tirto.id - Pengadilan di Indonesia sejak 2003 menerapkan vonis seumur hidup bagi koruptor. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memberi jalan pelaksanaan hukuman seumur hidup. UU ini lahir pada 1999 dan mengalami revisi dua tahun setelahnya, menandai perubahan rezim Orde Baru ke Reformasi. Korupsi jadi musuh bersama. Vonis mati pun masuk dalam UU. Namun seluruh lembaga hukum Indonesia belum pernah menerapkan hukuman mati bagi koruptor sebagai pidana maksimal selain penjara seumur hidup.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej menghidupkan kembali wacana penerapan hukuman mati bagi koruptor. Menurut dia, koruptor laik dituntut dengan pidana mati karena mengkorupsi dana bantuan sosial pandemi COVID-19 dan terjadi dalam situasi bencana. Kedua koruptor yang dimaksud adalah Juliari Peter Batubara, bekas Menteri Sosial dan Edhy Prabowo, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Bagi saya mereka [Eddy dan Juliari] laik dituntut dengan ketentuan Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mana pemberatannya sampai pidana mati," kata Eddy Hiariej dalam sebuah diskusi, Selasa (16/2/2021).
"Dua hal memberatkan ini sudah lebih dari cukup,” lanjutnya.
Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor menjelaskan hukuman maksimal koruptor penjara seumur hidup. Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor menambahkan klausul hukuman mati dapat dijatuhkan apabila korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.
Dijelaskan dalam UU sama, maksud keadaan tertentu adalah “keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan pengulangan tindak pidana korupsi”.
Wacana hukuman mati bagi koruptor selalu jadi buah bibir dan disampaikan berulang-ulang. Tercatat, Presiden Joko Widodo dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ikut menyokong wacana hukuman mati bagi koruptor. Pada 2019, Jokowi menyatakan hukuman mati bisa diterapkan, misalnya, untuk kasus bencana alam. Koruptor yang mengkorupsi dana bencana bisa dipidana mati. Ketua KPK Firli Bahuri pada April tahun lalu menegaskan hukuman mati bagi koruptor dana penanganan Corona karena “salus populi suprema lex esto, keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi”.
"Maka bagi yang melakukan korupsi dalam suasana bencana tidak ada pilihan lain, kami menegakkan hukum yaitu tuntutan ya pidana mati," ujar Firli.
Fakta Hukum Berbeda
Bagai air dan minyak, antara pernyataan Presiden, Ketua KPK dan Wamenkumham bertolak belakang dengan fakta hukum. Kasus Juliari dan Edhy, menurut juru bicara KPK Ali Fikri maksimal pidana penjara seumur hidup. Penerapan Pasal 2 Ayat 2 belum bisa diwujudkan. Untuk menerapkannya, seluruh unsur pasal harus terpenuhi, demikian kata Ali.
"Saat ini pasal yang diterapkan terkait dengan dugaan suap yang ancaman hukuman maksimalnya sebagaimana ketentuan UU Tipikor adalah pidana penjara seumur hidup," ungkap Ali.
Menilik kembali kasus Juliari Batubara, KPK menetapkan politikus PDIP ini sebagai tersangka korupsi dana bantuan sosial bagi masyarakat terdampak pandemi Corona. Modus korupsinya dengan menyunat anggaran bantuan sembako yang jumlahnya berjuta-juta paket. Juliari diduga menerima Rp17 miliar dari hasil pengurangan Rp10 ribu pada setiap paket bansos bernilai Rp300 ribu.
Kasus Edhy Prabowo berkaitan kebijakan ekspor benur lobster yang dilarang oleh Susi Pujiastuti, menteri KKP sebelumnya. Untuk mendapat izin, eksportir diduga memberi upeti kepada Edhy miliaran rupiah. KPK membeberkan bukti barang mewah dari hasil pembelian Edhy dengan uang haram. Total nilai suap Rp2,146 miliar.
Baik kasus Juliari maupun Edhy sama-sama terjadi kala Indonesia dilanda bencana wabah virus SARS-CoV-2. Korupsi dana bencana dan saat bencana oleh keduanya membuka peluang penerapan pidana mati sebagaimana diungkap oleh Eddy Hiariej.
Penolakan
Penerapan pidana mati bagi aktivis antikorupsi dan pemerhati hak asasi manusia tak tepat. Indonesia Corruption Watch menilai hukuman mati melanggar HAM dan tak terbukti menurunkan kejahatan, misalnya dalam kasus narkotika. Sudah banyak narapidana narkotika dihukum mati di Indonesia, namun terus terjadi peredaran narkoba. Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, efek jera bisa bermula dari pemiskinan koruptor. Penerapannya berbarengan dengan hukuman seumur hidup, kata Kurnia kepada Antara.
Penolakan hukuman mati juga datang dari Agus Rahardjo, eks Ketua KPK periode 2015-2019. Baginya, kematian di tangan Tuhan, bukan manusia. Pilihan terbaik bagi koruptor masih tetap hukuman seumur hidup dan penerapan pasal tindak pidana pencucian uang.
"Saya termasuk yang berprinsip, hidup itu yang berhak mengambil, ya, yang memberi hidup. Oleh karena itu, hukuman maksimal yang lain pantas digunakan, yaitu hukuman seumur hidup dan diberlakukan TPPU kepada yang bersangkutan," ucap Agus, Rabu (17/2/2021), melansir Antara.
Editor: Rio Apinino