tirto.id - Rangkaian persidangan kasus korupsi yang menjerat mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, alias Mbak Ita, memasuki tahap tuntutan. Politisi PDIP itu dituntut hukuman enam tahun penjara.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hevearita G Rahayu dengan pidana penjara selama enam tahun," pinta Jaksa Wawan Yunarwanto, saat membaca amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (30/7/2025).
Selain itu, Mbak Ita dituntut membayar denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, di samping membayar uang pengganti ke negara Rp683,2 juta, yang jika tak dibayar, ditukar setahun masa hukuman.
Tak cukup itu, Mbak Ita dituntut pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, termasuk tak boleh lagi mencalonkan sebagai wali kota dalam kurun waktu tertentu.
"Mencabut hak terdakwa untuk menduduki jabatan dalam jabatan publik selama 2 tahun, terhitung sejak terpidana selesai menjalani masa pemidanaan," pinta Jaksa kepada Majelis Hakim.
Dalam sidang yang sama, Alwin Basri, yang merupakan suami dari Mbak Ita, dituntut hukuman lebih berat.
Alwin, yang merupakan mantan Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah itu, dituntut penjara delapan tahun, denda Rp500 juta, membayar uang pengganti Rp4 miliar, dan larangan menduduki jabatan publik selama dua tahun.
Jaksa menyimpulkan, Mbak Ita dan Alwin bersekongkol korupsi memungut fee dengan cara mengondisikan proyek dan menerima uang pungli pegawai. Keduanya total menerima pendapatan tak resmi hampir mencapai Rp9 miliar.
Usai mendengar pembacaan surat tuntutan, Mbak Ita dan suaminya memilih bungkam dan bergegas keluar ruang sidang.
Sementara itu, penasihat hukum terdakwa, Agus Nuruddin, menganggap tuntutan jaksa terlalu berat. Apalagi kesimpulan jaksa tidak sepenuhnya sesuai fakta yang terungkap di persidangan.
"Tentu berat tuntutan itu. Kami berharap putusannya tidak sesuai dengan tuntutan," kata Agus usai sidang.
Dia menegaskan, selama ini tim penasihat hukum berupaya menepis argumen jaksa, sembari menunjukkan bukti pembanding. Ia berambisi membuat kliennya bebas dari jeratan hukum.
"Kami pasti ingin terdakwa bebas. Nanti akan kami sampaikan dalam pledoi atau pembelaan," bebernya. Sidang pembelaan atas tuntutan bakal digelar Rabu pekan depan.
Awal Mula Kasus Korupsi yang Menyeret Mbak Ita
Kasus dugaan korupsi yang menyeret Mbak Ita mulai mencuat di publik saat penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan serangkaian penggeledahan di lingkungan Pemerintah Kota Semarang, pada Juli 2024.

Penyidik secara maraton menggeledah beberapa lokasi, mulai dari kantor wali kota, beberapa kantor organisasi perangkat daerah, kantor penyedia jasa konstruksi, hingga rumah pribadi Mbak Ita.
Selama proses penggeledahan, Mbak Ita seolah hilang ditelan bumi, tak pernah menunjukkan batang hidungnya. Sisi lain, penyidik tak kunjung mengumumkan siapa tersangka korupsinya.
Pada akhir Juli 2024, Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, bilang KPK telah mengirim surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) kasus korupsi di Pemkot Semarang kepada empat orang, tetapi nama-nama keempat orang ini tak disebut.
Belakangan, diketahui, keempat tersangka itu adalah Mbak Ita; Alwin Basri, suami dari Mbak Ita; Martono, Ketua Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia) Semarang; dan Rachmat Utama Djangkar, Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa.

Martono dan Rachmat ditahan penyidik KPK pada 17 Januari 2025. Sementara Mbak Ita dan Alwin belum ditahan karena selalu mangkir saat dipanggil untuk diperiksa.
Pada 15 Agustus 2024, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur mengeluarkan pernyataan bahwa ia memastikan tidak ada kerugian negara dalam kasus korupsi yang menjerat Mbak Ita.
"Karena tiga perkara yang ada di tindak pidana korupsi Wali Kota Semarang itu terkait dengan suap, yang kedua gratifikasi tidak perhitungan kerugian negara, yang ketiga adalah pemotongan," ucap Asep.
Tak lama berselang, Mbak Ita dan Alwin diketahui mengajukan permohonan praperadilan untuk menggugurkan status tersangkanya. Namun, praperadilan itu ditolak PN Jakarta Selatan pada 14 Januari 2025.
Mbak Ita dan Alwin akhirnya menghadiri panggilan penyidik dan langsung ditahan per 19 Februari 2025.

Kasus dugaan korupsi Mbak Ita dan orang-orang lain yang terlibat mulai disidangkan pada 21 April 2025 di Pengadilan Tipikor Semarang. Khusus Mbak Ita dan Alwin didakwa melakukan korupsi dalam tiga klaster berbeda.
Pada dakwaan pertama, keduanya didakwa mengondisikan dan menerima fee atas lelang beberapa paket pekerjaan di Kota Semarang, salah satunya pengadaan meja kursi siswa.
Pada dakwaan kedua, Mbak Ita bersama Alwin didakwa menerima hasil pungutan liar dari pemotongan tunjangan pegawai Badan Pendapatan (Bapenda) Kota Semarang dengan dalih 'iuran kebersamaan'.
Pada dakwaan ketiga, pasangan suami-istri tersebut diduga menerima gratifikasi dari para rekanan atas pengondisian ratusan proyek penunjukan langsung di 16 kecamatan di Kota Semarang.
Sidang Pembuktian Kasus Korupsi Mbak Ita
Sidang pembuktian kasus korupsi Mbak Ita sudah berlangsung selama tiga bulan terakhir di Pengadilan Tipikor Semarang. Tercatat, dari mulai pembacaan dakwaan, hingga tuntutan, total sidang telah digelar 23 kali.
Jaksa menghadirkan 60 saksi di muka persidangan. Sisi lain, penasihat hukum Mbak Ita juga menghadirkan dua ahli dan sekitar delapan saksi meringankan.
Saksi Martono dan Rachmat yang merupakan terdakwa pemberi suap dan gratifikasi, menegaskan peran Alwin sebagai representasi Mbak Ita dalam pengaturan paket pekerjaan di Pemkot Semarang.

Saksi lain seperti pejabat Bapenda Kota Semarang Indriyasari, Syarifah, dan Binawan Febriarto, memperkuat konstruksi dakwaan. Mereka menyatakan Mbak Ita meminta setoran hasil 'iuran kebersamaan'.
Kesaksian para camat dan pengurus Gapensi Kota Semarang juga meneguhkan adanya peran Mbak Ita dan suaminya dalam pengaturan proyek penunjukan langsung di 16 kecamatan Kota Semarang.
Sementara itu, saksi meringankan yang dihadirkan penasihat hukum terdakwa, tidak cukup kuat memberi kesaksian pembanding.
Saksi Nik Sutiani mantan pejabat Bapedda, Ahmad Fuad Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), hingga Marzuki pegiat pertanian, hanya menceritakan citra baik Mbak Ita yang notabene tidak berkaitan langsung dengan materi dakwaan.
Saat sidang pemeriksaan terdakwa, Mbak Ita mengaku tidak mengetahui soal pengondisian lelang pekerjaan, seperti yang disebut di dakwaan pertama, dan pengaturan proyek penunjukan langsung, sesuai dakwaan ketiga.
Mbak Ita hanya mengakui pernah menerima setoran dari Bapenda sebesar Rp1,2 miliar karena tidak tahu uang itu bersumber dari pemotongan tunjangan pegawai. Seluruh uang yang ia terima juga telah dikembalikan.
Sementara Alwin tidak menampik menerima pemberian fee dari berbagai pihak yang disebut dalam dakwaan. Meski begitu, ia berdalih ia hanya berperan menjadi penyambung aspirasi jika ada orang yang meminta pekerjaan.
Jaksa menganggap, semua tindakan Alwin merupakan representasi Mbak Ita. Sehingga, Mbak Ita tetap dinyatakan bersalah melakukan tiga klaster korupsi.
Kini, Mbak Ita sudah dituntut pidana penjara hingga pencabutan hak politik. Pertanyaannya, akankah Mbak Ita divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Semarang sesuai tuntutan jaksa tersebut?
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































