Menuju konten utama

Rekrutmen Penyidik Jadi Sebab Munculnya Istilah Kuda Troya di KPK

Dasar dari penolakan pegawai terhadap kebijakan rekrutmen penyidik purna tugas adalah PP Nomor 102 Tahun 2012 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.

Rekrutmen Penyidik Jadi Sebab Munculnya Istilah Kuda Troya di KPK
Empat pemanjat profesional membentangkan spanduk yang bertuliskan "Berani Lapor Hebat" di gedung KPK C1 Jalan HR Rasuna Said, Jakarta (26/3/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi disebut-sebut merekrut seorang penyidik yang sudah purna tugas untuk kembali berdinas di lembaga antikorupsi. Proses perekrutan ini membikin suasana di lingkungan KPK menjadi "panas" lantaran banyak pegawai yang menolak.

Buntut dari penolakan ini memunculkan istilah kuda troya. Istilah ini muncul dalam grup surat elektronik di lingkungan internal KPK dan merupakan bentuk protes pegawai atas kebijakan tersebut. Istilah ini kemudian membuat Direktur Penyidikan KPK Brigjen Aris Budiman berang.

“Salah satu kasatgas saya, saya minta untuk kembali ke KPK dan dia adalah penyidik yang baik, termasuk penerimaan beliau [baik]. Dan di dalam KPK dikembangkan [isu] seolah-olah ini [pengangkatan penyidik] seperti kuda troya,” kata Aris, akhir pekan lalu.

Potensi Pelanggaran dalam Rekrutmen

Ihwal pengangkatan penyidik purna tugas ini, anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, pimpinan KPK berpotensi melanggar aturan yang berlaku. Emerson mengingatkan pimpinan patuh pada aturan yang ada.

“Sungguh memalukan jika pimpinan lembaga penegak hukum mengambil keputusannya – termasuk soal pengangkatan penyidik maupun pejabat di KPK - secara melawan atau melanggar hukum,” kata Emerson dalam keterangan tertulisnya.

Potensi aturan yang dilanggar, kata Emerson, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 Tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi (PP SDM KPK). Berdasarkan PP SDM KPK pada intinya menyebutkan syarat batasan waktu pegawai negeri yang dipekerjakan di KPK adalah paling lama 10 tahun.

Dalam Pasal 5 Ayat (3) PP 103/2012 disebutkan “masa penugasan Pegawai Negeri yang dipekerjakan pada Komisi selama 4 (empat) tahun.” Sedangkan pada Pasal 5 Ayat (4) PP 103/2012 menyatakan “masa penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) tahun.”

Emerson berkata, jika pimpinan bersikukuh mengangkat pegawai yang sudah melebihi batas 10 tahun (penjumlahan dari masa kerja di ayat 3 dan 4), pimpinan KPK bisa melanggar Undang-undang KPK, khususnya pasal 15 huruf d dan e.

Pasal 15 huruf d UU KPK menyebutkan KPK berkewajiban menegakkan sumpah jabatan. Salah satu isi sumpah jabatannya adalah mengamalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.

Sementara Pasal 15 huruf e UU KPK menyebutkan “menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

“Intinya menyebutkan KPK berkewajiban menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas,” ucap Emerson.

Berdampak pada Pemberantasan Korupsi

Keluhan soal rekrutmen penyidik purna tugas tak hanya muncul dari pegawai KPK. Keluhan serupa diutarakan ahli hukum tata negara dari Pusat Kajian Konstitusi Universitas Andalas, Ferry Amsari.

Feri berpandangan proses rekrutmen yang tidak memenuhi dapat dikategorikan ilegal. “Jika KPK bertindak di luar PP 102, hasilnya adalah produk ilegal. Sesuatu yang cacat hukum tidak bisa bertindak hukum," kata Feri.

Feri khawatir, KPK akan hancur jika tidak menata proses rekrutmen dengan baik. Tidak tertutup kemungkinan situasi tersebut akan menjadi celah hukum bagi koruptor untuk lolos dari jeratan korupsi.

Ia mengingatkan bagaimana kasus penetapan tersangka atas Budi Gunawan yang digugat praperadilan. Budi bisa lolos dari penetapan tersangka lantaran salah satu poin gugatan terkait status penyidik yang bermasalah.

Feri berharap, KPK bisa merekrut penyidik secara terbuka dan sesuai perundang-undangan dengan tidak melanggar undang-undang, terutama UU No. 28/1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan bersih dan bebas KKN.

"Keterbukaan itu kan harus menjadi tagline KPK. Masa KPK menganjurkan keterbukaan tapi KPK sendiri tidak terbuka," kata Feri.

Senada dengan Feri, Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan ICW Tama Satrya Langkun menambahkan, proses rekrutmen yang melanggar undang-undang bisa mengancam KPK di masa depan. Menurut Tama, penyidik yang masuk ke dalam KPK harus berintegritas dan punya rekam jejak baik agar KPK bisa menangani perkara dengan baik.

“Kalau pernah punya persoalan apalagi masalah hukum itu akan jadi sandera buat KPK,” kata Tama.

Selain itu, potensi keberpihakan juga muncul apabila KPK merekrut penyidik purna tugas yang tidak sesuai perundang-undangan. KPK bisa saja digunakan oknum tertentu untuk menyerang pihak tertentu. Hal tersebut belum termasuk akuntabilitas dalam proses rekrutmen.

Klarifikasi KPK

Tirto mencoba mengklarifikasi informasi dari sumber tersebut kepada sejumlah pimpinan KPK. Sambungan telepon tidak diangkat dan pesan singkat yang kami kirim tak dibalas.

Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah kemudian memberikan klarifikasi ihwal masalah rekrutmen penyidik yang menjadi pangkal kegaduhan di internal. Menurut Febri, KPK belum merekrut penyidik berinisial IR itu dan masih dalam pengkajian.

“KPK harus melakukan sesuatu sesuai dengan aturan yang berlaku," kata Febri.

Sesuai aturan, kata Febri, penyidik atau pegawai negeri yang dipekerjakan di KPK hanya bisa menjalani masa kerja maksimal 10 tahun sesuai PP SDM KPK. Penelaahan ini dilakukan untuk melihat peluang apakah KPK bisa mempekerjakan ulang pegawai yang sudah purna tugas, meski begitu, Febri enggan menjawab niatan KPK merekrut penyidik purna tugas.

“Sekarang sedang kami lihat. karena itu lah pandangan-pandangan hukum sangat dibutuhkan dan sedang diproses saat ini,” kata Febri.

Infografik Current Issue pimpinan KPK

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Mufti Sholih

tirto.id - Hukum
Reporter: Tony Firman & Andrian Pratama Taher
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih