tirto.id - Merry Utami sudah mendekam di dalam penjara selama 15 tahun. Dia ditangkap pada tahun 2001, setelah kedapatan ada 1,1 kg heroin di dalam tas tangan yang dibawanya dari Nepal ke Indonesia. Merry pun menyangkalnya. Sayangnya, Merry yang merupakan bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita tidak berdaya melawan penegak hukum. Dia divonis hukuman mati karena dianggap sebagai kurir narkoba.
Setelah bertahun-tahun mendekam di penjara, Merry Utami akhirnya akan segera menghadapi regu tembak. Namanya sempat ada dalam daftar para terpidana mati yang akan dieksekusi. Selain Merry, ada tiga belas nama lainnya yang akan juga dieksekusi, yakni Freddy Budiman (Indonesia), Humprey Ejike (Nigeria), Seck Osmane (Afrika Selatan), Zhu Xu Xhiong (China), A Yam (Indonesia), Jun Hao alias A Heng alias Vass Liem (Indonesia), Cheng Hong Xin (China), Gang Chung Yi (China), Jian Yu Xin (China), Zulfikar Ali (Pakistan), Suryanto, Agus Hadi, dan Pujo Lestari.
Merry memang akhirnya batal dieksekusi. Bersama 9 terpidana mati lainnya, Merry mendapatkan penundaan eksekusi. Hanya empat terpidana mati yang dieksekusi pada Jumat (29/7/2016) yakni Freddy Budiman, Seck Osmani, Humprey Eijeke dan, Michael Titus.
Merry mungkin sejenak bisa bernafas lega. Namun, ia tetap menghadapi hukuman mati yang sewaktu-waktu bisa dilaksanakan.
Sekilas kisah Merry itu biasa saja. Persis seperti kasus kurir narkoba yang tertangkap pada umum. Tapi itu jika hanya melihat sekilas. Orang tidak pernah bertanya bagaimana cerita utuhnya. Begini cerita utuhnya.
Merry adalah seorang TKW di Taiwan. Dia sudah bekerja dua tahun di sana setelah dipaksa oleh suaminya. Selama dua tahun di Taiwan, ibu dua anak itu selalu mengirimkan uang untuk memenuhi kebutuhan suami dan dua anaknya. Singkat cerita, Merry memutuskan untuk bercerai karena sang suami selingkuh dan menghabiskan semua tabungan selama dia berada di Taiwan.
Usai berpisah dengan suaminya, Merry pun berencana akan kembali ke Taiwan untuk bekerja. Saat dia mengurus berkas-berkas untuk kembali bekerja, dia bertemu dengan Jerry, seorang laki-laki warga negara Kanada. Kepada Merry, Jerry mengaku sebagai pengusaha yang akan membuka usaha baru di Indonesia. Setelah saling kenal, mereka pun berpacaran.
Jerry adalah seorang pria yang romantis. Dia kerap memberikan hadiah kejutan pada Merry. Jerry bahkan beberapa kali memberikan uang pada Merry dan hadiah untuk keluarganya. Jerry bahkan berjanji akan menikahi Merry.
Semua yang dilakukan Jerry itu pun akhirnya membuat Merry luluh dan cinta mati. Pada 16 Oktober 2001, Jerry mengajak Merry berlibur ke Nepal. Di tengah liburan, Jerry memutuskan untuk pulang ke Indonesia lebih dulu karena alasan urusan bisnis. Dia pun meminta Merry untuk tetap di Nepal dan menemui dua teman Jerry, Muhammad dan Badru. Muhammad memberikan titipan hadian dari Jerry untuk Merry berupa tas tangan kulit cantik.
Setelah menerima itu, Merry kemudian pulang ke Indonesia. Sampai di bandara dia langsung keluar mencari taksi. Belum sempat mendapat taksi, dia teringat kopernya masih berada di dalam bandara. Dia pun kembali lagi ke bandara untuk mengambil kopernya. Saat masuk ke bandara lagi, Marry diperiksa oleh petugas. Saat itulah tas tangan yang dibawanya diperiksa petugas dan didapati ada heroin di dalamnya.
Setelah ditahan dan menjalani persidangan, hakim memberikan vonis hukuman mati. Marry didakwa sebagai kurir sindikat perdagangan narkoba internasional dengan Undang-undang nomer 35 tahun 2009 tentang Narkotika karena terbukti membawa heroin.
Sekilas logika menjatuhi hukuman mati pada Merry itu benar. Tapi ada satu yang terlewat, yakni Merry juga menjadi korban penipuan dan perdagangan orang. Merry dimanfaatkan oleh sindikat perdagangan narkotika internasional sebagai kurir tanpa disadarinya.
Modus Romantis Jaringan Narkotika Internasional
Kasus seperti itu bukan saja terjadi pada Merry. Tuti Herawati juga mengalami hal yang serupa. Di tengah sulitnya mencari kerja, Tuti bertemu dengan seorang warga kenegaraan Nigeria. Tuti yang belum memiliki pasangan hidup terbuai rayuan romantis pria asing itu. Tuti pun klepek-klepek dan mau menjadi kekasih pria yang baru kenalnya beberapa bulan itu. Tuti bahkan mengandung janin hasil hubungan dengan pria asing itu.
Karena kebutuhan ekonomi, Tuti diminta kekasihnya untuk mengambil barang dagangan berupa tas dan pakaian di Guangzhou, Cina. Saat mendarat di Yogyakarta, dia ditangkap karena di dalam tas yang dibawanya tersembunyi 4,01 kg sabu. Beruntung Tuti bisa lepas dari jerat tuntutan hukuman mati. Tuti divonis hukuman seumur hidup.
Dua kasus itu menunjukan persamaan pola dan modus jaringan narkotika internasional merekrut kurir gratisan. Korbannya adalah perempuan yang rentan, lemah secara ekonomi dan sosial. Para perekrut berusaha menaklukan hati wanita dengan cara seromantis mungkin dan memainkan psikologinya agar mau menuruti perintah mereka. Mereka tak segan-segan memacari bahkan menikahi korban demi memengaruhi korban.
Dalam Pasal 1 Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dijelaskan tentang pengertian perdagangan orang sebagai berikut :
"Tindakan perekrutan, penampungan, pengangkutan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penggunaan kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau penjeratan utang atau manfaat, sehingga dapat memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan antarnegara maupun di dalam negara, demi untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Pada pasal 1 ayat 3, juga dijelaskan tentang definisi korban yakni “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang”.
Mengacu pada pengertian itu, maka Merry dan Tuti sesungguhnya adalah korban perdagangan orang. Mereka diekploitasi dan dikendalikan oleh orang lain dengan pendekatan yang sangat halus yaitu hubungan asmara. Mereka pun dimanfaatkan menjadi kurir tanpa disadari. Sayangnya, fakta bahwa keduanya merupakan korban perdagangan orang tidak pernah menjadi bahan pertimbangan dalam persidangan.
Dalam kasus lain, penegak hukum Indonesia bersikap berbeda. Salah satunya dalam kasus Nikita Mirzani yang terlibat jaringan prostitusi artis pada tahun 2015. Nikita tidak ditetapkan sebagai tersangka, melainkan sebagai korban. Lagi-lagi, sangat disayangkan, penegak hukum tidak menggunakan logika yang sama dalam kasus Merry dan Tuti.
Negara Tidak Melindungi Warganya
Alih-alih melindungi warga negaranya, Indonesia justru menjatuhkan hukuman mati pada warganya yang menjadi korban perdagangan orang. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang seharusnya bekerja untuk melindungi korban juga diam.
Dalam kasus Merry, penegak hukum merasa sudah menyelesaikan pekerjaannya setelah vonis dijatuhkan. Selama 15 tahun di dalam penjara, kasus Merry tidak pernah terungkap secara utuh. Siapa Jerry? Di mana Jerry? Siapa bandar besarnya? Adalah pertanyaan yang tidak pernah terjawab. Sampai sekarang, menjelang hari-hari Merry akan dieksekusi, pertanyaan itu tidak terjawab.
Apa yang terjadi di Indonesia sangat kontras dengan kasus yang terjadi pada Marry Jane Veloso, warga negera Filipina yang tertangkap membawa narkotika di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta pada tahun 2010. Marry Jane mendapat pembelaan dari pemerintah Filipina. Selama empat tahun mereka mencari pelaku yang mengirim Marry Jane ke Indonesia.
Pada detik-detik akan dieksekusi, pelaku yang mengirim Marry Jane menyerahkan diri ke kepolisian Filipina. Dengan segera pemerintah Filipina pun melobi Indonesia untuk menunda eksekusi Marry Jane. Sampai saat ini Marry Jane pun belum dieksekusi. Pemerintah Indonesia masih menunggu proses peradilan di Filipina yang kini tengah berjalan.
Apa yang dilakukan Filipina untuk Marry Jane tidak dilakukan Indonesia untuk Merry dan korban perdagangan orang lainnya. Indonesia lebih memilih mengakhiri hidup warganya yang menjadi korban perdagangan orang. Dasarnya cuma satu, mereka terbukti membawa narkotika, tanpa perlu tahu latar belakangnya.
Hukuman Mati Bukan Solusi
Sebenarnya, eksekusi mati yang segera akan dilakukan pemerintah Indonesia ini pun bukan solusi. Jika sejak awal eksekusi mati itu ditujukan agar ada efek jera pada pelaku perdagangan narkotika maka tujuan itu haru dipertanyakan. Apa ukurannya? Apa bukti efek jera itu bekerja?
Sejak Indonesia melaksanakan eksekusi mati pada 2015 lalu, belum ada dampak efek jera yang terasanya. Pada 29 April 2015, pemerintah melaksanakan hukuman mati tahap pertama. Namun setelah itu jumlah pengguna narkotika di Indonesia justru meningkat.
Badan Narkotika Nasional, mencatat pada bulan Juni 2015 jumlah pengguna narkotika di Indonesia mencapai 4,2 juta orang. Pada bulan November 2015 jumlah itu justru meningkat menjadi 5,9 juta orang.
Peningkatan pengguna narkotika itu jelas menjadi bukti bahwa eksekusi mati pada mereka yang didakwa terlibat jaringan narkotika tidaklah relevan. Tidak ada efeknya. Mungkin memang hukuman mati tidak membuat para bandar takut, karena yang selama ini dieksekusi adalah para kurir. Hanya bagian kecil dari jaringan yang besar.
Kalau alasan efek jera itu sudah tidak relevan, lantas apa tujuan Indonesia masih melaksanakan eksekusi mati? Mungkin hanya itu cara yang bisa dilakukan agar membuat pemerintah terlihat gagah dan serius memberantas narkotika.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti