tirto.id - Tahun Politik 2019 tampaknya membawa angin segar bagi dunia properti. Dua hari lalu, tepatnya 21 Februari 2019, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan batas maksimal pendapatan calon penerima fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) akan dinaikkan.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimoeljono mengatakan, kenaikan batas maksimal pendapatan itu mengharuskan adanya revisi dua regulasi. Pertama, Peraturan Menteri PUPR Nomor 26/PRT/M/2016; sementara yang kedua adalah Keputusan Menteri PUPR Nomor 552/KPS/M/2016.
Batas maksimal pendapatan yang sebelumnya dipatok Rp4 juta akan diubah menjadi Rp8 juta. Khusus untuk PNS (golongan III) serta anggota TNI dan Polri yang sudah punya rumah, tetap diperbolehkan asalkan baru pertama kali menerima manfaat FLPP.
"Mudah-mudahan segera selesai, saya juga diminta sebelum Peraturan Menteri selesai untuk bicara dengan para stakeholder, REI (Real Estate Indonesia) dan lain-lain," ujar Basuki di kantor Kementerian PUPR, Jumat (22/2/2019).
Relaksasi aturan ini sebenarnya sudah lama dibahas pemerintah. Muasalnya adalah usulan DPP Real Estate Indonesia yang menginginkan jangkauan program subsidi rumah pemerintah diperluas.
Tujuannya tak lain agar pasar properti yang tengah lesu dapat kembali bergeliat. Sebab belakangan, menurut Ketua Umum DPP REI Sulaiman Sukawinata, industri properti sedang dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.
Pernyataan Sulaiman ini terkonfirmasi lewat data Bank Indonesia (BI) yang dirilis triwulan III 2018. Sepuluh korporasi besar di sektor properti mengalami penurunan penjualan dan uang muka serta rendahnya nilai prapenjualan.
Jika ingin untung dan berkembang, margin yang dimiliki perusahaan properti harus mampu memenuhi eskalasi biaya overhead atau biaya usaha. Di samping itu, margin yang ada juga harus bisa mendukung reinvestasi proyek baru serta mampu membayar kredit perbankan.
"Slow down, sudah hampir 3-4 tahun, kami tidak bisa bergerak untuk growing," kata Sulaiman dalam sebuah acara di J.S. Luwansa Hotel, 22 November 2018.
Punya Efek Domino
Sekjen DPP Persatuan Perusahaan Real Estate Indonesia (REI), Paulus Totok mengapresiasi rencana pemerintah mengerek batas maksimal pendapatan program FLPP.
Selama ini, kata dia, masyarakat berpenghasilan di atas Rp4 juta punya kecenderungan menahan pembelian rumah. Ini karena mereka terbebani dengan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen.
"Misalnya dia mampu beli rumah Rp150 juta, tapi kena PPN 15 juta (10 persen). Kalau dia mau beli beli yang Rp130 juta tanggung, nanti jadi rumah mewah alias mepet sawah," kata Paulus, kemarin.
Paulus menyebut, rumah yang dibeli itu padahal bisa terbebas dari PPN 10 persen jika masyarakat berpenghasilan Rp4 juta masuk ke dalam program subsidi pemerintah. Pajak yang akan mereka tanggung hanya 7,5 persen yang berasal dari BPHTB dan PPh.
"Selama ini, kan, mereka yang di atas harga MBR itu kena PPN, sehingga mereka mau beli juga bebannya berat. PPN, PPh, sama BPHTB itu bebannya berat. Kalau itu dikalikan dalam KPR 10 tahun saja itu sama seperti satu rumah baru," imbuhnya.
Totok juga meyakini bahwa perluasan penerima FLPP akan punya efek domino yakni mendorong pertumbuhan penjualan rumah mewah.
"Kalau yang nanti menengah kebawah ke angkat marketnya otomatis yang atas terangkat karena saling berhubungan. Kalau satunya naik ikut terangkat naik," kata dia.
Berpotensi Memperbesar Backlog
Meski begitu, rencana pemerintah mengerek batas maksimal pendapatan program FLPP bukan tanpa cela. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, rencana ini perlu dikritisi karena berpotensi membuat backlog semakin besar.
Dalam dunia properti, backlog berarti kesenjangan jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan. Menurut Ali, relaksasi batas maksimal pendapatan calon penerima FLPP bisa bikin jumlah rumah tangga yang belum punya rumah akan bertambah. Ini jelas kontraproduktif dengan pengalokasian subsidi perumahan.
Ali mendasarkan pendapatnya ini pada kecenderungan pengembang. Menurut dia, jika batas maksimal naik dua kali lipat, pengembang bakal cenderung membangun tipe rumah yang lebih luas, besar dan tentunya mahal. Imbasnya, suplai rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan semakin sedikit.
"Kalau penghasilan sudah Rp8 juta, itu jelas bukan MBR. Dan pengembang itu akan lebih cenderung bikin rumah di atas Rp150 juta bahkan bisa sampai Rp300 juta-an," ucap Ali kepada reporter Tirto, Sabtu (23/2/2019).
Sementara itu, harga maksimal rumah yang bisa dibeli menggunakan FLPP adalah Rp148,5 juta di wilayah Jabodetabek. Sedangkan untuk Pulau Jawa (di luar Jabodetabek) sebesar Rp130 juta.
Ali pun mempertanyakan kembali tujuan pemerintah melonggarkan program FLPP, terlebih orang yang sudah memiliki rumah tetap diperbolehkan menikmati subsidi pemerintah. Ini bisa berakibat suplai rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah akan berkurang.
"Yang saya khawatirkan mereka punya rumah kedua [mengambil jatah FLPP]. Yang betul-betul enggak punya rumah sebetulnya yang kasihan. Jadi ini sebetulnya memperluas pasar iya, tapi di sisi lain backlog itu tidak akan terselesaikan," ucapnya.
Bagi Ali, pemerintah sebenarnya bisa saja memperluas jangkauan subsidi perumahan agar industri properti tetap berkembang. Namun, itu juga perlu memperhatikan ketepat-sasaran subsidi untuk MBR. Salah satu caranya, dengan membedakan subsidi untuk peserta FLPP bergaji di atas Rp4 juta sampai Rp8 juta.
"Subsidinya ya dikasih enggak sebesar yang MBR itu. Mungkin bunganya lebih tinggi. Kalau MBR 5 persen, misal, yang di atas itu 6,5 persen," tukasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih