Menuju konten utama

Rentannya Perempuan di Balik Narasi Perang Terhadap Narkoba

Pendekatan ini berpotensi mengabaikan konteks sosial, ekonomi, dan gender yang menyertai keterlibatan perempuan dalam kasus narkotika.

Rentannya Perempuan di Balik Narasi Perang Terhadap Narkoba
Petugas merapihkan barang bukti narkotika usai konferensi pers hasil penindakan Desk Pemberantasan Narkoba di Gedung Badan Narkotika Nasional, Cawang, Jakarta, Senin (3/3/2025)ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/Spt.

tirto.id - Pendekatan “perang terhadap narkoba” yang dianut Pemerintah Indonesia sejak 2015 silam sudah lama memantik kritik. Lantaran, pemerintah seakan menekankan langkah kriminalisasi ketimbang rehabilitasi yang humanis. Imbasnya, perempuan yang terlibat dalam jaringan narkotika atau kejahatan terorganisir sering diposisikan sebatas pelaku kriminal dan mengabaikan potensi kerentanan struktural yang mereka hadapi.

Padahal, tak sedikit dari perempuan itu adalah korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), korban kekerasan berbasis gender, terjebak kondisi ekonomi, hingga dieksploitasi dalam jebakan sistem kejahatan terorganisir.

Pendekatan kebijakan narkotika yang terus menekankan pada kriminalisasi rentan membuat perempuan mengalami reviktimisasi yang mengalami nestapa ganda.

Kerentanan perempuan terjebak dalam pusaran jejaring narkotika terorganisir tercermin dari banyaknya perempuan yang tertangkap dalam operasi lintas instansi yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) sepanjang April-Juni 2025. Lewat siaran rilis tertulis resmi, Selasa (24/6/2025), BNN mereka berhasil mengungkap 172 Laporan Kasus Narkotika (LKN) dan mengamankan 285 tersangka.

Lebih rinci, sebanyak 256 tersangka adalah laki-laki, sementara 29 atau 10 persen sisanya perempuan. Dari pengungkapan tersebut, BNN menyita barang bukti narkotika dengan total berat mencapai 683,8 kilogram.

Barang bukti terdiri atas sabu-sabu 308.631,73 gram, ganja 372.265,9 gram, ekstasi 6.640 butir atau setara 2.663,21 gram, THC 179,42 gram, hashish 104,04 gram, serta amfetamin 41,49 gram. Tak hanya tindak pidana narkotika, pada periode yang sama BNN juga berhasil mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan dua jaringan sindikat narkotika, dengan nilai aset sitaan mencapai Rp26,1 miliar.

Pengungkapan kasus narkotika BNN Bali

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Bali Brigjen Pol Rudy Ahmad Sudrajat (tengah), Kepala Kantor Bea Cukai Ngurah Rai Sunaryo (kiri) dan Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Bali Kombes Pol I Made Sinar Subawa (kanan) menunjukkan barang bukti narkotika saat konferensi pers di Kantor BNN Provinsi Bali, Denpasar, Bali, Kamis (5/6/2025). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/YU

Namun yang menjadi sorotan pentingnya, Kepala BNN Marthinus Hukom, mengungkap keterlibatan perempuan, yang mayoritas berstatus sebagai ibu rumah tangga, dalam sindikat kejahatan terorganisir. Temuan ini, menurut BNN, menunjukkan perempuan tidak hanya berperan pasif atau sebagai korban, tetapi juga terlibat aktif dalam operasional jaringan.

Misalnya, keterlibatan perempuan sebagai kurir narkoba, yang dianggap ‘aman’ oleh para sindikat karena minim kecurigaan dari aparat. Seiring waktu, BNN menilai perempuan mulai menempati posisi yang strategis, seperti menjadi perekrut, pengendali distribusi narkotika, bahkan pengelola keuangan hasil bisnis gelap narkotika.

Pola ini dinilai BNN mencerminkan sindikat narkotika semakin adaptif dalam memanfaatkan peran dan posisi sosial perempuan untuk mengaburkan jejak kejahatan mereka. Sering kali perempuan yang berhubungan dengan kejahatan terorganisir dieksploitasi menyelundupkan narkoba lintas wilayah dengan metode-metode yang melanggar norma kesusilaan.

"Itu kelicikan mereka [sindikat narkotika], makanya saya bilang mereka memperdayakan perempuan," ujar Marthinus.

Ironisnya, perempuan dalam kasus jejaring narkotika sering kali dilupakan sebagai individu rentan. Perempuan berhadapan dengan hukum sebatas dipandang bagian dari kejahatan yang mesti ditekan. Pendekatan ini berpotensi mengabaikan konteks sosial, ekonomi, dan gender yang menyertai keterlibatan perempuan dalam kasus narkotika.

Reviktimisasi terjadi ketika perempuan yang seharusnya mendapatkan perlindungan hukum justru kembali menjadi korban oleh kebijakan hukum itu sendiri. Kasus-kasus penahanan tanpa pendampingan, proses hukum yang abai gender, dan vonis tanpa mempertimbangkan latar belakang relasi kuasa adalah bukti bahwa hukum bisa menjadi pisau bermata dua.

Perlu Cermat Menilai Keterlibatan Perempuan

Aktivis hak perempuan sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Siti Aminah Tardi, mengapresiasi kerja kolaborasi Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berhasil mengungkap 172 laporan dan mengamankan 285 tersangka narkotika. Di sisi lain, adanya tersangka 29 perempuan yang berperan sebagai perekrut dan kurir mesti menjadi alarm keprihatinan semua pihak.

Pengungkapan kasus peredaran narkoba jaringan internasional

Petugas menunjukkan barang bukti narkoba saat rilis kasus peredaran narkoba jaringan internasional di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (6/11/2024). Polda Metro Jaya dan Satresnarkoba Polres Metro Jakarta Barat mengungkap peredaran narkoba jaringan internasional senilai kurang lebih Rp418 miliar dengan mengamankan empat orang tersangka serta sejumlah barang bukti 207 kilogram sabu hingga 90 ribu butir pil ekstasi. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wpa.

“Terlebih pada kasus keterlibatan perempuan dalam jaringan narkoba, tubuh khas perempuan dieksploitasi sedemikian rupa, seperti memasukkan narkoba ke dalam vagina dan/atau di antara paha,” kata Siti kepada wartawan Tirto, Rabu (25/6/2025).

Maka dari itu, Siti mengingatkan bahwa dalam posisi perempuan yang berkonflik dengan hukum, penyelidik dan penyidik perlu cermat menilai keterlibatan perempuan. Misal, dengan melakukan analisis gender soal kerentanan dan relasi kuasa antara perempuan dan pelaku laki-laki lainnya.

Proses penilaian ini penting dan harus dilakukan melibatkan penyidik perempuan dan kuasa hukum tersangka. Ia mengingatkan kasus perempuan yang terlibat dalam jejaring narkotika seperti Mary Jane Veloso dan Merri Utami yang sebetulnya memiliki unsur korban TPPO.

Sayangnya, kerentanan dan relasi kuasa itu tidak dikenali sejak awal. Ia juga mengingatkan hak-hak perempuan berhadapan dengan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan dihormati dan dipenuhi agar menjamin proses peradilan yang adil (fair trial).

“Khususnya hak atas bantuan hukum yang efektif dan berkualitas, serta hak-hak terkait maternitasnya, jika perempuan tersebut sedang hamil, usai melahirkan, menyusui atau merawat batita,” terang Siti.

Reformasi Kebijakan Narkotika

Pendekatan perang terhadap narkotika memang rentan melahirkan implementasi kebijakan narkotika yang punitif dan tidak ramah gender, seperti pemenjaraan bagi kepemilikan dan penguasaan narkotika dalam jumlah sedikit, serta pengabaian indikasi unsur perdagangan perempuan. Hal ini misalnya terlihat dalam beberapa kasus perempuan kurir narkotika.

Memang tidak bisa dipungkiri, keterlibatan perempuan dalam jaringan narkotika terorganisir tak lagi sebatas kurir. Tahun ini misalnya, terkuak peran penting seorang perempuan diduga asal Indonesia yang disebut BNN sebagai Dewi Astutik alias Paryatin. Ia diketahui menjadi bagian sindikat narkotika internasional sekaligus otak di balik penyelundupan sabu seberat dua ton di wilayah perairan Kepulauan Riau.

Interpol menduga Dewi sebagai warga negara Indonesia yang tergabung dalam sindikat narkotika asal Afrika. Hingga kini, Dewi masih berstatus sebagai buronan polisi internasional. Ia diduga beroperasi di kawasan Golden Triangle, atau wilayah yang dikenal sebagai pusat jaringan narkoba Asia Tenggara, yakni meliputi perbatasan Thailand, Myanmar, dan Laos.

Di sisi lain, lebih banyak perempuan yang berada dalam hirarki terbawah jejaring narkotika terorganisir dan dieksploitasi menjadi “tumbal” dalam operasi distribusi narkoba.

Pemusnahan 2,061 ton sabu-sabu dan kokain di Batam

Lima orang tersangka beserta barang bukti kejahatan kasus penyelundupan sabu-sabu dan kokain dihadirkan saat acara pemusnahan barang bukti di Lantamal IV Batam, Kepulauan Riau, Selasa (20/5/2025). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/nym.

Menurut penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat pada 2019, terdapat empat motivasi perempuan terlibat tindak pidana narkotika. Meliputi motivasi ekonomi, kepuasan atas kemerdekaan, rekreasional, serta adanya pengaruh pihak ketiga.

Data penelitian LBH Masyarakat memperlihatkan, sebanyak 27 persen responden–yang merupakan perempuan dalam kasus narkotika–mengaku ada pengaruh dari pasangan intim dalam tindak pidana narkotika yang mereka lakukan, termasuk kekerasan oleh pasangan intim.

Hasil wawancara penelitian itu juga menunjukkan bahwa perempuan tidak mengetahui jenis pasal dan ancaman pidana tindak pidana narkotika. Bahkan, beberapa di antara informan penelitian mengalami mispersepsi atas pasal yang didakwakan penyidik terhadap dirinya.

Peneliti Keadilan Gender ICJR, Audrey Kartisha M, menyatakan perempuan tidak hanya terjerat dalam kasus narkotika, tetapi juga mengalami bentuk penghukuman berlapis dalam proses hukum yang mereka jalani. Perempuan sering menghadapi beban ganda sebagai pelaksana tanggung jawab domestik sekaligus penopang ekonomi keluarga. Sayangnya, sistem peradilan pidana Indonesia belum sepenuhnya mampu memahami dan merespons kerentanan ini.

“Perempuan yang menjadi kurir narkotika seringkali tidak dilihat sebagai korban dari kondisi sosial dan ekonomi yang memaksa mereka terlibat, melainkan dianggap pelaku kriminal biasa,” kata Audrey dalam keterangannya kepada Tirto, Rabu (25/6/2025).

Perempuan direkrut dalam jaringan narkotika lewat hubungan personal, seperti pacar atau suami, yang memanfaatkan kerentanan ekonomi dan psikologis mereka. Misalnya, dalam kasus Merry Utami dan Mary Jane, yang menunjukkan bagaimana perempuan dipaksa atau dijebak pasangan atau jaringan narkotika menjadi kurir tanpa pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sistem hukum yang tersedia cenderung mengabaikan konteks kerentanan tersebut dan menghukum mereka secara penuh. Imbasnya, perempuan menghadapi reviktimisasi dari eksploitasi jaringan dan ketidakadilan proses peradilan.

“Penghukuman tersebut selalu terlegitimasi di bawah jargon usang perang terhadap narkotika,” lanjut Audrey.

Kebijakan narkotika yang ada saat ini dinilai ICJR masih didominasi oleh pendekatan kriminalisasi berbasis moralitas. Sehingga pasar gelap narkotika tetap ada karena pengguna narkotika tidak mendapat dukungan kesehatan dan sosial yang memadai. Akibatnya, situasi ini dimanfaatkan untuk menjerat perempuan dengan sejumlah kerentanannya hingga dijerat hukum dengan cara yang tidak adil.

Dalam konteks perdagangan orang, perempuan kerap diposisikan sebagai komoditas yang dimanfaatkan untuk mendukung operasi jaringan peredaran gelap narkotika. Peran ini menunjukkan bagaimana perempuan seringkali dieksploitasi berlapis dalam tindak kejahatan terorganisir.

Data SIMFONI dari KemenPPPA tahun 2025 mencatat, terjadi 13.709 kasus perdagangan orang, dan sebanyak 11.245 kasus di antaranya melibatkan perempuan sebagai korban.

Menurut Audrey, sudah saatnya dibentuk perubahan kebijakan narkotika yang menempatkan dekriminalisasi pengguna narkotika sebagai salah satu pilar utama reformasi kebijakan. Selain itu, perlu ada sistem pasar yang teregulasi untuk mengurangi ketergantungan pada pasar ilegal yang eksploitatif.

Melalui hal ini, negara bisa membangun mekanisme administrasi yang memungkinkan pendataan, pelayanan kesehatan, dan perlindungan sosial bagi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi seperti kesehatan, termasuk perempuan. Dekriminalisasi dinilai tidak hanya mengurangi beban hukum yang tidak proporsional terhadap perempuan, tetapi juga memutus rantai eksploitasi yang selama ini dijalankan oleh jaringan narkotika.

Gedung BNN

Gedung BNN. foto/Bnn

“Revisi Undang-Undang Narkotika menjadi semakin mendesak karena pendekatan punitif yang selama ini diterapkan terbukti tidak mampu menyelesaikan akar persoalan peredaran gelap narkotika, apalagi melindungi kelompok yang paling rentan seperti perempuan,” tegas Audrey.

Dihubungi terpisah, Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, memandang perempuan sering dijadikan objek atas kepentingan kuasa yang dilakukan oleh keluarga maupun aktor di lingkungan sosialnya. Sehingga perempuan berada pada posisi paling rentan yang akan mengalami kekerasan berlapis dan eksploitasi.

Dalam konteks kebijakan narkotika, Armayanti menilai pendekatan normatif dengan hukum positif bukan menjadi solusi satu-satunya yang komprehensif. Justru kebijakan yang tidak melihat kerentanan perempuan akan memperparah eksploitasi, kekerasan dan stigma berlapis bagi perempuan.

Ia melihat perlunya peta jalan penyelesaian masalah yang tepat dengan membongkar akar struktural dari persoalan ketimpangan relasi kuasa dan pemiskinan sistemik yang dialami perempuan saat ini.

“Pembenahan tata kelola sistem hukum yang adil dan tidak bias gender menjadi sangat penting dilakukan. Sehingga upaya-upaya pencegahan, penanganan hukum dan pemulihan perempuan berhadapan dengan hukum dapat berjalan dengan optimal,” pungkasnya kepada wartawan Tirto, Rabu (25/6/2025).

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty