tirto.id - Tanggal 16 November 1849 di Rusia, setahun sesudah demit bernama komunisme menghantui Eropa, seorang pria diadili dan diputuskan bersalah karena makar. Hukuman mati menunggu pria itu. Setahun kemudian, pada Desember yang dingin di tahun yang sama, pria itu menunggu ajal di moncong senapan para prajurit yang akan mengeksekusinya. Dari kejauhan, seorang kurir penunggang kuda berpacu dengan waktu, sesaat sebelum pelatuk senapan dilepaskan, kurir itu menyerahkan surat pengampunan bagi tokoh kita yang satu ini, ia selamat dari kematian. Bertahun kemudian ia diingat sebagai sastrawan besar bernama Fyodor Dostoevsky.
Dostoevsky beruntung karena bisa selamat dari hukuman mati karena pengampunan. Tapi banyak orang lain yang tidak semujur itu. Hukuman mati memang mengerikan, ia mengakhiri nyawa penjahat besar, tapi tidak jarang ia juga menyelesaikan hidup orang yang tak bersalah. Pernahkah anda membayangkan apa yang diucapkan narapidana mati ini sebelum dieksekusi? Kejahatan apa yang mereka lakukan? Atau apa permintaan mereka sebelum meninggal?
Robert K Elder, menulis buku yang berjudul Last Words of the Executed. Elder adalah seorang jurnalis yang pada waktu senggangnya mencari dan mendekati para narapidana mati untuk menulis kisah hidup mereka. Sesekali ia juga melakukan riset oral dan teks untuk meneliti praktik hukuman mati di Amerika. Hasilnya sebuah buku yang mencatat kata-kata terakhir para pesakitan sebelum mereka meregang nyawa. Apa yang mereka minta dan apa yang dilakukan terpidana mati ini sebelum kemudian menjadi jasad tak bernyawa.
Elder punya alasan sentimentil mengapa ia tertarik merekam dan mencatat ucapan terakhir orang-orang yang menjelang ajal. Baginya, kata-kata terakhir tak bisa diambil kembali. Kalimat itu adalah gambaran dan rangkuman hidup seseorang, terkadang menyimpan rahasia, juga harapan yang belum selesai. Elder juga memilih para penjahat untuk memberikan kesempatan pada pembaca untuk mengetahui bagaimana sebuah sistem hukum bekerja, bagaimana mereka menjalani hari terakhirnya, dan juga simpati pada para pesakitan yang tak terampuni ini.
Salah satu kisah dalam buku Elder tersebut menceritakan tentang narapidana bernama Louis Toombs yang divonis bersalah atas pembunuhan tingkat satu pada 1902. Pada malam terakhirnya menjelang eksekusi Toombs bermain kartu dengan penjaga selnya. Di tiang gantungan Toombs berkata, “Aku akan membayar harga atas sebuah kejahatan yang keji. Aku tidak bersalah. Harapanku adalah waktu akan menghapus kehinaan yang diterima istri dan anakku yang mereka terima hari ini,” katanya.
Narapidana mati lain Jeffrey Matthews, seorang penjahat yang membunuh sepasang orang lanjut usia dan mencuri uang mereka sebesar 500 dolar, sebelum mati meminta agar diberi kesempatan menelpon gubernur negara setempat. Ia terus meminta hingga detik menjelang eksekusi mati di Oklahoma pada Januari 2011, sebelum kemudian berkata, “Kupikir telpon gubenur rusak, ia belum juga menelponku.” Ia akhirnya dihukum mati.
Tidak hanya kata-kata terakhir yang menarik untuk dicermati, tapi juga makanan terakhir para terpidana mati. Di Amerika Serikat, tradisi makanan bagi para narapidana mati ini disebut perjamuan terakhir. Pertama kali dilakukan di Texas pada 1924, tradisi ini menjadi sebuah penanda penting bagi para narapidana bahwa waktu mereka sudah dekat. Di Amerika Serikat, narapidana mati mendapatkan perjamuan terakhir ini dua hari menjelang kematian.
Beberapa narapidana mati menggunakan kesempatan perjamuan terakhir ini untuk makan masakan istimewa. Alton Coleman, yang dieksekusi di Ohio pada 2002, meminta Perjamuan Terakhir dengan menu filet mignon dengan jamur, dada ayam, salad dengan French dressing, kue ubi dengan whipped cream, kentang goreng, kacang polong, onion rings, cornbread, broccoli with melted cheese, dan cherry Coke.
Sementara Dennis Wayne Bagwell, yang dieksekusi di Texas pada 2005 meminta Medium rare steak with A1 Steak Sauce, dada ayam goreng, BBQ ribs, kentang goreng, onion rings, bacon, telur acak dengan bawang, dua hamburger, susu, kopi dan es teh manis. Namun praktik ini kemudian dihapus di Texas karena Lawrence Russell Brewer, salah satu napi yang minta jamuan terakhir, tidak memakan makanannya setelah memesan dua ayam goreng, tiga burger keju, omelet keju dengan daging dan tomat, pizza meat lover, eskrim, dan 12 jenis makanan lainnya. Karena inilah senator demokrat asal Texas Senator, John Whitmire, mengusulan perjamuan terakhir untuk dihapuskan agar menghemat anggaran.
Peter Kürten seorang pembunuh dan pemerkosa berantai, yang dijuluki Vampire dari Düsseldorf, dieksekusi dengan hukuman pancung menggunakan gulotin pada 1931. Menjelang kematiannya, ia meminta sosis Wiener schnitzel, kentang goreng dan sebotol anggur putih. Peter dalam catatan sejarah dikabarkan minta nambah dan permintaan itu dipenuhi. Menariknya selama dua dekade terakhir, banyak para narapidana ini meminta makanan cepat saji sebagai perjamuan terakhir.
Di Malayisia, Mona Fandey pembunuh yang dihukum gantung, meminta KFC sebagai makanan terakhirnya. John Wayne Gacy dan Clarence Ray Allen dua orang pembunuh di Amerika Serikat, mengharapkan KFC sebagai perjamuan terakhir mereka. Menu ini serupa dengan Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dua orang yang dieksekusi mati di Indonesia April tahun lalu. Menjelang kematian Myuran menyelesaikan sebuah lukisan bergambar bendera Indonesia yang meneteskan darah dan sebuah jantung.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti