tirto.id - Pihak Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menjawab soal kritik pemberian gelar doktor kehormatan (honoris causa) yang akan dilakukan UNJ. Pihak UNJ mengatakan bahwa mereka akan mengajukan perbaikan antara regulasi UNJ dengan syarat pemberian gelar honoris causa dengan ketentuan yang berlaku dan tanpa kepentingan.
Hal tersebut dilakukan sebagai upaya memperbaiki tata kelola kampus agar menjadi universitas yang kuat dan unggul.
Pihak UNJ beralasan, mereka menemukan ketidaksesuaian antara pedoman pengajuan honoris causa di UNJ saat ini dengan pasal 27 UU RI Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Permenristek Nomor 65 tahun 2016, Statuta UNJ dan Peraturan Rektor tentang Pemberian Gelar Doktor Kehormatan sehingga perlu mengajukan draf pedoman pengusulan penganugerahan doktor kehormatan.
"Rapat senat UNJ pada 14 Oktober 2021 memutuskan perlunya harmonisasi regulasi mengenai ketentuan dalam draf pedoman yang tidak berkesesuaian dengan ketentuan yang diaebutkan pada butir ketiga. Harmonisasi ini dilakukan bukan untuk memaksakan pemberian gelar doktor kehormatan kepada seseorang," kutip Tirto dari laman instagram UNJ @unj_official, Selasa (19/10/2021).
Menanggapi hal tersebut, Presidium Aliansi Dosen UNJ Ubedilah Badrun tetap menolak rencana UNJ untuk mengubah regulasi tentang pemberian gelar doktor kehormatan.
"Tetap menolak mengubah aturan pemberian gelar doktor kehormatan yang telah disepakati pada rapat pleno Senat UNJ pada 10 Maret 2021," tegas Ubedilah dalam keterangan, Selasa (19/10/2021).
Ubedilah beralasan, argumen ketidaksesuaian antara pasal 27 UU 12 tahun 2012, dan Permenristekdikti Nomor 65 tahun 2016 salah. Ia beralasan, pasal 27 UU 12 tahun 2012 harus dilihat sebagai satu kesatuan pasal sementara pihak rektorat hanya melihat pada pasal 27 ayat 1. Pada ayat 2 menyatakan bahwa ketentuan doktor kehormatan diatur dalam Permenristekdikti. Di sisi lain, Permenristekdikti 65 tahun 2016 pasal 2 dan 3 menyatakan tata cara pemberian gelar doktor kehormatan diserahkan ke masing-masing perguruan tinggi.
"Jadi gelar penganugerahan gelar doktor kehormatan itu adalah aturan yang sah, yang berlaku di UNJ yang sudah diputuskan dalam rapat pleno senat Universitas sebagai majelis keputusan tertinggi Universitas pada 10 Maret 2021," tegas Ubedilah.
Ia menerangkan, rapat pleno 10 Maret 2021 menghasilkan keputusan bahwa UNJ tidak memberikan gelar honoris causa kepada pejabat. Aturan tersebut dinilai progresif karena banyak kampus memberikan gelar honoris causa karena ada kepentingan pragmatis dan dijadikan alat transaksional antara kampus dengan penguasa.
Di sisi lain, pemberian gelar untuk pejabat dianggap merusak otonomi dan marwah universitas. Oleh karena itu, Ubedilah menduga ada kepentingan di balik upaya pemaksaan pemberian gelar honoris causa kepada Menteri BUMN Erick Thohir dan Wapres Maruf Amin.
"Kami menilai, ngototnya UNJ mengubah pedoman yang telah diputuskan memperkuat analisis bahwa 'ada udang dibalik batu'. Ada kepentingan non-akademik (seperti politik balas budi atau kepentingan materiil lainnya) di balik pemberian gelar kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir," kata Ubedilah.
"Jika gelar Dr HC itu diberikan kepada yang bukan pejabat atau mantan pejabat, tentu aturan itu tidak perlu diubah," tegas Ubedilah.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri