (jurnal Science, Vol. 337, 2012), Jennifer Doudna—ilmuwan yang pertama kali mengungkap seluk-beluk CRISPR—menyebut bahwa CRISPR memiliki dua komponen utama. Komponen pertama dia sebut sebagai "pisau bedah selular" yang berguna untuk memotong DNA (dari virus yang menyerang). Lalu, komponen kedua adalah RNA atau molekul yang digunakan untuk mengirim informasi biologis ke seluruh genom.
Tatkala menyerang tubuh organisme, virus akan berupaya mengambil alih sel dan memperbanyak diri. Bakteri berevolusi melawan virus yang menyerangnya. Karena tahu bahwa virus bakal bersemayam di dalam sel, bakteri menyebarkan protein khusus yang mampu memotong DNA. Dalam hal ini, protein khusus itu akan memotong sel yang diambil alih virus.
Jika sukses menangkal serangan virus, bakteri akan menggabungkan lagi potongan-potongan DNA-nya. Uniknya, mekanisme itu turut mengubah strtuktur genetik bakteri itu sendiri. Karena mekanisme unik ini, ilmuwan meyakini CRISPR dapat digunakan untuk mengubah, menghapus, dan menggantikan gen pada organisme apa pun, termasuk manusia.
Tak lama usai studi Doudna dipublikasikan, hipotesis itu berhasil diimplementasikan pada gandum. Para ilmuwan menggunakan CRISPR untuk menghapus tiga salinan gen gandum. Keberhasilan itu lantas memercik kemungkinan untuk “memperbaiki” masalah gen yang dialami Bill McBain. Namun hingga kini, metode CRISPR untuk manusia sifatnya masih eksperimental. Pasalnya, ilmuwan belum sepenuhnya tahu dampak jangka panjang dari metode pengeditan DNA ini bagi manusia.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi