Menuju konten utama

Refleksi Tentang Hukuman Mati

Eksekusi mati jilid ketiga akan segera dilaksanakan. Meski belum jelas kapan pelaksanaannya, tetapi para terpidana mati yang masuk dalam daftar eksekusi mulai dipersiapkan. Mereka semua menjadi terpidana mati dalam kasus narkoba. Meski mendapatkan proses dari banyak kalangan, tetapi pemerintah Indonesia bersikukuh menerapkan hukuman mati. Apalagi untuk terpidana akibat kasus narkoba, pemerintah tanpa ampun memberikan hukuman maksimal.

Refleksi Tentang Hukuman Mati
Aktivis yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum masyarakat menyalakan lilin pada aksi menolak hukuman mati jilid 3 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (28/7). [antara foto/muhammad adimaja/ama/16]

tirto.id - Hukuman mati di berbagai belahan dunia memang masih menuai pro dan kontra. Albert Camus dalam esai panjang Reflections on the Guillotine menentang hukuman mati. Menurutnya, hukuman ini tak memberikan keadilan, juga tak memiliki dampak apapun terhadap kejahatan. Ia hanya sebuah tindakan brutal. Hukuman mati hanya memberikan kepuasaan sesaat, tak ada efek jera dan tak menghentikan agar kejahatan serupa tak terjadi lagi. Dalam argumennya itu, Camus menyebut negara tak punya hak untuk merebut hidup orang lain.

Bagi para pendukungnya, hukuman mati dianggap sebagai hukuman paling manjur untuk memberikan keadilan dan mencegah terulangnya kejahatan serupa. Teror dan rasa takut karena kehilangan nyawa akan membuat para calon pelaku jera. Ini kemudian melahirkan kontrol dan stabilitas di masyarakat. Hukuman mati juga bisa memberikan rasa tenang dan keadilan bagi keluarga korban, mereka yang dilanggar akan mendapat rasa lega.

Ada 102 negara di dunia yang menghapus total praktik hukuman mati untuk semua jenis kejahatan sementara sisanya masih mempraktikkan hukuman mati untuk kejahatan yang dianggap sangat berat. Kejahatan seperti pembunuhan masal, peredaran narkotika, spionase, kejahatan kemanusiaan genosida, dan pembunuhan berencana masih mendapat hukuman mati di beberapa negara seperti Cili dan Brazil.

Di Indonesia eksekusi mati masih diakui sebagai alternatif hukuman mati, namun jika dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah narapidana yang mati akibat hukuman ini masih sangat rendah. Setidaknya rata-rata ekesekusi mati perkapita pertahun di Indonesia terjadi satu eksekusi per 47.520.000 warga negara. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Cina, Iran, dan atau negara tetangga Malaysia.

Lantas seberapa banyak sebenarnya kematian akibat eksekusi mati oleh negara tiap tahunnya? Pada 2014 dari pantauan Amnesty International setidaknya 1.634 orang dieksekusi di 25 negara. Angka ini naik 50% dari 2014 yaitu 1.061 eksekusi mati. Eksekusi tersebut paling banyak terjadi karena kejahatan seperti narkotika, korupsi, dan pembunuhan. Namun ada pula eksekusi mati karena tuduhan kafir (murtad), homoseksualitas, dan perkosaan.

Stalin pernah berkata kematian satu orang adalah tragedi, sementara kematian ribuan orang adalah statistik. Eksekusi yang terjadi pada 2015 merupakan angka tertinggi selama 25 tahun terakhir sejak 1989. Cina menjadi negara dengan hukuman mati tertinggi di dunia dengan 2.400 eksekusi, disusul dengan Iran 966 eksekusi, Pakistan 320 eksekusi, Arab Saudi 158 eksekusi dan Amerika Serikat 28 eksekusi. Hingga akhir 2015 ada 20.292 narapidana di seluruh dunia yang menunggu untuk dieksekusi mati termasuk Indonesia.

Di Indonesia sejak lima belas tahun terakhir telah terjadi 30 eksekusi mati. Pada 2007 satu orang, 2008 10 orang, 2013 ada lima orang dan pada 2015 ada 14 orang. Sementara saat ini ada 133 orang yang divonis hukuman mati per desember 2012. 71 di antaranya kasus narkoba, 60 orang karena pembunuhan, dan dua karena terorisme. Belakangan publik menginginkan agar hukuman mati tidak hanya diberikan kepada pelaku kejahatan terorisme atau pembunuhan, tapi juga perkosaan terhadap anak-anak.

Dalam waktu dekat pemerintah Indonesia akan mengeksekusi lima orang lagi. Mereka adalah Merry Utami, Suryanto, Agus Hadi, dan Pudjo Lestari. Semua terpidana mati ini tersangkut kasus kejahatan narkotika. Satu nama lagi, Zulfikar Ali asal Pakistan, Senin 25 Juli dijemput dari RSUD Cilacap dan dibawa ke Nusa Kambangan, dugaan sementara ia akan ikut dieksekusi mati. Sejauh ini Indonesia kebanyakan mengeksekusi mati pelaku kejahatan ini ketimbang yang lainnya. Dalam 10 tahun pemerintahan SBY dia mengeksekusi mati 24 orang. Sementara dua tahun pemerintahan Jokowi sudah 14 eksekusi mati.

Pada zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mereka yang dieksekusi mati paling banyak karena terkait kasus pembunuhan berencana yaitu 14 orang. Lalu kasus narkotika sebanyak tujuh orang dan kasus terorisme tiga orang. Sedangkan pada pemerintahan presiden Jokowi semua eksekusi mati yang dilakukan terkait kasus narkoba. Hukuman mati ini diberikan kepada bandar atau penyelundup yang tertangkap tangan membawa narkotik dalam jumlah besar.

Cara eksekusi mati terhadap narapidana beragam tergantung di negara mana ia tinggal. Mulai dari hukuman pancung seperti di Arab Saudi, sengat listrik di sebagian Amerika Serikat, gantung di Iran dan Cina, suntik mati di Amerika Serikat, dan ditembak oleh regu penembak seperti di Indonesia. Pilihan hukuman mati dengan metode suntik mati dianggap sebagai cara paling manusiawi untuk mengakhiri hidup seseorang. Karena metode lain seperti gantung dan tembak dianggap kurang manusawi, sementara hukuman pancung dan hukuman sengat listrik dianggap kejam.

Di Indonesia metode eksekusi adalah dengan menggunakan regu penembak yang akan menyasar jantung terpidana mati. Mereka yang akan dihukum mati bisa memilih untuk dieksekusi dengan berdiri atau duduk. Ini adalah kemewahan terakhir yang mereka punya. Terpidana mati ditutup matanya dengan kain atau ditutup dengan kain. Ada 12 anggota regu penembak. Tiga dengan amunisi hidup, sembilan dengan amunisi kosong. Regu penembak berjarak lima sampai 10 meter dari terpidana. Jika setelah dieksekusi masih hidup, maka akan ada satu tembakan terahir di kepala. Terpidana mati diberitahu bahwa akan dieksekusi 72 jam sebelum dieksekusi.

Membunuh manusia tidaklah murah. Negara mengeluarkan biaya Rp200 juta per orang untuk hukuman mati. Biaya itu digunakan untuk mengongkosi para eksekutor, petugas kerohanian yang membantu menenangkan para terpidana, keluarga terpidana, dan ongkos pemakaman. Pada eksekusi tahun lalu Kejaksaan Agung membutuhkan Rp1,2 miliar untuk mengeksekusi enam orang.

Lantas apakah kejahatan terkait yang dihukum mati berkurang? Pada kenyataannya tidak, kejahatan tetap ada, dan efek jera yang diharapkan tidak terjadi. Seperti Indonesia, sebagian besar dari 966 narapidana yang dihukum mati di Iran adalah pelaku kejahatan yang terkait narkotika. Tetapi kejahatan terkait ini tetap ada. Demikian juga dengan eksekusi pelaku kejahatan terorisme, setiap eksekusi melahirkan teroris baru karena menganggap pendahulunya sebagai martir.

Argumen lain yang digunakan Albert Camus untuk menolak hukuman mati adalah metode ini tak dapat dibalikkan. Jika si tersangka terbukti tidak bersalah, maka negara selaku eksekutor tidak bisa mengembalikan hidup yang hilang. Selain itu, pada negara dengan sistem peradilan yang korup dan tak bersih, setiap vonis mestilah diragukan. Bisa jadi ia adalah produk dari peradilan yang sesat dan tidak benar. Di sisi lain, beberapa negara juga pernah membunuh mereka yang memiliki gangguan kejiwaan. Padahal secara hukum mereka tak boleh dieksekusi.

Pada 2015 beberapa negara akhirnya memutuskan untuk menghapus praktik hukuman mati dalam konstitusi mereka. Madagaskar telah menghapus hukuman mati pada Januari 2015, disusul kemudian Fiji pada bulan Februari, Surininame pada bulan Maret dan pada November 2015 Congo memutuskan untuk menghapus sama sekali hukuman mati.

Bagi banyak orang hukuman mati memang tampak seperti keadilan. Terlebih jika kejahatan yang dilakukan demikian hebat, seperti perkosaan terhadap anak-anak, teroris yang membunuh banyak orang dan bandar besar narkoba. Tapi jika kemudian hukuman mati tidak mengubah apapun kecuali menambah kematian lain, untuk apa ia dilaksanakan?

Baca juga artikel terkait HUKUMAN MATI atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti