Menuju konten utama

Jangan Beri Hukuman Mati untuk Mensos Juliari

Hukuman mati sama sekali tidak memiliki dampak positif pada pemberantasan korupsi di suatu negara.

Jangan Beri Hukuman Mati untuk Mensos Juliari
Penyidik KPK menunjukan barang bukti uang tunai saat konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) tindak pidana korupsi pada program bantuan sosial di Kementerian Sosial untuk penanganan COVID-19 di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari. Dalam operasi tangkap tangan itu KPK menetapkan lima tersangka yakni Menteri Sosial Juliari P Batubara, pejabat pembuat komitmen di Kemensos Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono dan pihak swasta Ardian IM dan Harry Sidabuke serta mengamankan uang dengan jumlah Rp14,5 miliar. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait bantuan sosial (bansos) sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 di Jabodetabek. Politikus dari PDIP itu diduga menerima duit suap senilai Rp17 miliar.

Perkara ini dimulai ketika Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) bansos. Rekanan ditunjuk langsung. Pengadaannya sendiri nilainya tak main-main, sekitar Rp5,9 triliun, dengan total kontrak sebanyak 272 dan dilaksanakan dua periode.

Dari sana diduga mengalir fee sebesar Rp10 ribu per paket yang satu paketnya senilai Rp300 ribu.

Juliari mengabaikan peringatan KPK, ketika program untuk membantu orang-orang yang kesusahan ini baru digulirkan. Pada 29 April lalu, saat pandemi baru berusia dua bulan, Ketua KPK Firli Bahuri bahkan memamerkan sikap tegasnya dengan mengancam pidana mati pihak-pihak yang korupsi duit terkait penanganan pandemi.

"Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, maka yang korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum yaitu tuntutannya pidana mati," kata Firli dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI.

Sebenarnya apa yang dikatakan Firli tercantum dalam UU Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 ayat 1 menyebut: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar."

Sedangkan pasal 2 ayat 2 tertulis : "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Dalam penjelasan mengenai pasal 2 ayat (2), yang dimaksud "keadaan tertentu" adalah apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu terjadi bencana alam nasional; sebagai pengulangan tindak pidana korupsi; atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Perbincangan soal hukuman mati pun mendadak ramai di media sosial. Kebanyakan warganet menanti janji omongan Firli.

Bukan Solusi

Bagi Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupul, ancaman pidana mati yang dilontarkan Firli bukanlah tanda ia benar-benar serius memberantas korupsi. Menurutnya, itu tak lebih sebagai slogan. "Seolah-olah sebagai solusi atas permasalahan korupsi di pemerintahan," ujar Erasmus dalam keterangan tertulis kepada reporter Tirto, Minggu (6/12/2020).

Dalam konteks yang lebih luas, Erasmus bilang hukuman mati hanyalah narasi populis yang digunakan banyak pihak untuk menunjukkan keseriusan dalam menegakkan hukum.

Namun, bukan berarti ia dan ICJR setuju hukuman mati. Mereka bahkan sebaliknya.

Menurutnya tidak ada satu pun kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana mati bagi para pelakunya. "Begitu pula dengan kebijakan pemberantasan korupsi," katanya.

Merujuk pada data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019, negara-negara yang dianggap paling berhasil menekan angka korupsi nyatanya tidak sama sekali memberlakukan pidana mati. Tiga di antaranya Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia.

"Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah, termasuk Indonesia (peringkat 85), Cina (80), dan Iran (146)," jelas Erasmus.

Menurutnya narasi pidana mati bagi koruptor menandakan penegak hukum masih berpikir pendek atas penanganan korupsi.

Contoh lain betapa tak efektifnya hukuman mati adalah kasus narkotika. Hukuman mati sama sekali tak terbukti menekan angka peredaran gelap narkotika sampai saat ini, katanya.

Dalam kolom opini pada April lalu, Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, mengatakan "tren vonis pidana mati di dunia tengah menurun, sebuah penanda yang baik untuk mengukur prospek penghapusan hukuman mati. Tapi tren ini justru meningkat secara signifikan di Indonesia."

Sepanjang 2019 lalu terdapat 80 kasus baru vonis mati di Indonesia, menempatkan negara ini di peringkat pertama di ASEAN. Dari jumlah itu, 60 kasus di antaranya (75 persen) adalah kasus narkotika. Meski begitu, patut dicatat eksekusi tidak pernah terjadi sejak 2016.

Atas dasar itu semua, Erasmus menegaskan "ICJR sangat menentang keras rencana untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi, terlebih pada masa pandemi ini."

Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan negara untuk memberantas korupsi, misalnya "memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan khususnya dalam penyaluran dana bansos dan kebijakan penanganan pandemi lainnya."

Baca juga artikel terkait DUGAAN KORUPSI BANSOS atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Hukum
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Rio Apinino