Menuju konten utama

Merunut Kasus Dugaan Gratifikasi Wamenkumham Eddy Hiariej

Kasus Eddy Hiariej ini berawal dari laporan Koordinator IPW, Sugeng Teguh Santoso pada 14 Maret 2023 soal dugaan gratifikasi.

Merunut Kasus Dugaan Gratifikasi Wamenkumham Eddy Hiariej
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Syarief Hiariej saat menjadi saksi ahli dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp/aa.

tirto.id - KPK resmi menetapkan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sebagai tersangka korupsi. Pria kelahiran 10 April 1973 tersebut diduga menerima gratifikasi dari seorang pengusaha.

“Penetapan tersangka wamenkumham benar, itu sudah kami tanda tangani sekitar dua minggu yang lalu dengan empat orang tersangka. Dari pihak penerima tiga orang, pemberi satu,” kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (9/11/2023).

Akan tetapi, Alex tidak merinci siapa saja tersangka selain Eddy. Ia juga tidak menjawab besaran suap maupun struktur kasus yang menyeret nama guru besar Fakultas Hukum UGM Yogyakarta tersebut.

Kasus Eddy ini berawal dari laporan Koordinator Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso. Sugeng melaporkan Eddy pada 14 Maret 2023, lantaran menerima uang yang diduga gratifikasi sebesar Rp7 miliar.

Dalam pelaporan itu, Eddy disebut menerima dugaan gratifikasi dari pengusaha bernama Helmut Hermawan. Sang pengusaha sebelumnya meminta konsultasi hukum kepada Eddy. Saat itu ia tengah bersengketa dengan pengusaha Zainal Abidinsyah selaku pemilik PT Aserra Capital tentang kepemilikan saham perusahaan tambang nikel PT Citra Lampia Mandiri (CLM).

Sebagai catatan, kedua pihak mengajukan sengketa perdata dengan nomor perkara 420/Pdt/G/2020/PN Jkt.Sel. Dalam permohonan, permasalahan terjadi karena PT Asia Pasific Mining Resources memegang 85 persen saham PT Citra Lampia Mandiri, sebuah perusahaan tambang berlokasi di Malili, Sulawesi Selatan dengan total area tambang seluas 10 ribu hektar, padahal 7.340 hektar izin telah kadaluwarsa. Pihak perusahaan diklaim sudah melakukan eksplorasi kecil dengan pertimbangan daerah potensial untuk eksplorasi nikel. Kedua pihak akhirnya bekerja sama karena CLM menjanjikan kemampuan produksi hingga 100 ribu WMT per bulan dengan kualitas bagus.

Penggugat, yakni PT Aserra Capital, menilai perusahaan merugi hingga 2 juta dolar AS dan kerugian memberikan modal kerja hingga Rp20 miliar karena upaya bujuk rayu dari pihak CLM.

Putusan juga memuat bahwa Helmut dkk telah ditetapkan sebagai tersangka hingga Zainal lewat PT Aserra menyerahkan dana sebesar 2 juta dolar AS dan menandatangani perjanjian jual beli bersyarat. Padahal, secara situasi, izin tambang yang dimiliki hanya 2.660 hektar dengan status CLM tengah bersengketa dari 2017 dengan Isrullah Achmad, salah satu pemiliki saham CLM yang notabene tengah diblokir.

Majelis lantas mengabulkan permohonan Zainal dengan menghukum para tergugat, yakni Helmut, PT CLM, dan beberapa pihak selaku tergugat tengah melakukan perbuatan melawan hukum. Asia Pasific Mining Resources bersama PT CLM wajib mengembalikan uang deposit 2 juta dolar AS kepada Zainal dan menghukum pembayaran bunga dari kewajiban 2 juta dolar AS.

Para tergugat juga diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp41.710.809.468. Tidak terima dengan putusan tersebut, Assera Capital mengajukan peninjauan kembali, tetapi ditolak Mahkamah Agung dalam perkara nomor 190 PK/PDT/2023.

Eddy, berdasarkan penuturan Sugeng, menerima uang dari Helmut via kuasa hukum bernama Yoshi Andika Mulyadi secara bertahap dari asisten Eddy bernama Yogi Arie Rukmana. Setidaknya ada 4 bukti pengiriman dana via transfer. Sugeng juga melampirkan bukti pesan singkat dari dua asisten pribadi Eddy selaku penerima uang.

KPK sendiri sudah melakukan penyelidikan dan telah memanggil Eddy pada Maret 2023. Dalam pernyataan kepada media saat itu, Eddy mengaku tidak ingin menanggapi serius.

“Kalau sesuatu yang tidak benar, kenapa saya harus tanggapi serius? Tetapi supaya ini tidak gaduh, tidak digoreng sana sini, saya harus klarifikasi,” kata Eddy di Gedung KPK pada 20 Maret 2023.

Usai memeriksa Eddy, baru pada Oktober 2023, KPK melakukan gelar perkara. Kemudian, dari gelar perkara tersebut, ditemukan bukti kuat untuk dinaikkan ke tahap penyidikan.

Menurut Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri, pihaknya akan mengumumkan tersangka apabila semua proses penyidikan sudah dilakukan. Sejauh ini, penyidik masih akan mengumpulkan bukti-bukti.

“Sama dengan perkara-perkara lainnya, kami akan mengumumkan nama-nama tersangkanya ketika ada proses penyidikan itu cukup,” kata Ali.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur, menambahkan bahwa pasal berkaitan perkara Eddy tidak hanya isu gratifikasi, tetapi juga ada pasal suap. Ia tidak memungkiri ada pasal lain yang akan diterapkan setelah hasil pendalaman bukti, termasuk pendalaman atas laporan hasil analisis dari PPATK.

Double, di-double, ada pasal suapnya, ada pasal gratifikasinya,” kata Asep Guntur di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (6/11/2023) malam.

Hingga saat ini, setelah penetapan status tersangka, Eddy Hiariej belum merespons. Koordinator Humas Setjen Kemenkumham, Tubagus Erif Faturahman, mengatakan Eddy masih bekerja di Kalimantan Timur.

“Masih di Kalimantan hari ini juga,” ucap Erif, Jumat (10/11/2023).

Eddy, kata Erif, juga belum menerima surat penyidikan dari KPK atas perkara tersebut. “Berdasarkan informasi dari Pak Wamen demikian. Beliau belum pernah diperiksa dalam penyidikan ini, jadi beliau tidak tahu,” ujar Erif.

Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, proses penegakan hukum terhadap Eddy menandakan KPK tidak pandang bulu.

“Meskipun masih banyak kritik terhadap KPK, tapi dia sudah membuktikanlah tidak pilih menteri, wamen, kepala daerah atau semuanya itu, memang harus begitu,” kata Mahfud di Jakarta, Jumat (10/11/2023).

KPK Didesak Tahan Eddy Hiariej

Kongres Pemuda Indonesia (KPI) mengapresiasi aksi KPK menetapkan Eddy sebagai tersangka gratifikasi dan suap. Akan tetapi, mereka menyayangkan sikap Eddy yang enggan mengakui dugaan korupsi tersebut. Karena itu, KPI mendesak agar Eddy dicopot dari jabatannya.

“KPI menilai wamenkumham layak dicopot dari jabatannya karena tersandung kasus dugaan gratifikasi dan suap untuk menjaga citra dan martabat lembaga Kementerian Hukum dan Ham RI,” kata Presiden Kongres Pemuda Indonesia, Pitra Roomadoni, dalam keterangan tertulis, Jumat (10/11/2023).

Pitra meminta Jokowi segera memberhentikan Eddy karena tidak sesuai lagi dengan semangat pemberantasan korupsi, baik gratifikasi maupun suap di tubuh pemerintah.

“Apabila presiden tidak mengambil keputusan atas penetapan TSK tersebut terhadap salah satu pejabat tingginya, tentunya hal tersebut menjadi aib bagi pemerintah dan sangat melukai serta menciderai hati masyarakat,” kata Pitra.

Pitra yang juga bagian tim kuasa hukum IPW mempertanyakan sikap KPK dalam proses hukum lanjutan terhadap Eddy, yakni proses penahanan. Mereka menilai penahanan perlu dilakukan sebagai bentuk transparansi penegakan hukum dan tanggung jawab kepada masyarakat.

Sementara itu, pegiat antikorupsi yang juga mantan pegawai KPK, Yudi Purnomo, mendesak agar KPK segera bergerak cepat dengan memproses hukum Eddy. Ia beralasan, para tersangka, termasuk Eddy sudah mendapat surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) dan mengetahui status hukum mereka.

“Para tersangka harus segera dipanggil dan ditahan agar kasus cepat tuntas, termasuk juga aliran uang dari suap dan gratifikasi ke mana saja, digunakan untuk apa dan siapa saja yang menerima. Segera lakukan pemblokiran hingga penyitaan termasuk juga penggeledahan tempat-tempat yang diduga disembunyikan barang bukti,” kata Yudi dalam keterangan tertulis, Jumat (10/11/2023).

Yudi meyakini pengungkapan kasus Eddy tidak sulit karena IPW sudah melaporkan penerimaan masih dalam angka miliaran. Kemudian, berdasarkan pengalaman sebagai penyidik KPK, ia menilai perkara bisa segera diselesaikan.

Ia juga menilai, tidak menutup kemungkinan perkara Eddy tidak hanya masalah gratifikasi. Ia mengakui bahwa penyelidik menerima laporan dari IPW bahwa kasus ini mengara pada indikasi gratifikasi. Akan tetapi, bisa saja ada dugaan tindak pidana lain seperti penyuapan.

“Jadi berkembang dari pasal gratifikasi yang dilaporkan, kemudian ternyata bukan gratifikasi, tapi juga ada suap-menyuap,” kata Yudi.

Yudi juga mengingatkan penanganan perkara Eddy terkesan lama karena ada perubahan metode pengumuman perkara KPK. Di era Firli, kata dia, KPK akan mengumumkan semua perkara setelah proses hukum dilakukan hingga upaya penahanan. Oleh karena itu, Yudi mendorong agar KPK segera memanggil Eddy dan menahan tersangka.

Baca juga artikel terkait KASUS EDDY HIARIEJ atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz