Menuju konten utama

Revisi UU Penyiaran Rawan Mengancam Kreativitas Kreator Konten

Draf Revisi UU Penyiaran memuat pasal yang rawan mengekang kebebasan dan kreativitas kreator konten.

Revisi UU Penyiaran Rawan Mengancam Kreativitas Kreator Konten
Founder Kumpulan Emak Blogger (KEB) Mira Sahid (kiri), Sisternet XL Axiata Adelia Panjaitan (tengah), dan Content Creator Yasinta Astuti (kedua kanan) memberikan pemahaman tentang vlog pada Arisan Ilmu Sisternet, Bandung, Minggu (18/8/2019). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/hp.

tirto.id - Draf Revisi UU Penyiaran yang sedang digodok DPR RI rawan mengekang kebebasan dan kreativitas kreator konten. Pasalnya, ia turut memuat beberapa aturan baru terkait penyelenggaraan platform digital penyiaran.

Misalnya, Pasal 34F Ayat 2 yang mengatur bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke KPI sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS).

Artinya, kreator konten yang memiliki dan menjalankan akun media sosial, seperti Youtube atau TikTok, juga masuk dalam ranah Revisi UU Penyiaran ini. Tak mengherankan jika draf Revisi UU Penyiaran ini membuat geram dan resah sejumlah pihak.

Peneliti Remotivi, Muhamad Hechael, mengatakan bahwa dalam UU Penyiaran yang lama, KPI tak berwenang sampai verifikasi. KPI hanya berwenang memberi sanksi ketika sebuah tayangan yang disiarkan melanggar aturan.

Oleh karena itu, menurut Hechael, Revisi UU Penyiaran juga terkesan memberikan karpet merah kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

"Kalau ini terjadi, ini jadi kayak super body. Dewan Pers, LSM, KPI disatuin. KPI yang baru dalam RUU Penyiaran ini kayak gabungan regulator itu. Kita melihat ini power-nya absolut banget. Ini bahaya banget," kata Hechael saat dihubungi Tirto, Jumat (17/5/2024).

Kewenangan besar KPI itu akan berdampak pada kreativitas para kreator konten. Sebab, Revisi UU Penyiaran ini memberlakukan sistem sensor. DPR dan pemerintah dianggap terlalu fokus pada aspek moralitas dan keamanan, tapi mengabaikan ekonomi kreatif.

"Ancamannya pada ekspresi," tutur Hechael.

Menurut Hechael, negara terlalu obsesif terhadap konten. Padahal, ia seharusnya fokus pada infrastruktur yang hampir tak pernah disentuh. Negara pun harusnya hanya mengawasi konten yang berbahaya, seperti hoaks dan ujaran kebencian.

"Ngeri ini, mau jadi apa ini KPI. Mau jadi super body?” tutup Hechael terheran-heran.

Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), Nenden Sekar Arum, mengatakan bahwa Pasal 34F itu membuat kewenangan KPI makin luas. Hal itu berpotensi melahirkan pembatasan dan penyensoran.

Pasalnya, KPI saat ini telah memiliki P3 dan Standar Program Siaran (SPS) untuk melakukan pengawasan. Jika kewenangan KPI semakin diperbesar, Nenden khawatir perkembangan ruang digital sebagai wadah ekspresi masyarakat sekaligus sumber ekonomi dan jejering akan terhambat.

"(Akan) makin lengkap pengawasan ditambah dengan aturan P3-SPS bisa dibilang rancu. Kewenangan KPI dengan RUU Penyiaran sangat mungkin digunakan sebagai alat justifikasi untuk melakukan sensor terhadap konten dunia digital," tutur Nenden.

KPI Akan Masuk Ruang Digital?

Revisi UU Penyiaran juga dinilai memungkinkan KPI cawe-cawe lebih jauh dari wewenangnya selama ini, terutama ke ranah digital.

"Cawe-cawe mau diurusin. Makin banyak orang yang mengawasi dan mengatur dan melimitasi aktivitas pengguna di media sosial. Makin lama, makin sempit masyarakat ruang untuk berekspresi," kata Nenden.

Oleh karena itu, Nenden meminta DPR meninjau kembali secara keseluruhan isi Revisi UU Penyiaran itu. DPR perlu mempertimbangkan ulang tepat atau tidak KPI diberi wewenang lebih besar mengurusi ruang digital. Selain itu, KPI juga perlu dievaluasi terkait fungsi pengawasannya selama ini.

"Kan, Kominfo juga ngurusin pengawasan konten. Perlu dipertimbangkan dengan melihat dari regulasi yang sudah ada supaya enggak tumpang tindih. Bukan malah menumpuk dan malah bingung sendiri," tutur Nenden.

Perlu Ada Batasan

Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI, T.B. Hasanuddin, mengatakan bahwa Revisi UU Penyiaran itu untuk mencegah konten yang memecah belah bangsa dan negara. Menurutnya, demokrasi wajib menjaga persatuan dan kesatuan.

"Itu ada batasannya. Kita berdemokrasi, tapi juga wajib menjaga persatuan dan kesatuan," kata Hasanuddin kepada Tirto, Jumat.

Dia mengatakan bahwa semua pegiat digital bebas membuat konten. Namun, konten yang berbau pornografi, menghina agama, dan terorisme harus dilarang. Menurutnya, konten-konten semacam itu tidak boleh berlindung atas nama kebebasan.

"Kebebasan itu ada batasnya, demi kepentingan umum," tutur Hasanuddin.

Sementara itu, Tirto sudah berusaha menghubungi Ketua KPI sudah berusaha menghubungi Ketua KPI, Ubaidillah. Namun, hingga berita ini diturunkan belum mendapatkan respons.

Baca juga artikel terkait RUU PENYIARAN atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Fadrik Aziz Firdausi