Menuju konten utama

Biar Krisis, yang Penting Tetap Cantik

Obsesi perempuan Venezuela atas kecantikan fisik setara dengan antusiasme rakyat Brazil dengan sepakbola. Sebanyak 65 persen perempuan Venezuela memikirkan penampilannya sepanjang waktu. Anggaran bersolek mencapai 13-22 persen upah minimum, dan gaya hidup ini tetap bertahan meski negara sedang dirundung krisis ekonomi. Hasilnya, wakil Venezuela selalu berjaya baik di ajang Miss World maupun Miss Universe.

Biar Krisis, yang Penting Tetap Cantik
Peserta kontes kecantikan Miss Venezuela 2016 beraksi dalam sesi latihan dan presentasi media di Karakas, Venezuela, Senin (3/10). ANTARA FOTO/REUTERS.

tirto.id - Ekonomi Venezuela jelas sedang tidak baik-baik saja. Dampak jatuhnya harga minyak sejak dua tahun lalu dan gempuran dahsyat El Nino mengakibatkan negara itu jatuh ke lubang krisis yang begitu dalam. Nilai mata uangnya terjun bebas tak terkendali. Sejak 2013 hingga saat ini, nilai bolivar turun 98 persen. Inflasi pada 2016 tercatat menyentuh angka 400 persen dibandingkan tahun lalu. Venezuela kini didaulat sebagai negara dengan inflasi tertinggi di dunia.

Akan tetapi, ada satu hal yang tak bisa diganggu gugat meski negara itu makin dekat kepada ambang kejatuhan sekalipun: obsesi perempuan Venezuela atas kecantikan dan kesempurnaan fisik.

Status ekonomi Venezuela dalam satu dekade belakangan sesungguhnya telah menampakkan ciri-ciri menuju krisis. Di awal tahun 2000-an, kurang lebih 80 persen penduduk di negara kaya minyak ini berada di bawah garis kemiskinan. Namun, tradisi memperhatikan penampilan telah jauh mengakar. Riset Roper Starch Worldwide menunjukkan bahwa 65 persen perempuan Venezuela memikirkan penampilan fisik mereka sepanjang waktu. Bandingkan dengan perempuan Amerika Serikat yang hanya 27 persen.

Pada masa jayanya, pusat-pusat kecantikan dan kebugaran tak pernah sepi dari pengunjung. Hampir di setiap sudut jalanan kota Venezuela berdiri salon yang siap melayani permintaan para pengunjung. Industri kecantikan berusaha keras mengimbangi kedigdayaan minyak yang dikontrol oleh negara dan menyumbang 80 persen ekspor ke seluruh dunia. Saat minyak terpuruk, industri kecantikan segera mengisi ceruk alternatif itu.

Di tengah langkanya kebutuhan pokok seperti roti hingga popok—ditambah harganya yang melonjak sangat tajam—kebutuhan rakyat Venezuela untuk bersolek tetap harus dipenuhi. Krisis ekonomi tak serta-merta menghentikan gaya hidup itu, melainkan hanya mengubahnya. Bagaimana kompromi tersebut berjalan?

Pertanyaan ini pernah diajukan oleh ekonom Venezuela, Annabella Abadi, kepada sejumlah rekan perempuannya. Di laman Caracas Chronicles, Annabella bercerita bahwa kini salon-salon kecantikan tak seperti dulu. Jika dulu bau pewarna kuku atau rambut yang sedang diluruskan lazim merebak di depan salon, kini salon-salon itu sudah sangat beruntung jika bisa mengisi penuh kursi para pelanggan setianya.

Teman Annabella yang biasa pergi ke salon seminggu sekali sekarang mengurangi jadwalnya menjadi hanya beberapa minggu sekali. Teman lainnya memilih manikur dan pedikur sebulan sekali, meski dulunya bisa seminggu sekali.

Para perempuan Venezuela juga “berdamai” dengan tidak sering-sering melakukan perawatan rambut. Menurut El Nacional, perempuan Venezuela sebelumnya menghabiskan dana antara BsF 910 hingga Bsf 1.500 ($91,45-$150,75) untuk cuci, potong, dan perawatan rambut. Anggaran sebesar itu setara dengan 13-22 persen upah minimum mereka. Tak mengherankan jika rata-rata teman Annabella memotong jadwal ke salon hingga setengahnya.

Krisis membuat perempuan Venezuela tidak lagi rutin mewarnai rambut di salon. Anggaran jelas menipis dan persediaan bahan pewarna rambut juga sangat terbatas di pasaran. Jika ingin melakukannya sendiri di rumah, mereka akan menghadapi kelangkaan pilihan warna. Di apotek-apotek di Caracas, produk warna rambut pilihannya hanya pirang atau ungu.

Annabella pernah merenung, apakah obsesi perempuan Venezuela dengan penampilan fisik memang sudah ke taraf kebutuhan (pokok)? Temannya, sebut saja Gabriella, kemudian berbagi cerita yang menarik.

Suatu hari, di pertengahan tahun 2015, Gabriella pergi ke sebuah salon untuk potong rambut. Usai rambut sudah dirapikan dan dicuci bersih, seseorang tiba-tiba masuk ke salon dan memberi informasi jika sebuah produk kecantikan langka telah tersedia kembali di sebuah toko dekat salon. Semua orang—baik pelanggan maupun pekerja—tiba-tiba bangkit dari posisinya masing-masing, terburu-buru keluar salon, lalu ikut mengantre di depan toko hanya demi mendapatkan produk langka itu. Semua orang, kecuali penjaga kasir.

Gara-gara Miss Venezuela

Kecantikan, di negara manapun, perlu figur panutan sebagai standar. Standar ini yang oleh masyarakat awam dijadikan sebagai referensi dalam bersolek, bergaya, berbusana, hingga gestur dan gaya bicara. Di Venezuela, figur itu adalah Miss Venezuela. Industri kecantikan di Venezuela bisa tumbuh sedemikian besar karena ditopang gengsi yang melekat pada Miss Venezuela, apalagi jika ia bisa menjadi wakil ke ajang Miss Universe atau bahkan menjadi juara.

Popularitas Miss Venezuela begitu tinggi di negara sosialis itu, sampai-sampai di malam penganugerahan Miss Venezuela, bisa dipastikan 80 persen warganya sedang berada di depan televisi. Jumlah penonton akan melonjak jauh lebih tinggi saat Miss Venezuela sedang berjuang di ajang Miss Universe atau Miss World.

Bagi rakyat Venezuela, antusiasme atas ajang kecantikan setara dengan antusiasme rakyat Brazil dengan sepak bola. Tak ada yang meragukan betapa profesional dan seriusnya negara itu dalam mempersiapkan diri untuk bertarung di tingkat internasional. Jika Brazil mengemas titel juara Piala Dunia terbanyak, Venezuela mengantongi gelar Miss World terbanyak yakni sebanyak 6 kali.

Titel Miss World diraih Venezuela di tahun 1955, 1981, 1984, 1991, 1995, dan 2011. Tak tanggung-tanggung, Venezuela juga menjadi langganan mahkota juara Miss Universe. Titel prestisius itu diraih di tahun 1979, 1986, 1996, 2008, 2009, dan 2013. Wakil dari Venezuela juga berjaya di ajang Miss Earth dan Miss International.

Orang di balik prestasi itu adalah Osmel Sousa. Ia telah menjalankan Miss Venezuela Academy sejak tahun 1950-an. Sekolah yang dibangun di area pegunungan itu dipenuhi barang serta desain yang modern dan glamour. Di sana Sousa mampu mengubah gadis cantik yang masih polos menajdi perempuan elite kelas dunia baik dari segi penampilan fisik, gaya berkomunikasi, gestur, cara jalan, cara makan, hingga cara senyum.

Seleksinya ketat, dari sekitar dua ribu pelamar, Sousa hanya memilih 20. Saking ahlinya, pemilihan itu bisa dilakukan Sousa dalam sekali pandang. Dalam sekelebatan saja, Sousa diklaim bisa menentukan masa depan si gadis saat berlenggak-lenggok di panggung kecantikan nasional atau internasional. Dan setelah semua terpilih, gadis-gadis itu akan menjalani program pendidikan intensif selama enam bulan ke depan. Kebanyakan program yang menyiksa, namun kata Sousa kepada The Telegraph, semua akan indah pada waktunya.

Sousa tak membual. Demi mencapai target, Sousa dan timnya menyediakan semua yang dibutuhkan. Mulai dari akomodasi mendasar hingga yang susah dijangkau orang awam. Sousa menghalalkan segala cara untuk mencapai kecantikan sejati, untuk itu ia memiliki tim khusus untuk menangani operasi plastik, sedot lemak, hingga suntik botox. Mulai dari membuat bibir lebih seksi, mengencangkan bokong, membentuk alis, memuluskan kulit, hingga (tentu saja) membesarkan payudara.

Atas keberhasilannya dalam mengangkat dan mengharumkan nama negara, Sousa menjadi salah satu orang terpenting di Venezuela sejak 5 dekade terakhir. Namun ia juga tak lepas dari kritik sejumlah kalangan (terutama kaum feminis) yang mengecam industri kecantikannya itu sebagai dunia yang penuh dengan kepalsuan.

Ia dianggap hanya menciptakan “fashion mannequins” dan menyebarkan virus tak sehat bagi perempuan-perempuan muda di seantero Venezuela. Banyak anak-anak perempuan usia 5 tahun di negara itu yang dengan mantap bercita-cita menjadi Miss Venezuela saat dewasa nanti. Orang tua mereka juga mendukung yakni dengan cara menyekolahkan si kecil ke akademi kecantikan khusus.

Sousa tak bergeming. Ia cuek. Dalam keyakinannya, yang juga menjadi rumus dasar selama menjalankan Miss Venezuela Academy, murid-muridnya tentu hanya akan kelaparan di jalanan jika selama mengikuti pendidikan hanya berfokus pada kesempurnaan fisik. Dengan kata lain, anggapan orang bahwa sekolahnya hanya memproduksi patung cantik itu keliru. Rata-rata alumni sekolah Sousa sukses menjadi aktris sinetron, model, pembawa acara, reporter televisi, bahkan politisi.

Bagaimana dengan anggapan bahwa yang terpenting bagi perempuan adalah inner beauty? Dengan santai ia berkata:

“Ah, itu hanya kata-kata manis yang diciptakan oleh perempuan jelek untuk menjustifikasi dirinya sendiri.”

Baca juga artikel terkait KECANTIKAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti