tirto.id - Sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Bandung, Rabu (21/2/2024), sebuah kekacauan tercipta di sore yang gelap. Material bangunan porak poranda, pohon-pohon tumbang, dan mobil truk jumpalitan. Rancaekek, kawasan perbatasan Bandung-Sumedang itu, disepak angin puting beliung hingga awut-awutan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat melaporkan, puting beliung itu terjadi sekitar pukul 15.30-16.00 sore. Angin kencang turut berdampak hingga wilayah Jatinangor, Kabupaten Sumedang, sekitar 5 kilometer dari Rancaekek. Akibat kejadian ini, 735 keluarga dan 116 rumah terdampak, sedikitnya 32 warga luka-luka.
Sehari setelahnya, Kamis (22/2/2024), pemerintah Kabupaten Sumedang langsung menetapkan status tanggap darurat. Potongan video kejadian ini viral di media sosial, gulungan angin membumbung tinggi ke udara dalam salah satu rekaman. Fenomena ini bahkan disandingkan dengan bencana tornado yang kerap terjadi di Amerika Serikat.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bidang iklim, Edvin Aldrian, menilai fenomena di Rancaekek kurang tepat disebut tornado. Menurut dia, puting beliung di Rancaekek terjadi dalam radius pendek dan berlangsung dalam intensitas waktu di bawah satu jam.
“Tapi memang puting beliung akan [terjadi] sebentar sekali, beda dengan [tornado] di Amerika,” kata Edvin dihubungi reporter Tirto, Jumat (23/2/2024).
Edwin memandang, puting beliung di Rancaekek terjadi karena percampuran angin laut dan darat dalam kawasan menyerupai lembah. Rancaekek sendiri dikelilingi gunung dan tidak jauh dari laut di wilayah Jawa Barat.
“Siang hari kan melimpah radiasi [cahaya matahari], kalau sudah sore seperti itu biasanya daratan menjadi hangat dan dapat angin laut yang dingin. Pertemuan itu terjadi perputaran angin,” ujar Edvin.
Dia menilai, di negara tropis fenomena angin puting beliung jamak terjadi. Oleh karenanya, Edvin menyebut peristiwa serupa berpotensi terjadi lagi di Rancaekek. Lebih lanjut, peristiwa serupa juga pernah terjadi di Rancaekek pada 2017.
“Tahun 2017 pernah juga terjadi di Rancaekek dan akan terjadi lagi. Karena gunung dan laut kan tidak bisa dipindahkan,” ungkap dia.
Adapun angin puting beliung di kawasan Rancaekek sempat terjadi pada 2019. Tepatnya pada Jumat (11/1/2019) silam, angin puting beliung merusak 200 rumah di wilayah Kecamatan Rancaekek. Selain itu, tahun lalu puting beliung juga melanda daerah Baleendah Bandung dan membuat 141 rumah rusak.
Sementara itu, Peneliti Senior Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Didi Satiadi, mengatakan fenomena yang terjadi di Rancaekek merupakan kejadian cuaca ekstrem yang memperlihatkan karakteristik puting beliung yang sangat kuat. Hal ini disampaikannya melalui keterangan tertulis, Jumat (23/2/2024).
Didi menjelaskan, hasil analisis awal menunjukkan penyebab dari kejadian puting beliung di Rancaekek kemungkinan karena adanya konvergensi angin dan uap air di daratan sekitar wilayah tersebut pada sore hari. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan awan kumulonimbus yang sangat cepat dan meluas.
Proses pembentukan awan itu membebaskan panas laten yang selanjutnya meningkatkan aliran udara ke atas (updraft). Sebaliknya, updraft yang semakin kuat akan menumbuhkan lebih banyak awan.
Siklus umpan balik positif ini, menyebabkan updraft menjadi semakin kuat dan dapat berputar karena adanya perbedaan arah atau kecepatan angin (windshear). “Kolom udara yang berputar semakin kuat dapat mencapai permukaan tanah dan menghasilkan puting beliung.”
Beda Tornado dan Puting Beliung
Didi menjelaskan perbedaan antara tornado dan puting beliung. Tornado, kata dia, biasanya terjadi dalam awan badai yang terbentuk sepanjang front (batas antara dua massa udara yang berbeda) atau di dalam awan badai supersel. Sedangkan puting beliung terjadi karena proses konveksi lokal di dalam awan badai dan biasanya berkaitan dengan downburst/microburst (aliran udara ke bawah) yang kuat.
“Fenomena tornado menggambarkan suatu kolom udara yang berputar sangat cepat, mulai dari awan badai hingga mencapai permukaan tanah, dan biasanya berbentuk seperti corong,” ujar Didi.
Dari segi skala, tornado biasanya lebih besar dan lebih kuat disertai angin yang lebih kencang dan diameter lebih besar. Sementara puting beliung biasanya lebih kecil dan kecepatan angin yang lebih rendah.
“Sedangkan puting beliung kadang-kadang disebut sebagai microscale tornado karena lebih kecil daripada tornado yang terjadi di lintang menengah,” lanjut Didi.
Pendapat senada dengan Didi disampaikan oleh Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto. Dia menjelaskan, secara esensial fenomena puting beliung dan tornado memang merujuk pada fenomena alam yang memiliki beberapa kemiripan visual. Namun, istilah tornado biasa dipakai di wilayah Amerika dan intensitasnya lebih dahsyat dengan kecepatan angin hingga ratusan km/jam dengan dimensi yang sangat besar hingga puluhan kilometer.
Adapun pada peristiwa di Rancaekek-Jatinangor, BMKG mencatat angin yang mencapai 36,8 kilometer/jam. Sementara tornado, biasanya mencapai 120 kilometer/jam atau setara dengan skala F1 (enchanted Fujita).
“Sehingga kami mengimbau bagi siapapun yang berkepentingan, untuk tidak menggunakan istilah yang dapat menimbulkan kehebohan di masyarakat, cukuplah dengan menggunakan istilah yang sudah familiar di masyarakat Indonesia,” kata Guswanto dalam keterangan pers, Kamis (22/2/2024).
BMKG mewanti-wanti, cuaca ekstrem berupa hujan sedang hingga lebat yang disertai dengan kilat atau petir dan juga angin kencang pada sore hari, ditandai dengan adanya pemanasan kuat antara pukul 10.00 hingga 14.00 Wib. Biasanya juga ditandai kehadiran awan berwarna gelap dan menjulang tinggi seperti kembang kol (kumulonimbus).
Alih Lahan dan Perubahan Iklim
Profesor Riset Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Eddy Hermawan, menilai kejadian puting beliung di Rancaekek berhubungan dengan alih fungsi lahan di kawasan tersebut.
Kawasan Rancaekek semula merupakan kawasan hijau, yang ditandai dengan banyaknya pepohonan. Artinya, kata dia, awalnya lingkungannya masih relatif bersih. Namun, sekarang kawasan ini telah beralih fungsi menjadi kawasan industri. Kawasan seperti ini biasanya rawan diterjang pusaran angin.
“Awalnya pepohonan dan hutan jati menjadi kawasan beton. Makanya hati-hati, Kalimantan paru-paru dunia sudah ditebang-tebang, impact-nya berefek ke kita loh,” ujar Eddy dihubungi reporter Tirto, Jumat (23/2/2024).
Menurut Eddy, industri banyak menghasilkan gas emisi, di mana gas ini tidak dapat leluasa kembali ke atmosfer, akibat efek rumah kaca. Dengan Lama Penyinaran Matahari (LPM) lebih dari 12,1 jam, maka kawasan akan menjadi sangat panas di siang hari dan relatif dingin di malam hari.
“Namanya pabrik menghasilkan CO2 lah artinya lingkungan banyak emisi CO2, walaupun sumbangsihnya harus dikaji lebih jauh,” terang dia.
Perbedaan suhu antara malam dan siang akhirnya menjadi sangat besar. Tanpa disadari, kawasan Rancaekek tiba-tiba berubah menjadi kawasan bertekanan rendah. Kondisi seperti ini, kata Eddy, dimulai sejak 19 Februari 2024 dan di saat itulah, kumpulan massa uap air dari berbagai penjuru masuk ke Rancaekek. Proses ini terjadi agak lama, sekitar 24-48 jam.
Lebih lanjut, terjadi pembentukan bayi awan-awan kumulus (dikenal sebagai Pre-MCS). Kemudian lambat laut membesar membentuk kumpulan awan-awan kumulonimbus yang siap untuk diputar hingga membentuk pusaran besar, dikenal sebagai puting beliung.
“Kalau analisis dampak lingkungannya betul-betul dilaksanakan harusnya enggak begitu lah, ini AMDAL-nya saya lihat di atas kertas doang, ini hanya satu kasus [Rancaekek saja],” tegas Eddy.
Dia juga menjelaskan, hubungan antara fenomena puting beliung dengan perubahan iklim global. Pasalnya, banyak yang menghubungkan kejadian di Rancaekek dengan fenomena perubahan iklim.
Eddy menuturkan, memang perubahan iklim global meningkatkan kejadian ekstrem. Puting beliung, kata dia, termasuk dalam kejadian ekstrem tersebut. Namun, menurut dia, kejadian ekstrem di Rancaekek lebih disebabkan karena kondisi lokal, termasuk adanya alih lahan seperti dijelaskan sebelumnya.
“Sifatnya perubahan iklim itu global, misalnya kawasan Pantura tenggelam itu iklim, lokasinya gede dan luas. Dan datanya ada sampai ratusan tahun serta dampaknya. [Sementara] Puting beliung satu titik sesaat saja dan belum termasuk impact perubahan iklim. Tapi itu fenomena lokal,” jelas Eddy.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bidang iklim, Edvin Aldrian, membenarkan perubahan iklim pasti akan berpengaruh pada peningkatan kejadian ekstrem. Namun, bukan berarti kejadian puting beliung di Rancaekek bisa langsung disebut akibat perubahan iklim.
“Kejadian ekstrem memang akan meningkat karena perubahan iklim dan perlahan tapi pasti. Tapi ini terlalu jauh lah kalo sampai karena perubahan iklim. Karena ini pernah kejadian dan akan terjadi,” kata Edvin kepada reporter Tirto, Jumat (23/2/2024).
Menurut laporan Tim Riset Tirto, memang terjadi peningkatan kejadian puting beliung di Indonesia. Merujuk data statistik bencana yang dikeluarkan BNPB, jumlah peristiwa bencana angin puting beliung yang telah terjadi di Indonesia selama kurun waktu 2014 – 2023 mencapai 8.567 kejadian.
Kejadian puting beliung selalu melonjak sejak 2016 dan mulai mereda pada 2021. Pada 2016, jumlah peristiwa puting beliung tercatat di angka 663 kejadian, naik ketimbang 2015 yang berada di level 571 kejadian. Angka kejadian puting beliung tertinggi pada 2020 dengan 1.486 kejadian.
Sementara itu, polisi menegaskan tidak ada korban jiwa dalam kejadian puting beliung di Rancaekek. Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Jules A Abast, menyatakan dalam kasus ini data yang telah terkumpul mencatat kerusakan di Citarik dan Pamoyanan.
“Ada 88 KK yang terdampak, 27 KK rusak berat, 47 rusak ringan, dan 14 rusak sedang,” kata Jules, Kamis (22/2/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz