Menuju konten utama

Putusan MK Soal UU Tapera Mesti Dikawal agar Tak Cuma Ganti Baju

Kebijakan perumahan harus didorong lebih berpihak pada kelompok rentan, pekerja informal, dan buruh harian.

Putusan MK Soal UU Tapera Mesti Dikawal agar Tak Cuma Ganti Baju
Foto udara perumahan subsidi di Indramayu, Jawa Barat, kamis (19/06/2025). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/YU

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera). Dengan pembatalan UU tersebut, MK mengubah konsep Tapera yang semula bersifat pungutan wajib menjadi bersifat sukarela.

UU Tapera yang memayungi kebijakan terkait tabungan perumahan rakyat itu selama ini memang menjadi polemik dan dianggap membebani pekerja.

Hakim Konstitusi, Saldi Isra, mengungkap bahwa istilah “tabungan” dalam Tapera tidak dapat diartikan sebagai pungutan resmi yang bersifat memaksa seperti halnya pajak.

"Berkenaan dengan hal ini, penyematan istilah 'tabungan' dalam program Tapera menimbulkan persoalan bagi pihak-pihak yang terdampak, in casu pekerja, karena diikuti dengan unsur pemaksaan dengan meletakkan kata wajib sebagai peserta Tapera," kata Saldi di Gedung MK, Jakarta, Senin (29/9/2025).

Majelis Hakim Konstitusi secara bulat tanpa ada dissenting opinion menetapkan bahwa penerapan iuran yang bersifat memaksa tersebut tidak sesuai dengan karakteristik hakikat tabungan yang sesungguhnya karena tidak lagi terdapat kehendak yang bebas.

"Oleh karena itu, Mahkamah menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana didalilkan Pemohon," kata Saldi.

Lebih jauh, Hakim Konstitusi juga menyatakan bahwa UU Tapera gugur karena para pemohon, yang merupakan karyawan swasta dan pelaku usaha, menggugat Pasal 7 Ayat 1 UU Tapera yang merupakan “pasal jantung”.

Pasal 7 tersebut mengatur bahwa setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan minimal setara dengan upah minimum wajib menjadi peserta Tapera. Ketentuan ini menjadi dasar hukum kewajiban keikutsertaan dalam program Tapera untuk pembiayaan perumahan rakyat.

Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat, gaji para pekerja—baik aparatur sipil negara (ASN), pekerja swasta, maupun pekerja mandiri—akan dipotong 3 persen untuk simpanan Tapera.

Simpanan Tapera akan dibayarkan oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja 2,5 persen, sementara pekerja mandiri sepenuhnya dipotong 3 persen.

Meski UU Tapera telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak punya hukum mengikat, aturan ini masih tetap berlaku. Pasalnya, MK memberi waktu kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan penataan ulang paling lama 2 tahun sejak putusan a quo diucapkan.

Keputusan itu disebut diambil sebagai jalan tengah dan mempertimbangkan kepesertaan Tapera yang sudah berjalan dari golongan ASN.

"Dengan mempertimbangkan cakupan peserta Tapera yang luas sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Mahkamah menilai bahwa pembatalan seketika terhadap UU 4/2016 tanpa masa transisi dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan gangguan administratif dalam pengelolaan iuran maupun aset peserta, termasuk potensi risiko hukum terhadap entitas pelaksana seperti BP Tapera dan lembaga keuangan terkait," ucap Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih.

Masalah Belum Selesai

Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) menyambut baik putusan MK yang mengabulkan gugatan terkait UU Tapera ini. Presiden ASPIRASI, Mirah Sumirat, mengatakan bahwa para pekerja selama ini merasa keberatan dengan kewajiban Tapera. Padahal, prinsip tabungan seharusnya berdasarkan kesukarelaan dan kemampuan.

“Beban pekerja sudah cukup berat dengan berbagai potongan dan iuran, mulai dari BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan, hingga pajak penghasilan. Jadi, putusan ini menjadi kabar baik karena pekerja akhirnya tidak dipaksa menambah beban baru yang berpotensi mengurangi daya beli mereka,” ujar Mirah saat dihubungi jurnalis Tirto, Selasa (30/9/2025).

Hal senada juga disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal. Dia menyambut baik putusan MK dan setuju bahwa UU Tapera dibatalkan.

"Karena, iuran Tapera memberatkan buruh yang sudah banyak potongannya. Dan iuran Tapera tidak memberikan kepastian untuk memiliki rumah," kata Said lewat pesan teks, Selasa (30/9/2025).

Putusan MK soal Tapera ini pada akhirnya memperlihatkan bahwa negara sadar akan adanya masalah serius dalam desain kebijakan yang terlalu membebani pekerja. Menurut Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tidar, Arif Novianto, Tapera sejak awal dikritik lantaran sifatnya yang memaksa. Padahal, tabungan seharusnya berbasis pada kemampuan dan kesadaran individu.

“Dalam situasi harga kebutuhan pokok terus naik, kebijakan seperti ini malah terasa sebagai pemotongan upah terselubung. Jadi, bagi saya, MK membuka peluang buat koreksi, tapi bukan berarti masalah selesai,” ungkap Arif kepada Tirto, Selasa (30/9/2025).

Masalah terkait perumahan bagi buruh belum selesai karena masih banyak pekerja yang belum bisa mengakses perumahan secara terjangkau dan layak. Hak masyarakat memiliki hunian yang layak masih membentur banyak masalah.

Laporan Jakpat bertajuk “Property Perspective from Gen Z” (2023) mengungkap masih banyak Gen Z (usia 15-26 tahun) yang merasa tidak terpikir untuk membeli rumah dengan alasan mayoritas karena ketidaksiapan finansial.

Mekanisme tabungan wajib ala program Tapera jelas tidak menyentuh akar masalah tersebut. Itulah sebabnya Arif menegaskan bahwa hak atas tempat tinggal seharusnya dijamin lewat intervensi negara dalam bentuk kontrol harga tanah, penyediaan rumah publik, dan kebijakan sewa yang adil.

“Kalau kita lihat realitasnya, harga rumah makin tak terjangkau. Gaji pekerja stagnan, tapi harga properti naiknya jauh lebih cepet. Tapera dalam desain lama lebih mirip jadi instrumen pungutan, bukan solusi struktural. Bahkan kalaupun pekerja dipaksa nabung, pertanyaannya: apakah uang itu bener-bener bisa bikin mereka punya akses rumah atau malah jadi sumber akumulasi baru buat pengembang dan lembaga keuangan,” ujar Arif yang menggeluti isu ketenagakerjaan.

Jika menilik Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) Bank Indonesia sepanjang 2020 - 2024, angkanya konsisten memperlihatkan grafik kenaikan--semakin tinggi nilai indeks mengindikasikan kenaikan harga properti yang makin tinggi.

Pada Triwulan I 2024, IHPR berada di angka 108,76—naik 1,89 persen year-on-year (yoy) dibanding tahun sebelumnya. Dalam periode ini, kenaikan harga properti diketahui terjadi di semua tipe rumah. Rumah tipe kecil meningkat sebesar 2,41 persen (yoy), dilanjut tipe menengah dan besar dengan kenaikan masing-masing 1,60 persen dan 1,53 persen (yoy).

Ironisnya, rerata upah bersih anak muda di Indonesia tak menyentuh angka Rp3 juta per bulan. Pada Agustus 2024, data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan rata-rata gaji per bulan kelompok usia 15-19 tahun hanya sekitar Rp1,9 juta. Sementara itu, kelompok umur 20-24 tahun rata-rata gajinya adalah Rp2,4 juta. Kemudian, mereka yang berada di rentang usia 25-29 tahun rata-rata pendapatannya sekira Rp2,9 juta.

Jangan Sampai Tapera Cuma “Ganti Baju”

Dengan waktu dua tahun untuk penataan ulang sebagaimana putusan MK, Arif menekankan pentingnya publik mengawal agar program Tapera tak cuma berganti baju, tapi tetap eksploitatif. Dia mengungkap tiga poin krusial yang perlu digarisbawahi terkait hal ini.

Pertama, pekerja harus dipastikan tidak lagi dijadikan cash cow lewat iuran wajib. Kedua, kebijakan perumahan harus didorong agar lebih berpihak pada kelompok rentan, pekerja informal, dan buruh harian—bukan hanya berpihak pada pekerja formal.

“Kita harus buka diskusi lebih luas, apakah negara serius menyediakan rumah layak sebagai hak, atau masih menyerahkan urusan rumah pada logika pasar? Kalau orientasinya tetap pasar, maka krisis perumahan bakal terus jadi bom waktu sosial,” kata Arif.

Selaras, Mirah dari ASPIRASI pun menyoroti beberapa poin penting untuk dikawal. Yang pertama adalah prinsip sukarela. Tapera harus berbasis pada kesadaran dan kebutuhan pekerja, bukan paksaan.

Di sisi lain, perlu adanya transparansi dan akuntabilitas agar pengelolaan dana Tapera jelas, aman, dan memberi manfaat nyata. Iuran atau skema apa pun itu juga harus mempertimbangkan daya beli buruh atau pekerja yang saat ini sudah menurun akibat kondisi ekonomi.

Hal yang tak kalah penting adalah akses nyata terhadap perumahan. Mirah bilang, Tapera jangan hanya jadi tabungan, tetapi harus menjawab persoalan utama buruh, yaitu keterjangkauan harga rumah dan akses pembiayaan yang mudah.

“ASPIRASI akan terus mengawal proses penataan ulang Tapera ini agar tidak menjadi beban tambahan, melainkan benar-benar solusi untuk pemenuhan hak pekerja atas perumahan yang layak,” tutup dia.

Baca juga artikel terkait UU TAPERA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi