tirto.id - I Wayan Widyantara pusing tujuh keliling. Ia bersama sejumlah pengurus Desa Adat Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali berencana menggelar upacara ngaben massal pada 14 November nanti.
Menurut rencana akan ada 70 sawe—mayat yang siap dibakar—dan 25 ngelangkir—bayi yang meninggal sebelum lahir—yang harus menjalani proses ngaben massal tersebut. Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah (kremasi) umat Hindu.
“Bukan main-main. Ini upacara besar,” kata pria 32 tahun yang biasa dipanggil Nonik itu kepada Tirto, Kamis (10/22/2022). “Termasuk adik saya yang sudah meninggal.”
Masalahnya, kata dia, upacara ini terhambat oleh aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diteken Gubernur Bali I Wayan Koster dari 12-17 November.
Aturan tersebut diracik merespons perhelatan KTT G20, dan bukan karena kenaikan kasus Covid-19 yang membahayakan. Sepanjang tanggal itu, semua kegiatan masyarakat dibatasi—termasuk upacara adat dan keagamaan.
Yang bikin persoalan kian pelik, Desa Tanjung Benoa adalah salah satu desa paling terisolir di Kecamatan Kuta Selatan akibat perhelatan G20. Siapa pun yang ingin menuju desa itu harus melewati jalur utama pelaksanaan G20 yang sudah dibatasi ketat.
Masalah lainnya, lanjut Nonik, pedanda—pemimpin tertinggi upacara ngaben—untuk tanggal 14 November tinggal di Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan. Dia tak bakal bisa ke desa karena bakal dipaksa putar balik ketika melewati lokasi perhelatan G20.
Mengalah, pengurus Desa Adat Tanjung Benoa memutuskan untuk menjemput pedanda lewat jalur laut dari Pantai Sanur menggunakan kapal, agar upacara ngaben massal tersebut dapat tetap terlaksana, meski mereka harus kerepotan.
“Harus memutar lewat laut. Ini mungkin pertama kalinya dalam sejarah dibawa lewat jalur laut,” kata Nonik.
Direnggut kebebasannya, warga pun dipaksa hidup dengan keriuhan pengamanan yang mengganggu. Sejak Senin, 7 November lalu, sudah banyak kendaraan lapis baja polisi dan militer yang terparkir di sepanjang jalan menuju Desa Tanjung Benoa.
Nonik menjelaskan bahwa jalan menuju desanya memang harus melewati hotel-hotel tempat perhelatan G20. “Tadi malam, saya pulang sekitar jam 10, mobil-mobil besar tentara sudah terparkir di pinggir jalan. Saya merasa masuk ke markas TNI,” katanya.
Beberapa kali warga mendengar suara sirene mobil polisi dan mesin helikopter yang lalu lalang di desanya, terutama saat melintasi jalur-jalur utama warga. Ragam penjagaan G20 ini cukup mengganggu ketenangan warga Desa Tanjung Benoa.
Nonik yang juga seorang jurnalis dan aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar ini mengaku banyak intel melakukan pengintaian, intimidasi, dan pengambilan foto ke kantor organisasinya dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya.
“Setiap hari difoto kantor kami,” katanya.
PPKM Suka-Suka Bukan Karena Wabah
Apa yang dialami oleh Nonik dan warga di Kecamata Kuta Selatan adalah ekses dari PPKM yang diterapkan Gubernur Bali I Wayan Koster. Ia membatasi gerak warga tiga kecamatan—Kuta, Kuta Selatan, dan Denpasar Selatan—selama 5 hari (12-17 November).
Seluruh kegiatan masyarakat—mulai dari pendidikan, upacara adat dan agama, hingga perkantoran, kecuali kesehatan—dibatasi dan agar dilakukan secara daring. Ini berbeda dari PPKM level 1 yang berlaku nasional sekarang terkait pandemi, di mana kegiatan umum masih diizinkan dengan kapasitas 100% selama menjaga protokol kesehatan.
Dalam aturan yang diteken itu, pelaksanaan PPKM bukan didasarkan pada masalah kedaruratan pengendalian kesehatan publik, tapi demi kenyamanan acara G20—agenda internasional yang menelan biaya hingga Rp 678 miliar.
Mengacu pengertian PPKM—yang dipakai pemerintahan Joko Widodo untuk menghindari term Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berbiaya mahal sesuai UU Karantina Kesehatan, PPKM di Bali kali ini bukan karena lonjakan kasus Covid-19.
Kebijakan lebih ekstrim diambil oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Badung dengan merilis surat edaran—yang salinannya didapat oleh Tirto—untuk melarang kegiatan pembuangan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sepanjang 13-17 November mendatang.
Dengan kata lain, masyarakat dan pelaku usaha di kawasan tersebut diminta untuk tidak mengeluarkan sampah dari tempat masing-masing. Artinya, mereka harus menyimpan sampahnya di rumah, karena jasa angkutan sampah sepanjang tanggal itu tidak bekerja.
Tidak cukup dengan mengorbankan kenyamanan warga, pemerintah bahkan memaksa para hewan mengalah, agar para tamu G20 bisa rapat dengan nyaman dan tak melihat aktivitas keseharian warga Bali.
Di Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, ada imbauan tertulis agar warga mengatur ternaknya sepanjang 11-18 November. “Warga yang memiliki ternak anjing, sapi, kambing, dan kucing agar mengandangkan ternaknya supaya tidak berkeliaran,” tulis Lurah Jimbaran I Wayan Kardiyasa dalam surat imbauan yang diterima Tirto.
Baliho penjual babi guling—yang sudah menjadi pemandangan umum jika kita berkeliling di sekitar Tanjung Benoa—juga ramai dicopot oleh Satpol PP. Entah apa hubungannya dengan sukses-tidaknya perhelatan G20.
Jika baliho babi yang tak menyinggung G20 saja diberantas, apalagi aktivitas dan diskusi publik yang mengritik G20. Agenda diskusi krisis iklim—salah satu tema utama G20—yang mengundang musisi Robi vokalis Navicula pada 6 November lalu dibatalkan.
Ancaman bahkan terjadi di ruang akademik—di mana prinsip kebebasan akademik (academic freedom) semestinya dijaga. Diskusi publik bertajuk “Pro-Kontra G20: Rakyat Bali Dapat Apa?” di Universitas Udayana juga diancam dibubarkan, justru oleh Wakil Rektornya sendiri.
Belakangan, diketahui bahwa Universitas Udayana menjadi salah satu kampus yang getol mendukung pelaksanaan G20. Narasi dukungan itu secara terang tertulis dalam surat edarannya.
Di level nasional, Direktur Lalu Lintas Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan juga memberlakukan kebijakan ganjil-genap untuk mobil di Bali—sesuatu yang tak pernah diberlakukan sebelumnya.
“Ini baru pertama kalinya ganjil-genap di Bali,” kata Nonik.
Represi Bahkan di luar Bali
Rafii Fujiberkah, 24 tahun, juga mengalami intimidasi jelang pelaksanaan G20. Ia adalah salah seorang pesepeda dari tur Chasing the Shadow. Proyek Greenpeace Indonesia ini berlangsung dengan rute Jakarta-Bali untuk mengampanyekan pentingnya mengangkat isu krisis iklim di perhelatan G20.
Di Jawa Timur, 7 November pagi, saat tim melanjutkan perjalanan dari Surabaya menuju Banyuwangi, Rafii bersama dua orang lainnya mengayuh sepeda mereka. Mereka mulai diikuti mobil polisi saat melewati area lumpur Lapindo di Porong, Kabupaten Sidoarjo. Rafii mengayuh sepeda sejauh 200 meter beriringan dengan mobil polisi itu.
“Saya lagi naik sepeda, ada mobil polisi menyerempet. Aku ngerem mendadak hampir jatuh,” katanya saat konferensi pers pada 9 November lalu. “Saya merasa mulai enggak beres. Saya rem sepeda dan tunggu dua teman lainnya.”
Setelahnya, Rafii dan dua pesepeda lain melanjutkan perjalanan hingga melewati Kabupaten Pasuruan. Sore hari jelang memasuki perbatasan Kabupaten Probolinggo, Rafii mendapat kabar dari tim bahwa ada sekelompok ormas yang menunggu di perbatasan.
Ia dan dua pesepeda lain memutuskan berhenti dan beristirahat, lima kilometer sebelum titik perbatasan. Di situ, Rafii merasa diintai oleh beberapa orang berbadan besar yang mengambil foto secara diam-diam dari jarak jauh. “Itu melanggar privasi,” kata dia.
Akibat insiden-insiden tersebut, Rafii merasakan lelah secara fisik dan mental. Selama perjalanan, konsentrasinya terpecah karena harus fokus mengayuh sembari mewaspadai hal-hal yang tidak diinginkan.
Di Kabupaten Probolinggo, di hari yang sama, tim Chasing the Shadow yang menunggu Rafii dan dua pesepeda lain mendapat intimidasi serupa. Sekitar pukul 14.30 WIB, saat di sebuah rumah makan, mereka didatangi dua kelompok ormas yang melempar banyak pertanyaan seperti asal, identitas, kegiatan, dan tujuan.
Sore harinya, tim bahkan diikuti sampai penginapan. Mereka diminta untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Bali dan dipaksa meneken surat perjanjian di atas materai yang sudah disiapkan sebelumnya.
“Kalian enggak bisa keluar Probolinggo dulu, sebelum kalian tanda tangan surat pernyataan,” kata Zamzam Firzandy, 27 tahun, dalam konferensi pers yang sama, meniru ucapan salah seorang anggota ormas yang mengintimidasi.
Zamzam adalah salah seorang anggota tim yang berada di Probolinggo. Para anggota ormas itu memaksa Zamzam dan tim untuk tidak melanjutkan perjalanan dan tidak melakukan kampanye apa pun selama G20 di Bali.
“Dalam posisi itu saya dikelilingi banyak orang, mental saya lumayan down,” kata Zamzami, “kesepakatan itu dibuat.”
Direktur Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyebut intimidasi terhadap timnya sudah dimulai sejak di Semarang, Jawa Tengah, berlanjut di Kabupaten Demak, Kabupaten Rembang, dan akhirnya memuncak saat tim masuk Kabupaten Probolinggo Senin lalu.
“Cara kreatif tur sepeda kami lakukan tanpa kekerasan, tapi dihadapkan dengan ancaman, yang dalam pemahaman kami, sudah merupakan kekerasan mental dan psikologis,” kata dia. “Kami dengan sangat berat, demi keselamatan dan peseda, sudah memutuskan tidak melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi dan Bali. Kami mendeteksi represi akan berlanjut terus sampai Bali,” tambahnya.
Leonard menyesalkan hilangnya kebebasan berekspresi masyarakat sipil jelang pelaksaan G20 yang banyak mengklaim mengedepankan transisi energi. Pasalnya, kata dia, akan sulit melakukan transisi energi dengan baik tanpa demokrasi yang sehat.
“Tanpa itu, proses transisi energi itu bisa didominasi lagi oleh oligarki. Kita ini sebenarnya dalam konteks menegakkan demokrasi energi. Transisi energi ini harus partisipasi publik,” katanya.
Aksi-aksi kritis untuk merespons G20 bukannya tak pernah terjadi. Pada pelaksanaan G20 di Hamburg, Jerman, pada 2017 lalu, aksi protes dilakukan oleh ribuan massa di kota itu dengan slogan yang ikonik: “G20 Welcome to Hell”.
Satu tahun setelahnya, di Bueno Aires, Argentina, masyarakat sipil melakukan protes dan menyebut pelaksanaan G20 bak “sirkus” karena tak menyelesaikan masalah peningkatan hidup negara-negara berkembang yang rentan—salah satunya Indonesia.
Gerakan sosial demikian akan sulit kita lihat di Indonesia, bukan hanya karena minimnya konsolidasi masyarakat sipil, tapi juga praktik pengekangan yang dijalankan oleh pemerintah daerah maupun oleh ormas.
Aparat yang diterjunkan pun sangat besar. Setidaknya, pemerintah menurunkan 18.000 personel gabungan polisi dan militer, 26 kendaraan lapis baja, 12 KRI, 13 helikopter, dua pesawat tempur, dan dua pesawat Hercules.
G20 untuk Siapa?
Tak hanya di tiga kecamatan yang diterapkan PPKM, Rai Astrawan, 37 tahun, juga melihat hal serupa di Kecamatan Denpasar Utara. Ia beberapa kali menemukan kegiatan publik justru tak bisa diselenggarakan secara bebas.
Menurut Rai, keadaan serupa tak terjadi di agenda-agenda internasional sebelumnya di Bali, seperti Konferensi Tingkat Tinggi APEC 2013 atau Pertemuan Tahunan International Monetary Fund (IMF) 2018. Warga masih bisa beraktivitas seperti biasa.
“Orang yang awalnya hanya menganggap G20 seperti agenda-agenda internasional lainnya, jadi curiga. Ada apa sih sebenarnya? Memang mau ngomongin apa sih?” kata Rai kemarin, 9 November. “Pemerintah membuat seolah-olah keadaan sedang gawat,” ujarnya.
Menurut Rai, dengan adanya pelaksanaan PPKM yang justru banyak membatasi kegiatan ekonomi masyarakat kecil yang tak bisa dilakukan secara online, justru bertolak belakang dengan jargon utama G20 selama ini: “Recover Together, Recover Stronger”.
Banyaknya usaha dan kegiatan kreatif warga yang menjadi penopang perputaran ekonomi yang sedang bangkit karena pandemi, justru dibatasi lagi karena PPKM.
“Bagaimana bisa pulih bersama jika gerak masyarakat dibatasi? Efeknya juga tidak hanya terjadi di tiga kecamatan itu,” kata Rai. “Ini paradoks dengan kejadian di lapangan.”
Wartawan Tirto pada Jumat (11/11/2022) pagi meminta tanggapan dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto yang bertindak sebagai Ketua Panitia I perhelatan KTT G20 di Bali.
Namun, pengusaha yang juga Ketua Partai Golkar ini tidak memberikan pernyataan apapun meski pesan Whatsap yang dikirimkan menunjukkan centang biru, tanda bahwa pesan tersebut sudah terbaca.
Pesan serupa dikirimkan kepada juru bicara Kemenko Perekonomian Alia Karenina, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Edi Prio Pambudi, dan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso.
Hingga pukul 15:00 WIB ketika laporan ini dipublikasikan, pesan yang dikirimkan belum juga direspons.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Arif Gunawan Sulistiyono