tirto.id - Pada 22 Oktober 2018, Iti Sartini menerima panggilan telepon dari nomor Arab Saudi. Suara di seberang sana terdengar datar, tak ada emosi yang tersirat; tapi empunya suara bilang kabarnya cukup baik untuk ukuran orang yang berada dalam penjara.
“Tidak ada firasat apa-apa, [dia] cerita sehat, enggak mengeluh sedikit pun,” kata Iti menceritakan kembali obrolan malam itu bersama sang anak, Tuti Tursilawati.
Siapa sangka, seminggu setelah pembicaraan itu, pada Senin, 29 Oktober 2018, tepat hari ini setahun lalu, Tuti menerima eksekusi mati dari pemerintah Arab Saudi. Eksekusi kepada Tuti dilakukan tanpa adanya pemberitahuan, baik kepada KBRI di Riyadh maupun KJRI Jeddah. Perempuan itu menjadi TKI kelima yang dihukum mati di Saudi tanpa notifikasi.
Pigura hitam di dinding jambon tempat foto Iti dan Tuti seolah-olah menggambarkan kepedihan perjumpaan terakhir mereka enam bulan sebelumnya. Di tanggal 4 April 2018 itulah Iti dapat bercengkerama langsung dengan Tuti selama 1,5 jam tanpa dibatasi sekat kaca. Pada dua pertemuan sebelumnya, Iti hanya bisa melihat wajah anaknya dalam hitungan menit saja.
Dalam rekam cahaya itu, ia mengenang sang anak dengan kehangatan sekaligus sendu; bersama dua daster batik, kripik singkong, dan rengginang yang khusus dibawa dari kampung halaman, Majalengka, Jawa Barat sebagai persembahan terakhir untuk Tuti.
Korban Pelecehan dan Hukum Durjana Arab Saudi
Berbekal mimpi agar hidupnya berubah lebih baik; supaya Aldo, anak semata wayangnya, mendapat pendidikan maksimal; supaya dapur tetap ngepul meski sudah bercerai dengan suami; Tuti berangkat ke Arab Saudi pada 9 September 2009. Ia pergi bersama sang ibu yang sudah lebih dulu punya pengalaman kerja di sana. Tapi keduanya ditempatkan pada majikan berbeda.
PT Arunda Bayu adalah agensi TKI yang memberangkatkan Tuti dengan nomor paspor AN 169210. Ia kemudian dipekerjakan sebagai penata laksana rumah tangga oleh jasa agensi di Arab Saudi, Adil for Recruitment, untuk keluarga pengguna Suud Malhaq Al Utaibi di Kota Thaif.
Delapan bulan bekerja di sana, gaji Tuti baru dibayarkan dua bulan saja. Bukan cuma itu nestapa yang harus ia tanggung. Sang majikan sering kali melecehkan dirinya, hingga suatu hari di tanggal 11 Mei 2010 Tuti berang karena dipaksa melakukan hubungan seksual oleh Suud.
Dalam rekaman wawancara di acara MataNajwa pada Maret 2018, Iti mengatakan sang anak yang jengkel terhadap kelakuan majikannya mendorong kursi roda pria berumur 77 tahun itu. Setelahnya Suud dirawat di rumah sakit selama tiga hari dan akhirnya meninggal.
“Tuti itu bela diri kan, Bu. [...] Apa itu namanya pembunuhan?” kata Iti dalam siaran MataNajwa, Trans 7, Rabu (28/3/2018).
Namun keterangan yang didapat dari pengadilan menyatakan bahwa Suud meregang nyawa akibat dipukul sebatang kayu oleh Tuti. Saat melihat majikannya jatuh, perempuan itu ketakutan dan langsung kabur dari rumah. Tuti juga membawa uang senilai 31.500 real Saudi dan satu buah arloji dari rumah Suud.
Poin terakhir inilah yang ikut memberatkan hukumannya karena selain pembunuhan Tuti juga didakwa kasus pencurian. Tapi jika dibayangkan menjadi Tuti yang sendirian di negeri orang, tidak digaji hampir setengah tahun, dan dilecehkan; perlawanannya jadi masuk akal. Uang yang diambil dari rumah Suud ia gunakan sebagai bekal menyelamatkan diri ke Makkah.
Tapi nahas bagi Tuti. Belum juga sampai di tanah pelarian, sekelompok pria yang ia andalkan untuk membantu perjalanan ke Makkah menambah deritanya. Tuti, masih berumur 26 kala itu, dibawa ke sebuah rumah kosong, diperkosa, dan dirampas semua barang berharganya. Kisah terakhir ini yang jarang diketahui publik, bahkan Tuti tak pernah menceritakannya kepada sang ibu.
Kesembilan orang itu hanya mendapat hukuman selama sembilan bulan. Sementara Tuti kemudian ditangkap sehari setelah tragedi pemerkosaan terhadap dirinya. Dalam pemeriksaan oleh penyidik badan investigasi kepolisan setempat pada 18 Mei 2010, dengan didampingi Konsulat Jenderal RI Jeddah, Tuti mengakui cerita versi terakhir.
Upaya Lobi Hukum
Tak ada keringanan hukuman bagi Tuti meski dalam kasusnya ia cuma membela diri dari pelecehan seksual sang majikan. Tak ada keadilan hukum baginya meski sebagai pekerja tenaganya dipakai cuma-cuma enam bulan lamanya. Hukum di Arab Saudi mengganjar pembalasan setara kecuali pihak keluarga korban memberi pengampunan kepada pelaku.
Pada 2011 kasus pembunuhan yang menyeret Tuti masuk ke penjara Kota Thaif telah inkrah. Ia harus menerima qishash (hukuman mati). Selama itu pula Tuti putus komunikasi dengan keluarga dan baru bisa dihubungi pada Oktober 2011. Setelah itu berturut-turut keluarga Tuti difasilitasi pemerintah untuk melakukan kunjungan pada 2012, 2015, dan terakhir pada 4 April 2018.
Dari rentang waktu delapan tahun, pemerintah telah mengupayakan beragam cara untuk menganulir putusan pengadilan. Dimulai dari pengiriman Surat Khusus kepada Raja Abdullah bin Abdul Azis Al Saud oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 6 Oktober 2011. SBY saat itu meminta agar hukuman mati terhadap Tuti ditinjau ulang dengan bantuan Raja atau ditunda hukuman pancungnya.
Upaya negosiasi itu berlanjut dengan dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) Penanganan WNI/TKI Terancam Hukuman Mati di Luar Negeri oleh Presiden SBY. Mantan presiden B.J. Habibie diminta menjembatani upaya lobi dengan keluarga kerajaan Arab Saudi. Habibie dipilih dengan mempertimbangkan pengaruhnya sebagai cendekiawan muslim dunia yang sangat dipandang di Arab Saudi.
Setelah Satgas terbentuk, pada akhir Desember 2011 presiden ketiga Indonesia itu terbang menemui Pangeran Al-Waleed bin Thalal. Al-Waleed adalah pengusaha dengan pengaruh besar sekaligus keponakan Raja Arab Saudi. Di Kingdom Emperium, Riyadh, kantor sang pangeran, ia menyatakan kesediaan untuk memperjuangkan pengampunan Tuti meski sejatinya berat. Kasus qishash jarang dapat pemaafan dari keluarga.
Sebenarnya ada dua cara memperoleh pemaafan. Pertama, melalui gubernur atau lembaga ishlah. Kedua, yang terakhir, melalui kepala suku. Langkah pertama dijalankan berbarengan dengan upaya lobi langkah kedua. Dengan mempertimbangkan faktor kehati-hatian, pemerintah sengaja tidak berunding langsung dengan keluarga korban dan memilih mendekati tokoh suku setempat.
Dua kali perundingan dilakukan bersama Kepala Suku al-Uttaibi, suku keluarga korban. Al-Uttaibi dikenal sebagai suku yang punya sikap keras terhadap pembunuhan. Bahkan hingga eksekusi datang di tahun 2018, mereka belum bersedia memberi maaf. Suara mereka terpecah, mayoritas menolak memberi pengampunan. Sementara peraturan kabilah mengharuskan aklamasi untuk pemaafan.
Pada 2016 langkah berkirim surat kenegaraan seperti yang dilakukan SBY diulangi Joko Widodo kepada pemimpin baru Arab Saudi, Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud. Dalam rentang waktu 2011 hingga 2018, rangkaian lobi hukum terhadap kasus Tuti sudah melewati tiga kali penunjukan pengacara, tiga kali permohonan banding, dan dua kali permohonan peninjauan kembali.
Tapi semua hasil sidang hanya menegaskan putusan sebelumnya. Segala upaya negosiasi hanya berhasil mengulur waktu eksekusi. Setiap pagi, Tuti bangun dalam bayang-bayang ketidakpastian hidup. Hingga tibalah Senin di minggu terakhir bulan Oktober 2018: ia menjalani takdir terakhirnya tanpa diketahui keluarga atau pemerintah Indonesia.
Tuti jadi korban hukum durjana Arab Saudi. Memang, sistem hukuman mati di negara monarki itu hanya mengatur empat pihak sebagai penerima notifikasi sebelum eksekusi mati, yaitu ahli waris korban, jaksa penuntut umum, kepala penjara, dan lembaga permaafan. Pemerintah Arab Saudi tidak wajib membuat notifikasi kepada pihak keluarga terpidana mati.
Ketentuan tersebut berlaku tak hanya bagi warga negara asing, tapi juga rakyat Arab Saudi. Hukum di Arab Saudi seolah-olah berdiri sendiri. Monarki Islam itu bahkan tak pernah membikin perjanjian mandatory consular notification dengan negara manapun. Kesepakatan dalam perjanjian tersebut mengikat negara-negara di dalamnya untuk memberi notifikasi ketika ada warga negara asing tersangkut kasus hukum.
Hingga saat ini Arab Saudi tetap bergeming atas kasus Tuti, meski sempat memancing kemarahan rakyat Indonesia dan mendorong pemerintah RI mengusulkan mandatory consular notification dengan negara tersebut. Ya, Arab Saudi seperti di atas angin—merasa Indonesia butuh devisa dari TKI-nya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan