Menuju konten utama

Potensi Ancaman Hukuman Mati di Kasus Korupsi APD Kemenkes

Kasus korupsi pengadaan APD bisa dijatuhkan hukuman mati karena dilakukan dalam situasi bencana atau pandemi COVID-19.

Potensi Ancaman Hukuman Mati di Kasus Korupsi APD Kemenkes
Petugas medis dari tim Satgas COVID-19 Kabupaten Simeulue yang membawa dua pasien terkonfirmasi positif menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap saat tiba di RSU Zainal Abidin, Banda Aceh, Aceh, Rabu (13/5/2020). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/aww.

tirto.id - Kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) COVID-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masuk tahap penyidikan. Penyidik KPK juga telah menetapkan tersangka pada perkara yang terjadi periode 2020-2022.

Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri, mengatakan nilai proyek pengadaan APD mencapai Rp3,03 triliun. Anggaran tersebut seharusnya digunakan untuk pengadaan lima juta set APD. Namun para tersangka melakukan penyalahgunaan wewenang yang berdampak pada perekonomian negara.

“Jadi untuk sementara kerugian keuangan negara sampai saat ini ratusan miliar untuk tahun 2020,” kata Ali di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (11/10/2023).

Ali mengatakan, pasal sangkaan pada para tersangka masih disesuaikan dengan bukti perbuatan melawan hukum yang ditemukan. Sebab, sejumlah saksi masih akan dilakukan pemeriksaan untuk memperkuat bukti perbuatan pidana.

“Tentu kami menyayangkan gelontoran dana yang begitu besar itu untuk perlindungan kesehatan warga negara dalam angka COVID-19 pandemi itu disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk praktik korupsi seperti ini,” ucap Ali.

Ali tidak merinci sejak kapan kasus tersebut naik ke tahap penyidikan. Ia hanya memastikan, tidak hanya tersangka dari pihak Kementerian Kesehatan, tetapi pihak swasta akan diminta keterangannya.

Wabah virus COVID-19 diketahui mulai terjadi pada akhir 2019 dan ditetapkan sebagai pandemi pada Maret 2020. Saat itu, Menteri Kesehatan RI masih dijabat Terawan Agus Putranto. Namun, pada 22 Desember 2020, Presiden Joko Widodo mengganti Terawan dengan Budi Gunadi Sadikin karena dianggap kinerja kurang baik dalam menangani pandemi COVID-19.

Ali belum mau menyebutkan siapa yang paling bertanggungjawab dalam pengadaan APD senilai Rp3,03 triliun itu. KPK memastikan seluruh pihak yang diduga mengetahui perbuatan korupsi di periode tersebut akan dipanggil untuk dimintai keterangan.

“Yang jelas itu tahun anggaran 2020-2022, sehingga siapa nanti pejabat yang juga menjabat saat itu teman-teman bisa cek,” ungkap Ali.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan dugaan korupsi pengadaan APD di Kemenkes tidak terjadi di era kepemimpinan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin.

"Pertama, sepemahaman kami, ini [dugaan korupsi] terjadi bukan di era Pak BGS sebagai Menkes," kata Siti Nadia Tarmizi dalam keterangannya, Jumat (10/11/2023).

Di satu sisi, ia menyebutkan, Kemenkes tetap mengikuti proses penyidikan yang dilakukan KPK. "Tentunya Kemenkes mengikuti prosesnya sesuai dengan aturan yang berlaku, kita tunggu dari KPK ya," tutur Nadia.

Ancaman Hukuman Mati

Ali Fikri menyampaikan, pengembangan kasus dugaan korupsi pengadaan APD masih dalam proses penyidikan KPK. Adapun para tersangka terancam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Tipikor.

“Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor,” kata Ali Fikri saat dikonfirmasi oleh Tirto, Selasa (14/11/2023).

Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang (UU) Tipikor menyebut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.”

Dalam Pasal 2 ayat (2) bahkan menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.”

Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menegaskan bahwa kasus korupsi pengadaan APD bisa dijatuhkan hukuman mati. Hal ini karena dilakukan dalam situasi bencana atau pandemi COVID-19.

“Korupsi dalam situasi bencana, maka ancaman hukumannya mati,” kata Bonyamin kepada Tirto, Selasa (14/11/2023).

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, mengatakan sesuai dengan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, maka dalam keadaan tertentu koruptor dapat dijatuhi hukuman mati. Keadaan tertentu dimaksud adalah bencana alam nasional termasuk COVID-19.

“Dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman mati,” ujar Ficar kepada Tirto, Selasa (14/11/2023).

Wacana hukuman mati bagi koruptor selalu jadi buah bibir dan disampaikan berulang-ulang. Tercatat, Presiden Joko Widodo dan KPK ikut menyokong wacana hukuman mati bagi koruptor.

Pada 2019, Jokowi menyatakan hukuman mati bisa diterapkan, misalnya, untuk kasus bencana alam. Koruptor yang mengkorupsi dana bencana bisa dipidana mati.

Ketua KPK, Firli Bahuri, saat itu juga menegaskan hukuman mati bagi koruptor dana penanganan Corona karena “salus populi suprema lex esto, keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi.”

“Maka bagi yang melakukan korupsi dalam suasana bencana tidak ada pilihan lain, kami menegakkan hukum yaitu tuntutan ya pidana mati,” ujar Firli beberapa waktu lalu.

Mereka yang Lolos Hukuman Mati

Namun, ancaman hukuman mati diberikan oleh koruptor berbanding terbalik dengan hasil vonis di pengadilan. Menilik kembali kasus Juliari Batubara, KPK menetapkan eks mensos ini sebagai tersangka korupsi dana bantuan sosial bagi masyarakat terdampak pandemi Corona.

Modus korupsinya dengan menyunat anggaran bantuan sembako yang jumlahnya berjuta-juta paket. Juliari diduga menerima Rp17 miliar dari hasil pengurangan Rp10 ribu pada setiap paket bansos bernilai Rp300 ribu.

Kasus Edhy Prabowo berkaitan kebijakan ekspor benur lobster yang dilarang oleh Susi Pujiastuti, menteri KKP sebelumnya. Untuk mendapat izin, eksportir diduga memberi upeti kepada Edhy miliaran rupiah. KPK membeberkan bukti barang mewah dari hasil pembelian Edhy dengan uang haram. Total nilai suap Rp2,146 miliar.

Baik kasus Juliari maupun Edhy sama-sama terjadi kala Indonesia dilanda bencana wabah virus SARS-CoV-2. Korupsi dana bencana dan saat bencana oleh keduanya membuka peluang penerapan pidana mati. Namun keduanya lolos dari hukuman mati tersebut.

Dari dua kasus di atas, Abdul Ficar Hadjar mendesak kepada KPK untuk mulai berani menerapkan tuntutan mati kepada tersangka dugaan korupsi kasus pengadaan APD di Kemenkes. Ini perlu dilakukan untuk memberi efek jera kepada para pelaku lainnya

“Demikian juga para hakim harus berani menegakkannya. Jika tidak, maka membersihkan korupsi dari bumi Indonesia hanya akan menjadi sebuah mimpi indah saja," ucap Ficar.

Ficar menuturkan, secara normatif memang ada dasar hukumnya, bahwa pada praktik hukuman mati belum diterapkan itu tergantung pada beberapa hal. Pertama pembuktian di pengadilan, aparatur penegak hukumnya yang belum konsisten menerapkan aturan, serta adanya anggapan bahwa kerugian negara belum sebanding dengan hukuman mati.

“Karena masih mungkin dapat diganti/dikembalikan dari harta atau hasil korupsi terpidana. Karena itu aturan itu menjadi mandul. Seharusnya untuk efek jera KPK mulai menerapkan tuntutan mati pada tipikor pada masa tertentu,” kata dia.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz