Menuju konten utama

"Hukuman Mati Warisan Belanda"

Pemerintah Indonesia kembali melaksanakan eksekusi terpidana mati tahap ketiga. Sebanyak 4 orang terpidana mati akan menerima peluru tepat di dada mereka masing-masing.

Pengamat hukum pidana Anggara. [tirto/andrey gromico]

tirto.id - Di Indonesia sendiri hukuman mati masih diberlakukan dan menjadi perdebatan panjang. Banyak kalangan menolak keberadaan hukuman. Salah satunya Anggara, aktivis Institut for Criminal Justice Reform. Menurut Anggara, Hukuman mati membuat hak hidup menjadi tidak dihargai. Selain itu niatan pemerintah memberikan efek jera lewat hukuman mati terbukti tidak ampuh.

Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia terkait kebijakan hukuman mati? Simak wawancara tirto.id bersama Anggara membedah hukuman mati di Indonesia.

Bagaimana pandangan tentang hukuman mati di Indonesia?

Saya dan ICJR sudah mengambil posisi menolak hukuman mati. Kenapa? Karena kita melihat hidup adalah hak. Dalam konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, hak hidup tidak boleh dikurangi oleh siapa pun. Jadi kita berpandangan menghargai hak hidup adalah bagian dari kewajiban konstitusional.

Faktanya hukum di Indonesia masih melegalkan hukuman mati. Lalu bagaimana?

Disinilah masalahnya.Pidana mati masti diberlakukan tapi orang sering kali lupa sejarah. Bagaimana hukuman mati ini bisa dikenal di Indonesia. Dulu, waktu Belanda memperkenalkan KUHP, di Belanda sendiri hukuman mati sudah hilang. Kenapa masih dipakai di Indonesia? Karena orang Indonesia dianggap keras kepada, bodoh, tidak mau diatur. Hukuman mati diperlukan untuk mengontrol masyarakat jajahan.

Hukum itu dibuat tahun 1915 dan diberlakukan tahun 1918. Konteks kesejarahan dan politik dibalik hukuman mati ini yang tidak pernah dibahas oleh pemerintah kita. Mereka masih pakai warisan Belanda. Pemerintah selalu bicara kalau hukuman ini untuk efek jera. Dalam pembahasan revisi KUHP, itu selalu yang dibahas.

Problemnya bagaimana mau bikin efek jera, selama ini tidak ada data yang valid sehingga efek jera bisa ukur. Setelah eksekusi mati dilaksanakan, harusnya kalau ada efek jera pengguna narkoba turun, ini malah meningkat. Efek jera apa yang diharapkan? Untuk kasus teroris, bukan efek jera yang didapat, mereka malah mati syuhada. Santoso malah dianggap pahlawan. Pada akhirnya tidak ada relevansi efek jera.

Dalam beberapa kasus, banyak terpidana yang belum tuntas kasusnya tapi sudah dieksekusi, bagaimana pendapat Anda?

Dalam proses peradilan pada prinsipnya negara harus benar-benar yakin tidak melakukan kesalahan. PBB mengatakan negara-negara masih boleh menerapkan hukuman mati, khusus untuk the most serious crime, yakni untuk kasus pembunuhan yang keji.

Di Indonesia kita harus bertanya, apakah proses peradilan itu bersih? Tidak ada standarnya yang berbeda. Misalnya antara maling Ayam dengan orang yang ditunut mati itu tidak ada beda prosesnya. Dalam BAP tidak ada rekaman, ada penyiksaan, ini yang dialami oleh Merry Utami dan Zainal Abidin. Pemerintah tidak punya standar tinggi untuk orang dituntut hukuman mati. Bagaimana kalau melakukan kesalahan? Sudah mati lho orangnya.

Pemerintah memiliki aturan soal ganti rugi soal itu?

Betul ada ganti rugi, tapi batasan itu hanya Rp500 juta. Kalau mau menerapkan hukuman mati itu harusnya tidak ada batasanya. Negara sudah salah kok membuat nyawa orang hilang, batasannya harus langit. Kalau mau meminta gantinya sebesar APBN, ya harus dipenuhi.

Untuk kasus orang dituntut hukuman mati apa saja standar dalam proses peradilan?

Proses peradilan harus bersih, tidak ada penyiksaan, tidak boleh ditahan dikantor polisi. Dipastikan di ruang yang aman. Perekamaan saat BAP dan didampingi pengacara yang berkualitas. Harus dipastikan keluarganya hadir, keluarga juga harus hadir melihat proses itu.

Bagaimana kondisi peradilan untuk orang yang diancam hukuman mati di Indonesia? Dalam kasus Merry Utami, korban perdagangan orang justru dihukum mati.

Kita punya banyak masalah. Salah satunya kekuasaan polisi terlalu besar. Dia bisa ngapain saja, mereka apa sarjana hukum? Kan nggak. Mereka itu jadi polisi dulu baru sekolah hukum, bukan sekolah hukum dulu baru jadi polisi. Artinya orang ini tidak belajar ilmu hukum secara memadai, tapi mereka memegang kekuasaan terlalu besar.

Kalau sedari awalnya jaksa ikut campur, mungkin bisa dibenahi, karena jaksa itu sarjana hukum dulu baru jadi jaksa. Jadi mereka bisa tahu ini korban perdagangan orang atau bukan. Dengan hukuman mati, bagaimana mau mengungkap kasus perdagangan orang ini, bagaimana mau membongkar jaringan narkotika? Orangnya sudah dikirim menghadap Tuhan.

Kasus Freddy Budiman, ketika dua kali dia di dalam lapas dan bisa mengendalikan perdagangan narkotika, orang-orang di Lapas kemana? Apakah setelah itu mereka diproses hukum? Mereka hanya dimutasi, dipidahkan.

Kita juga punya masalah pada pengacara. Selama ini terpidana mati itu tidak didampingi pengcara yang bagus. Dalam kasus narkotika, tidak banyak pengacara yang memiliki reputasi baik mau membela. Kasus narkotika ini seperti zaman orba, pengacara tidak mau membela PKI. Mereka takut, kasus itu akan membuat reputasinya jadi jelek.

Kasus di Sumatra Utara, ada anak kecil yang tuntut hukuman mati, itu pengacaranya sendiri yang minta. Ini kacau. Harusnya organisasi advokat bertindak, masak ada pengcara minta kliennya dihukum mati.

Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Filipina yang berjuang untuk menyelamatkan Marry Jane, bagaiamana pemerintah kita melindungi warganya dari hukuman mati?

Presiden tidak peduli. Seharusnya pemerintah sadar ada masalah dalam sistem hukum kita. Kita tidak presiden mencoba melindungi warganya. Jangankan menyelesaikan kasusnya sampai tuntas, bahkan grasi pun ditolak oleh Presiden. Apa alasan menolak grasi? Tidak dijelaskan, rahasia negara katanya. Ini kacau.

Kalau melihat tren, sejak eksekusi mati, makin banyak kasus yang dituntut hukuman mati. Ini kegenitan para hakim-hakim kita. Mereka bangga lho. Seolah mereka sedang melaksanakan aspirasi warga.

Apa strategi Anda untuk mendorong agar hukuman mati bisa menimalisir?

Pertarungan di parlemen. Sekarang ada 30 tindakan yang bisa dikenai hukuman mati. Kita ingin itu dikurangi. Setengahnya atau kalau bisa 2/3 harus dikurangi. KUHAP juga harus lebih akuntable, nggak gampang orang bisa didakwa hukuman mati. Harus ada syarat yang berat untuk orang yang diancam pidana mati.

Mungkinkah lembaga negara seperti Komnas HAM dan LPSK juga bergerak dalam isu ini?

Sangat mungkin bisa terlibat. Harusnya orang-orang yang terlibat dalam perdagangan orang yang menjadi korban, harus dimasukkan program perlindungan saksi dan kroban. Supaya dia mengungkap siapa yang terlibat. LPSK tidak bicara, padahal itu tupoksinya mereka.

Komnas HAM juga bisa bergerak lebih cepat. Begitu ada orang dituntut hukuman mati, harusnya langsung didampingi. Dipastikan hak-hak sipilnya terpenuhi, mendapatkan pengacara yang berkualitas. Kalau terlambat, akan susah lagi.

Apa saran Anda agar eksekusi mati tahap ketiga ini bisa dihentikan atau minimal ditunda?

Memang agak sulit, tapi menurut saya Presiden harus membuat tim independen atau menempatkan terpidana dalam program perlindungan saksi untuk mengungkap kejahatan yang lebih besar. Presiden kalau ingin dipandang lebih tegas, buat tim, dia bisa tegas terhadap kasus narkotika, sekaligus tegas dalam pembenahan hukum di Indonesia.

Baca juga artikel terkait HUKUMAN MATI atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti