tirto.id - Kasus penodaan agama yang menjerat Gubernur DKI Jakarta Nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama memunculkan kembali polemik seputar pasal 156 dan 156a KUHP. Ada yang menuntut agar pasal penodaan agama dihapus secara total, tapi ada juga yang menganjurkan agar pasal ini direvisi. Alasannya, pasal ini ditengarai sebagai pasal karet yang bisa mengenai siapa saja.
Hal inilah yang disampaikan aktivis Kesatuan Aksi Keluarga Universitas Indonesia (KA KBUI). Mereka menyatakan sikap bahwa pasal ini harus segera direvisi.
Juru Bicara Kesatuan Aksi Keluarga Besar Universitas Indonesia (KA KBUI) Ikravany Hilman menilai pasal 156 dan 156a adalah pasal yang tidak sempurna dan perlu segera mungkin untuk diadakan perbaikan. "Kami tegas menolak, lagi pula akibat pasal ini telah banyak korban kriminalisasi yang sebenarnya tidak bersalah," katanya di Jalan Cikini nomor 45 Menteng Jakarta Pusat, kemarin (19/5)
Hilman mengatakan satu dari banyak kasus kriminalisasi dengan dalih pasal penodaan agama. Sepanjang 1995 hingga 2017, pihak KBUI menemukan sedikitnya ada puluhan kasus dengan dalih pasal penodaan tersebut.
“Kami mendesak pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk segera mencabut dan merevisi UU pencegahan penodaan agama dan pasal 156a KUHP atau setidaknya menetapkan moratorium atas ketentuan perundangan tersebut,” kata dia.
Martin Alea, salah satu anggota KA-KBUI berharap revisi soal pasal penodaan agama ini segera dilakukan. Namun, dia juga setuju revisi lebih realistis ketimbang penghapusan total.
“Kan Pasal 156a KUHP dua kali judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Martin. "Kenapa MK tidak mengabulkan? Salah satu poin dari MK, Pasal 156a [memang] bukan merupakan pasal yang sempurna, namun agar tidak terjadi kekosongan hukum, keberadaan dari pasal tersebut harus dipertahankan.”
Pasal 156a, lanjutnya, tidak memiliki penjelasan kualifikasi sebuah penistaan agama dan parameter yang jelas, sehingga bisa bisa subyektif. Inilah pangkal yang menyebabkan pasal ini bisa dimanfaatkan dan dipolitisir.
Revisi sendiri bisa dilakukan melalui Perppu atau produk lainnya yang lebih bisa mengakomodir dan menampung secara keseluruhan. "Kalau ada Perppu, setidaknya ada norma baru bagaimana melihat, memandang sesuatu dilihat sebagai penistaan agama,” jelasnya. Perppu bisa menjadi jalan tengah.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga mengusulkan revisi, ketimbang dihapuskan. “Bahwa rumusan Pasal 156 serta 156a perlu disempurnakan agar lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum serta mempertimbangkan perkembangan zaman, saya sepenuhnya sependapat," demikian pendapat Yusril dalam rilis yang diterima Tirto.
"Namun menghapuskan begitu saja aturan-aturan tersebut tanpa ada penggantinya yang lebih baik, adalah suatu kecerobohan. Dalam suasana kevakuman hukum seperti itu, bukan mustahil perbuatan penodaan dan penistaan terhadap agama akan merajajela dan negara tidak bisa berbuat apa-apa untuk menindaknya,” lanjutnya.
Menurut Yusril, MK pernah melakukan judicial review atau uji materi kembali terkait pasal penodaan dan penistaan agama, pasal 156 dan 156a KUHP, namun MK justru menguatkan keberadaan pasal tersebut dan permohonan penghapusan pasal tersebut ditolak MK melalui keputusan Nomor 140/PUU-VII/2009.
Menurut MK, pasal-pasal penodaan dan penistaan agama dalam UU NO 1/PNPS/1965 sejalan dengan UUD 45 yang menjunjung tinggi keberadaan agama. Karena itu, setiap bentuk penodaan dan penistaan terhadap agama wajib diberi sangsi pidana. Saya sepenuhnya sependapat dengan MK.
“Karena agama-agama itu dipeluk, diyakini dan diamalkan oleh pemeluk-pemeluknya, dan kita menyadari adanya perbedaan ajaran agama-agama itu, maka tugas negara adalah melindungi agama-agama itu termasuk dari setiap bentuk penodaan dan penistaan. Bentuk perlindungan dari sudut hukum antara lain adalah memberikan ancaman sanksi pidana bagi barang siapa yang melakukannya,” tambahnya.
Pendapat Yusril ini diamini oleh eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva. Menurutnya, penanganan kasus penodaan agama memerlukan landasan hukum.
"Kalau keyakinan agama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini diyakini oleh setiap agama ini, agama apa pun kemudian dicederai, dihina, tentu bisa marah. Bila pasal ini dihapus, lalu pakai apa?" ucapnya saat ditemui di gedung KPK, Rabu lalu (17/5).
Jika pasal ini dihapuskan dikhawatirkan malah akan memunculkan main hukum sendiri. "Kalau tidak ada koridor hukumnya, nanti orang pakai jalanan, nah ini lebih berbahaya," tutur Hamdan.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan & Maulida Sri Handayani