tirto.id - 29 Juli tiga tahun lalu, aparat Indonesia mengeksekusi mati Humphrey Jefferson (Nigeria), Seck Osmane (Senegal), Michael Titus Igweh (Nigeria), dan Freddy Budiman (Indonesia). Mereka adalah terpidana kasus narkoba.
Setahun kemudian, Ombudsman RI menemukan malaadministrasi atas eksekusi Humphrey alias Jeff. Mereka menyebutkan eksekusi seharusnya ditunda, sebab kala itu Jeff sedang mengajukan permohonan grasi.
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, “bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.”
“Kedua, tidak diteruskannya permohonan Peninjauan Kembali (PK) kedua Humprey Ejike Jefferson ke Mahkamah Agung (MA) oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menunjukkan adanya perbedaan perlakuan (diskriminasi) di antara para terpidana mati,” tulis Ombudsman di situs mereka.
Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menjelaskan lebih detail perkara yang dialami Jeff kala itu. Ricky mengatakan Jeff adalah terpidana mati yang dijebak oleh rekannya, Kelly, seorang terpidana kasus narkoba yang telah meninggal.
“Dia [Jeff] itu punya restoran. Suatu sore saat sedang pelayanan gereja di Tangerang, dia ditelepon kasirnya. [Kasirnya bilang] rumahnya mau digeledah. Karena merasa tidak ada masalah, Jeff membolehkan. Tapi mereka tidak mau geledah kalau tidak ada Jeff. Kemudian Jeff pulang,” ujar Ricky saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (10/10/2019).
“Lalu [...] ditemukan ada heroin di bawah kasur, Jeff menolak mengakui karena dia tidak pernah tidur di situ. Dia dituduh jual-beli narkotika,” tambahnya.
Jebakan ini baru diketahui saat Kelly berada di penjara, kata Ricky. Kelly melakukan hal tersebut karena tak suka dengan Jeff.
Sayangnya PK Jeff tersebut ditolak MA. “Dengan alasan itu hanya pernyataan sepihak si Kelly,” tutur Ricky.
Menurut Ricky, ini bisa terjadi salah satunya karena stigma yang melekat di masyarakat. Tatkala sebuah kasus telah mencapai vonis mati, susah bagi hakim untuk menurunkan hukuman.
Sama Seperti Pengadilan Lain
Masalah hukuman mati di Indonesia tak hanya itu. Masalah lain terkait dengan proses hukum yang jauh dari kata baik: proses persidangan disejajarkan dengan sidang umum, padahal semestinya tidak boleh begitu.
“Di Jakarta misalnya, kalau pidana itu, kan, mulai siang sampai magrib itu baru sidang akhir. Bayangkan kalau kasus hukuman mati itu terakhir, hakim sudah bekerja sampai magrib, bisa jadi dia sudah buru-buru, hakim sudah lelah, terdakwa juga sudah lelah. Kan, sudah enggak fokus,” kata Ricky.
Hal ini diperparah dengan beban kerja hakim yang cukup tinggi, tambah Ricky.
Peneliti dari Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan sesungguhnya “negara boleh menerapkan pidana mati.” Namun, katanya kepada reporter Tirto, Kamis (10/10/2019), hukuman tersebut hanya untuk pelaku yang melakukan the most serious crime.
“Artinya, punya akibat mati yang langsung, menghasilkan dampak nyata. Misalnya kematian ratusan orang sekaligus. Syaratnya itu sangat tinggi,” ujar Maidina.
Di Indonesia, hukuman mati masih banyak menyasar terpidana kasus narkotika. Padahal menurut aturan PBB, hukuman mati tidak boleh diterapkan untuk itu.
Negara yang melaksanakan hukuman mati pun tak boleh lepas dari prinsip pengadilan yang adil, yakni: hak atas bantuan hukum di setiap tahap, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak atas penerjemah agar terdakwa memahami semua dakwaan, dan kesetaraan antara jaksa dan pengacara.
Sayangnya, aparat Indonesia tak melakukan anjuran itu dengan benar.
Terpidana Mati Tak Dapat Fasilitas
Apa yang Ricky sebut dialami Mary Jane. Dia divonis hukuman mati karena membawa heroin 2,6 kilogram di tasnya. Dia dianggap pengedar narkoba kelas internasional.
Awalnya Mary senang karena hasil pemeriksaan urinenya negatif.
“Ternyata saya salah. Jika hasil urine negatif, saya justru dianggap sebagai pengedar, yang artinya hukumannya jauh lebih berat daripada jika saya seorang pemakai,” tutur Mary seperti diberitakan Deutsche Welle.
Saat persidangan, Mary Jane kesulitan menerjemahkan pernyataan dan pertanyaan hakim. Penerjemahnya tak kompeten. Tempo menyebut penerjemah yang ditunjuk masih berstatus mahasiswa di Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yogyakarta.
“Saya tidak paham kata regret. Waktu hakim tanya itu, saya kira pertanyaannya adalah apakah saya melakukannya atau tidak. Saya langsung dengan tegas bilang ‘no’. Tidak. Ternyata sepertinya hakim mengira, saya tidak ada rasa penyesalan telah membawa heroin,” tambahnya.
Perlakuan tak adil tak hanya menimpa Mary Jane. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merilis hasil penelitian mereka terkait kondisi lapas bagi terpidana mati. Hasilnya: kondisi tak layak dan bikin sakit.
“Baik itu petugas lapas maupun para terpidana mengeluhkan minimnya pemenuhan hak atas kesehatan baik kesehatan fisik maupun kesehatan mental bagi terpidana mati,” kata peneliti KontraS, Arif Nur Fikri, Kamis (10/10/2019).
Berdasarkan catatan Kontras, anggaran perawatan kesehatan hanya Rp10 juta per tahun untuk masing-masing lapas. Dengan kata lain, mereka hanya punya anggaran Rp27.400 per hari.
Kontras juga menemukan masalah lain: narapidana mati di Lapas Narkotika Pulau Nusakambangan tak boleh membawa obat dari luar lapas, sekalipun mereka butuh penanganan khusus.
“Seorang narapidana melaporkan bahwa staf lapas menolak memberikan obat yang diperlukan untuk tekanan darahnya. Dalam kasus lain, staf lapas memberikan obat kepada seorang tahanan hanya beberapa kali sebulan, meskipun ia harus meminumnya setiap hari,” tulis laporan tersebut.
Sejumlah lapas juga tak bisa memberikan layanan konseling. Kebanyakan kasus, ketika terpidana mati meminta layanan konseling, lapas hanya mengarahkannya ke rohaniawan. Padahal kebutuhannya jelas berbeda.
Selain perkara buruknya hukum di Indonesia, hukuman mati juga sebenarnya bermasalah karena vonis ini tak pernah benar-benar memberikan efek jera yang dapat diukur.Ia juga merupakan hukuman peninggalan Kolonial Belanda untuk mengontrol masyarakat jajahan yang tak lagi kontekstual.
Atas dasar itu berbagai LSM, termasuk Institut for Criminal Justice Reform (IJCR), mengambil sikap. Sikap yang menurut mereka semestinya diterapkan pula olah pemerintah: menghapus hukuman mati dari sistem hukum Indonesia.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Rio Apinino