Menuju konten utama

Hukuman Mati Kemungkinan Masih Ada, ICJR Minta Dikaji Ulang

Menurut Mahfud saat ini setidaknya ada 27 narapidana yang siap menjalani eksekusi hukuman mati.

Hukuman Mati Kemungkinan Masih Ada, ICJR Minta Dikaji Ulang
Ilustrasi hukuman mati. FOTO/IStockphoto

tirto.id - Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo masih memungkinkan menerapkan hukuman mati. Pasalnya, saat ini setidaknya ada 27 atau 28 narapidana yang siap menjalani eksekusi hukuman mati.

"Hukuman mati itu ya 27 atau 28 orang yang sudah inkrah hukuman mati itu. Inkrah tuh dalam arti sudah kasasi, kemudian sudah PK berkali-kali juga masih ada ada seperti itu," kata Mahfud di daerah Menteng, Jakarta, Kamis (26/12/2019).

Mahfud mengatakan pemerintah tidak akan langsung mengeksekusi mati para terpidana dalam waktu dekat. Pemerintah tetap akan melihat situasi dan kondisi yang berkembang, apalagi berkaitan dengan kepentingan hukum Indonesia dan kepentingan internasional.

"Nanti kami akan melihat situasi karena persoalan hukuman mati masih kontroversial. Harus dilakukan secara sangat-sangat selektif, sangat selektif," kata Mahfud.

"Itu sangat-sangat selektif gitu, tapi hukuman mati di Indonesia masih berlaku secara sah berdasarkan konstitusi," imbuh Mahfud.

Ujaran Mahfud direspon oleh Institute Criminal and Justice Reform (ICJR). Direktur ICJR Anggara Suwahju menduga pemerintah tidak akan menerapkan eksekusi mati dalam 5 tahun mendatang. Ia beralasan, negara tidak ingin mengganggu iklim investasi lewat hukuman mati.

Namun, Anggara memastikan kalau jumlah narapidana dihukum mati masih banyak. Bahkan, seingat Anggara, pemerintahan Jokowi sudah menggelar eksekusi mati sebanyak dua kali.

"Kita enggak tahu periode kedua berapa kali presiden eksekusi atau presiden memutuskan tidak melakukan eksekusi mati dengan pertimbangan investasi dan ekonomi karena di periode kedua kemarin kan bukan dari negara kuat," kata Anggara kepada reporter Tirto, Kamis (26/12/2019).

Selain itu, Anggara melihat penerapan hukuman mati bernuansa politis dalam setiap pemerintahan. Ia mengatakan, penerapan hukuman mati Indonesia lebih sering digunakan untuk pencitraan oleh pemerintahan yang sedang berkuasa.

"Itu lebih sering dimainkan, lebih sering dimainkan untuk kepentingan politik baik hukuman mati atau pun eksekusi matinya untuk menunjukkan bahwa pemerintah itu tidak lemah, bahwa pemerintah itu bertanggung jawab atas segala kejahatan yang terjadi karena itu untuk menunjukkan hal itu semua salah satu sarana yang digunakan eksekusi mati," jelas Anggara.

ICJR juga mencatat jumlah vonis hukuman mati saat ini tidak hanya 27 narapidana saja, tetapi berdasarkan rilis ICJR sepanjang Oktober 2018 hingga Oktober 2019, jumlah kasus yang dituntut dan/atau diputus dengan hukuman mati adalah sebanyak 102 kasus dengan jumlah total 112 terdakwa. Dari total 102 kasus tersebut, terdapat 7 kasus yang masih menunggu vonis hakim setelah dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum.

Kemudian, terdapat 31 kasus yang tuntutan hukuman mati tidak dikabulkan oleh hakim pada seluruh tingkat pemeriksaan perkara. Sedangkan jumlah kasus yang divonis hukuman mati oleh hakim ketika jaksa penuntut umum tidak menuntut hukuman mati adalah sebanyak 24 kasus. Lalu, jumlah kasus yang vonis hukuman mati akhirnya diubah menjadi hukuman jenis lainnya

adalah sebanyak 15 kasus.

Kemudian mengenai jenis perkara yang paling banyak ditemukan dalam kasus-kasus yang dituntut dan/atau diputus dengan hukuman mati juga masih didominasi dengan perkara narkotika, yakni sebanyak 79 kasus dari total 102 kasus.

Lalu, jumlah kasus terbesar kedua yakni sebanyak 18 kasus merupakan kasus pembuhan. Sedangkan 4 kasus sisanya adalah kasus pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan kematian (3 kasus), kasus pembunuhan dan persetubuhan dengan anak (1 orang), dan kasus kekerasan terhadap anak menyebabkan mati (1 kasus).

Anggara menganggap wajar data Mahfud bisa berbeda dengan temuan ICJR. Sebab, mereka menemukan perbedaan data di antar-lembaga penegak hukum.

Menurut Anggara, pemerintah sebaiknya tidak serta-merta menerapkan hukuman mati. Ia mendorong pemerintah membentuk tim khusus untuk mengkaji ulang penerapan hukuman mati. Sebab, ada potensi hukuman mati berpotensi menyulitkan pendalaman perkara atau melihat kondisi napi. ICJR menyarankan pemerintah sebaiknya memberikan grasi daripada hukuman mati.

"ICJR selalu rekomendasi coba bikin tim khusus krn banyak orang minta grasi, tapi presiden [gak mau] dari kasus narkotika presiden enggak mau kasih. Jadi lebih baik diteliti ulang saja semua kasus-kasus terpidana mati itu," pungkas Anggara.

Baca juga artikel terkait HUKUMAN MATI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto