Menuju konten utama

Ribuan Tahun Tradisi Merawat Kuku

Mewarnai kuku di era Mesir Kuno menjadi penanda status sosial.

Ribuan Tahun Tradisi Merawat Kuku
Ilustrasi gunting kuku. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Menjejaki usia senja membuat banyak orang kesulitan melakukan gerakan-gerakan tubuh sederhana seperti membungkuk. Akibat artritis yang dideritanya, Roy Martin, kakek 74 tahun asal Maine dan pensiunan Air Force and National Guard, tidak dapat memotong kuku kakinya dengan mudah.

Untuk melakukan perawatan rutin simpel macam ini, ia mesti menaruh penopang kaki supaya tangannya bisa menjangkau jari-jari kakinya. Itu pun masih menimbulkan nyeri bagi Martin.

Kakek ini memutar otak. Dikumpulkannya sejumlah perkakas, mata pisau, dan tongkat, lantas ia melakukan beberapa kali eksperimen untuk menciptakan pemotong kuku kaki dengan pegangan panjang. Usahanya membuahkan hasil. Ia sukses membuat pemotong kuku kaki yang dapat digunakannya dalam posisi duduk.

Dilihatnya lagi benda kreasinya. Kemudian, ia berpikir, “Benda ini sederhana, sih. Tidak terlalu rumit atau imajinatif. Tapi desainnya lumayan unik untuk dipatenkan.” Menurutnya, pemotong kuku kaki tersebut cukup berguna dan nyaman dipakai bagi orang-orang seperti dirinya. Maret 2004, Martin mengajukan paten untuk pemotong kuku kakinya dan setahun kemudian, ia mengantongi tanda hak cipta dari USPTO, kantor paten dan merek dagang Amerika Serikat.

Setelah itu, Martin mulai menjajal mengontak beberapa perusahaan besar untuk menawarkan penemuannya. Namun malang, tawarannya hanya dipandang sebelah mata. Perusahaan-perusahaan yang dia sambangi lebih senang memperkenalkan benda yang diproduksi dari laboratorium mereka sendiri.

Kendati tidak ada perusahan yang berminat terhadap pemotong kuku kaki Martin, bukan berarti benda ini berakhir di rumahnya saja. Perwakilan dari Advance Manufacturing Center—yang kerap mendukung produk-produk buatan warga lokal Maine—tertarik pada pemotong kuku Martin. Mereka kemudian bekerja sama dengan mahasiswa-mahasiswa University of Maine untuk mengembangkan dan menawarkan penemuan Martin kepada manufaktur-manufaktur rekanan mereka.

Kisah Martin ini dituangkan Steve Greenberg dalam buku Gadget Nation: A Journey Through the Eccentric World of Invention (2008). Bukan hanya Martin saja yang pernah tercatat mematenkan produk pemotong kuku. Tahun 1875, Valentine Fogerty dari Massachusetts mematenkan pemotong kuku temuannya ke lembaga yang sama dengan yang dituju Martin. Enam tahun berselang, giliran Eugene Heim dan Oelestin Matz yang mendaftarkan pemotong kuku mereka ke USPTO. Yang membedakan temuan-temuan orang-orang ini tentu saja desain dan cara kerja masing-masing.

Jauh sebelum pemotong kuku modern ditemukan dan paten-paten atasnya diterbitkan, praktik merawat kuku sudah lebih dulu dilakukan. Pada era Romawi kuno, misalnya, terdapat perempuan-perempuan yang disebut circitores yang menyediakan jasa pangkas rambut dan perawatan kuku dengan cara berkeliling kampung. Mereka memakai pencedok untuk membersihkan kotoran kuku dan pisau kecil untuk merapikan kuku.

Selain alat yang dipakai untuk memangkas kuku, ada sederet cerita menarik lain terkait rekam jejak perawatan kuku. Dilansir Atlas Obscura, ada kepercayaan bahwa memotong kuku pada hari Jumat, Sabtu, atau Minggu akan membawa sial. Mitos ini dirilis dalam surat kabar The Boston Weekly Globe pada 26 Juni 1889. Lebih lawas lagi, dalam buku Epistle I (20 SM), Horace sempat menyebutkan soal seorang laki-laki yang berada di tempat pangkas rambut tengah membersihkan kukunya dengan sejenis pisau kecil.

Ada dua tujuan mengapa sejak dulu orang memangkas kuku secara rutin. Pertama, untuk alasan kesehatan atau kebersihan. Kedua, masalah status sosial. Dulu, mereka yang membiarkan kuku panjang dan kotor dianggap barbar atau berstatus sosial rendah, berkebalikan dengan orang-orang yang memiliki kuku pendek atau bercat tertentu.

Dari era Mesir Kuno, Cleopatra dan Ratu Nefertiti dikabarkan memulas kukunya dengan warna merah dari sari tumbuhan henna. Tidak sembarang orang bisa memakai pemulas kuku merah, hanya mereka yang berkuasa atau kaya yang boleh melakukannya. Sedangkan rakyat jelata hanya boleh mewarnai kukunya dengan rona-rona pucat.

Baca juga: Petunjuk Baru Makam Rahasia Ratu Nefertiti Ditemukan

infografik ribuan tahun tradisi merawat kuku

Tidak cuma di Mesir Kuno saja cat kuku menjadi penanda status sosial. Di Cina, hal serupa pun dilakukan sejak sekitar 3000 SM. Orang-orang di sana mengenakan cat kuku yang dibuat dari lilin tawon lebah, gelatin, putih telur, gum arabic, dan kelopak bunga. Kebanyakan, warna yang dipilih adalah hitam dan merah.

Jika di tempat-tempat lain membiarkan kuku panjang dianggap sebagai kebiasaan buruk bahkan merujuk pada status sosial rendah, lain cerita dengan di Negeri Panda ini. Konon dulu, memotong kuku justru dihindari. Ada yang menganggap, semakin panjang kuku, semakin bijak seseorang.

Di Babilonia kuno juga terdapat tradisi seperti di Cina dan Mesir—cat kuku sebagai simbol status—, hanya saja bahan yang digunakan adalah kohl dengan bermacam-macam warna. Mereka yang berasal dari kelas atas memakai warna hitam, sementara warga kelas bawah menggunakan warna hijau. Alat manicure yang diciptakan saat itu pun tak tanggung-tanggung: bermaterial emas.

Baca juga:Biar Krisis, yang Penting Tetap Cantik

Perawatan kuku bukan hanya menjadi rutinitas biasa atau bagian keseharian yang dilakukan kalangan mana pun beberapa abad lalu. Dalam buku Milady’s Standard Cosmetology (2002), Alpert et. al. mencatat, para komandan militer di Mesir, Babilonia, dan Romawi kuno akan menghabiskan waktu lama untuk menata rambut dan mengecat kuku senada dengan warna bibir mereka sesaat sebelum maju ke medan perang.

Baca juga artikel terkait KECANTIKAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani