tirto.id - Oppo, salah satu perusahaan teknologi asal Cina yang saat ini mencuri perhatian masyarakat Indonesia, pada awal bulan Mei ini kembali merilis produk. Produk ini tidak benar-benar baru karena hanya menanggalkan kata “Plus” pada namanya, yakni Oppo F3. Perusahaan ini masih mengusung konsep sama sejak mereka memperkenalkan diri pada pasar Indonesia, yakni konsep “Camera Phone” dan "Selfie Expert.”
Produk F3 yang baru saja dirilis dan produk dengan imbuhan “Plus” yang dirilis pada Maret lalu, mengusung teknologi dual camera, yang salah satu kamera depannya memiliki sudut lebar 120 derajat.
Di awal bulan ini pula, salah satu pemain besar di dunia ponsel pintar, Samsung, memperkenalkan Samsung Galaxy S8 pada pasar Indonesia. Berbeda dengan Oppo F3, produk baru Samsung ini lebih menekankan elemen layar yang mengusung teknologi baru: Infinity Display.
Fitur ini dibuat dengan memanfaatkan teknologi OLED. Dengan Infinity Display, ukuran layar pada ponsel pintar milik Samsung tersebut berhasil mereka tambah tanpa perlu memperbesar ukuran ponsel secara keseluruhan. Selain Samsung, hal yang sama juga dilakukan LG dengan ponsel pintar baru mereka, LG G6. Di situswebnya, LG terang-terangan memberi tagline “The Big Screen that Fits in Your Hand” untuk ponsel pintar baru andalannya tersebut.
Merespons apa yang dilakukan Samsung dan LG, Google dikabarkan berniat memberi investasi bagi lini bisnis layar LG agar bisa memasok layar OLED bagi produk Pixel mereka. Begitu pula Apple. Banyak rumor yang mengatakan calon penerus iPhone 7, yakni iPhone 8, akan mengusung konsep serupa dengan S8 maupun G6: memanfaatkan teknologi OLED dan mencoba menyingkirkan bezel dari bagian depan ponsel pintar buatan mereka.
Lalu, mengapa saat perusahaan-perusahaan teknologi yang bergerak di ranah ponsel pintar mencoba mengedepankan layar nirbezel atau cangkang pinggir layar, Oppo tetap bertahan dengan tema kamera sebagai jualan utama?
Allina Wen, Brand Manager Oppo Indonesia mengatakan, “market di Asia Tenggara ini, Indonesia juga, banyak orang suka selfie.”
Jika menilik pasar ponsel di Asia Tenggara dan termasuk Indonesia, sebagaimana dikutip IDC, strategi Oppo diikuti kompetitor sesama produk Cina. Huawei dan Vivo, seperti Oppo, lebih memilih fokus pada kamera sebagai fitur utama jualan mereka. Oppo mengklaim sebagai pakar selfie, sedangkan Huawei yang bekerja sama dengan Leica, ingin membentuk citra diri sebagai ponsel pintar fotografi serius. Adapun Vivo menargetkan pengguna self-shooters.
Pada 2016 kemarin, pengapalan ponsel pintar di Asia Tenggara mencapai 101 juta unit atau meningkat 4,3 persen dari tahun sebelumnya. Dari sedemikian besar angka pengapalan tersebut, trio perusahaan ponsel pintar Cina, Oppo, Huawei, dan Vivo memperoleh 21 persen pangsa pasar. Ketiga perusahaan dengan pendekatan hampir mirip dalam mengusung keunggulan kamera tersebut menempel ketat pemimpin pangsa pasar di Asia Tenggara, Samsung, yang di tahun 2016, memperoleh 23 persen pangsa pasar.
Artinya, ponsel berfitur kamera ecek-ecek hingga serius, jika menilik angka pengapalan, memang memiliki cerita sukses. Apalagi fitur kamera pada ponsel masih bisa dikembangkan lebih jauh. Kesuksesan dari segmen pasar ini sangat mungkin masih terus berkembang. Dan evolusi ponsel berkamera memang terus berlanjut.
Setelah di bulan Juni tahun 1997 Philippe Kahn menciptakan ponsel berkamera dan J-SH04 dari Sharp dirilis pada publik sebagai ponsel berkamera pertama, ponsel jenis ini tidak bisa dianggap remeh. Di tahun 2008, penjualan ponsel Nokia berhasil melampaui penjualan kamera film Kodak. Perlahan tapi pasti, perangkat yang hanya memiliki fitur kamera tergantikan oleh ponsel berkamera. Apalagi di era ponsel pintar yang mendukung segudang aplikasi fotografi.
Dan dengan hadirnya fenomena selfie, ponsel pintar menjadi sangat lekat dengan fenomena tersebut. Ofcom, sebuah firma penelitian pasar, seperti dikutip The Guardian, mengungkapkan pada 2014, terdapat 1,2 miliar selfie yang diambil orang-orang Inggris.
"Penggunaan ponsel pintar secara potensial memicu fenomena selfie,” kata Direkturnya Ofcom, Jane Rumble.
Bukan hanya selfie saja yang dipengaruhi ponsel berkamera, tapi aktivitas fotografi secara keseluruhan. Seperti diwartakan Wired, ada 27 persen foto dibuat oleh ponsel pintar dari keseluruhan foto yang dipotret di tahun 2011. Angka tersebut melonjak dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 17 persen.
Liz Cutting dari NPD mengungkapkan, “tidak ada keraguan bahwa ponsel pintar menjadi ‘cukup bagus’ dari waktu ke waktu. Karena ada ponsel, jumlah foto yang diambil jadi jauh lebih banyak daripada sebelumnya.” Tentu saja. Dilihat dari segi kepraktisan dan kekompakan, ponsel mengungguli alat fotografi khusus. Ponsel umumnya selalu digenggam ke mana-mana oleh si empunya. Jika ada kejadian atau momen tertentu, ia akan jauh lebih mudah dan cepat menekan shutter dari ponsel, alih-alih menggunakan perangkat khusus fotografi.
Selain itu, seperti dicatat Phonearena, di tahun 2012 terdapat 147 juta unit kamera kompak terjual. Angkanya di tahun 2014 terjungkal hingga hanya berada di angka 60 juta unit penjualan.
Jika melihat data itu, kita bisa melihat bahwa ponsel berkamera sedikit demi sedikit membunuh kamera kompak. Alat fotografi khusus masih ada di jenis kamera prosumer, mirrorless, dan DSLR memang masih cukup kuat berada di pasaran. Namun, ponsel pintar, cepat atau lambat, dipastikan akan menghancurkan pasar kamera jenis-jenis ini juga.
Langkah strategis Oppo yang berfokus pada fitur kamera adalah salah satunya.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani