tirto.id - Meski tata-kotanya tak terkendali, seperti kota yang baru mekar dan berkembang, usia Bekasi sebagai kawasan cukup tua. Daerah penyangga ibukota ini berusia ribuan tahun. Berdasarkan penemuan situs Kampung Buni zaman batu muda (neolitikum) pada 1958, diperkirakan kampung tersebut sudah ada sejak 2000 SM. Di situs itu ditemukan kerangka manusia, beliung persegi, gerabah berbentuk periuk, manik-manik, perhiasan emas, dan kendi.
Jauh setelahnya, berdasar Prasasti Kampung Tugu, Cilincing. Bekasi rupanya terkait dengan Raja Purnawarman yang berkuasa di di Tarumanagara sekitar tahun 400an Masehi. Di situ diceritakan tentang pembuatan saluran air yang disebut Gomati di sekitar Sungai Chandrabaga. Sungai Chandrabaga diartikan sebagai Kali Bekasi oleh beberapa ahli. Di masa-masa itu, Bekasi disebut sebagai Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri, yang merupakan pusat dari kerajaan Tarumanegara selama beberapa abad.
“Bekasi [adalah] distrik dari afdeling Meester Cornelis (Jatinegara) dari Keresidenan Batavia, yang terletak di sebelah timur Betawi. Dialiri Sungai Cileungsi dan Sungai Bekasi. Salah satu daerah yang terkenal ramai oleh pedagang dari hilir hingga ke pedalaman. Di sana juga berdiri pasar dan perkampungan Tionghoa yang terbentuk sejak 1752," demikian yang tercatat dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (1896) terbitan Martinus Nijhoff-EJ Brill di Gravenhage.
Ensiklopedia itu mencatat pada 1869 terjadi pemberontakan rakyat Bekasi di Tambun. Insiden itu menewaskan Asisten Residen Meester Cornelis, CE Kuyper. Meski daerah Bekasi kecil, ia punya pengadilan negeri pada 1890. "Bekasi merupakan titik-titik penggunaan Bataviaschen Oosterfoorweg atau jalan kereta api sebelah timur Betawi yang dibuka secara resmi sebagai lalu-lintas umum sejak 1887."
Citra Daerah Kabupaten Bekasi dalam Arsip 1900-1945 (2014) mencatat setidaknya sejak 1883, terdapat empat distrik yang dipimpin seorang demang, yakni Kebayoran (Jakarta Selatan), Meester Cornelis (Jatinegara sekarang), Cabangboengin, dan Bekasi. Distrik Cabangboengin sekarang adalah Cikarang. Nama itu berganti pada 1911. Di tahun yang sama pula istilah pemimpin distrik berubah, dari Demang menjadi Wedana.
Orang-orang yang pernah menjadi Wedana atau Demang di Bekasi antara lain: Achmat Mantor Abdoel Rachiem (1881-1885), Mochamad Ali (1885-1894), Moedjimi (1894-1903), Achmad Solihoen (1903-1908), Raden Bachram (1908-1917), Mohamad Samik (1917-1919), Moedjitaba (1919-1924), Rade Kartasoemitra (1924-1927), Raden Achamad Djajadiningrat (1927-1931), Raden Hasan Madiadipoera (1931-1937), Raden Hardjadiparta (1937-1940). Wedana di zaman Jepang pun ada Soehardjo Soeriasapoetra.
Berdasarkan arsip-arsip yang terkumpul dalam buku Citra Daerah Kabupaten Bekasi Dalam Arsip 1800-1900, Bekasi di akhir abad ke-19 dipenuhi tanah-tanah partikelir. Misalnya di Cikarang, Ujung Menteng, atau Tambun. Artinya ada tuan tanah dengan tanah luas di sana.
Staatdblad van Nederlandsch-Indie 1836 nomor 19 soal Reglement Omtrent de Particuliere Landerijen, Gelegen ten Westen der Rivier Tjimanoek alias peraturan tentang tanah partikelir di sebelah barat Sungai Cimanuk, mengatur bagaimana soal sewa, jual-beli, dan pengelolaan tanah. Termasuk di Bekasi. Dalam aturan itu, tuan tanah diberi keistimewaan mengatur para tenaga kerjanya.
Di era merajalelanya kuasa tuan tanah ini, lahir pula garong dan pencuri dadakan karena kemiskinan. Pasukan Marsose pun dikerahkan. Salah satu prajurit Marsose yang dikirim sekitar 1937 ke sekitar Bekasi adalah Gatot Subroto, yang belakangan jadi pejabat tinggi TNI dan Pahlawan Nasional.
Gatot begitu iba pada keluarga miskin yang anak atau ayahnya harus dipenjara karena menggarong atau mencuri karena dimiskinkan para tuan tanah yang disayang priyayi lokal. “Sebagian gajinya diberikan kepada beberapa keluarga yang sangat menderita itu,” tulis Moh Oemar dalam biografi Jenderal Gatot Subroto (1976).
Setelah masuknya Jepang, afdeling atau kabupaten Meester Cornelis berubah menjadi Jatinegara Ken. Wilayah yang meliputi kecamatan atau kewedanaan kemudian memakai istilah "Gun": Cikarang Gun, Cawang-Jatinegara Gun, dan Bekasi Gun. Di bawah Bekasi Gun ada desa-desa yang disebut Son seperti Cilincing Son, Cibitung Son, dan Bekasi Son.
Sejak awal revolusi kemerdekaaan, Bekasi sudah panas. Buku Citra Daerah Kabupaten Bekasi Dalam Arsip 1900-1945 (2014) mencatat, ”ketika pesawat Dakota Sekutu Inggris melakukan pendaratan darurat akibat kerusakan mesin di Rawa Gatel, Cakung, Kewedanaan Bekasi, pada 23 November 1945, seluruh tentara Inggris yang berjumlah 26 orang ditawan di tangsi Polisi Bekasi.”
Para pejuang itu terbakar semangat revolusi hingga segala hal yang menghalangi eksistensi Republik akan mereka habisi. Tuntutan Komandan Tentara Sekutu di Jakarta, agar para tawanan itu dibebaskan, tak diindahkan. Bahkan semua disembelih dan dikubur di belakang tangsi polisi.
Tentu saja pihak Inggris marah. Dengan kekuatan satu batalyon infanteri bersenjata lengkap dengan kawalan baterai Artileri dan puluhan panser, pada 24 November 1945 esoknya, Bekasi disatroni Tentara Sekutu. Pembakaran pemukiman penduduk sekitar Tambun, Cikarang, Lemah Abang, hingga Karawang pun terjadi.
Nama Bekasi tercatat heroik dalam sejarah perjuangan (revolusi) Indonesia. Bahkan Bekasi dijuluki Kota Patriot. Chairil Anwar, seperti diajarkan lewat pelajaran Bahasa Indonesia, menulis salah satu puisi legendarisnya yang bernapas revolusi: Karawang-Bekasi.
Bekasi tak kalah revolusioner dibanding Jakarta. Bekasi memang sempat menjadi pengunduran milisi pro-Republik yang terdesak dari Jakarta akibat makin kuatnya tentara Belanda di Jakarta.
Setelahnya, Bekasi pun akhirnya menjadi daerah pendudukan Tentara Belanda juga. Sebelum pendudukan, Republik Indonesia mengangkat Bapak Rubaya Suryanaatamirharja sebagai Bupati Jatinegara. Status Bekasi adalah Kewedanaan, yang masuk dalam wilayah Batavia En Omelanden. Berdasar Staatsblad Van Nederlandsch Indie 1948 No. 178, sebagian Bekasi pernah menjadi daerah Negara Pasundan.
Meski telah menjadi daerah pendudukan Belanda, banyak rakyat Bekasi maupun rakyat daerah pendudukan lain yang setia pada Republik. Di tahun 1950, Hatta setuju menjadi Bekasi sebagai Kabupaten. Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1950, Kabupaten Bekasi terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan (termasuk Cibarusah) dan 95 desa. Hingga 1960, kantor Kabupaten Bekasi masih di Jatinegara.
Belakangan, Bekasi pun menjadi kawasan pemukiman penting bagi perkembangan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Banyak pekerja Jakarta yang berumah di Bekasi, karena makin sempit dan mahalnya hunian di Jakarta.
Bekasi juga berkembang menjadi kawasan industri. Kecamatan Bekasi dinaikkan statusnya menjadi kota administratif (Kotif) pada 1981. Sisanya menjadi wilayah Kabupaten Bekasi. Sejak 10 Maret 1997, status kota administratif naik lagi menjadi kotamadya.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani