tirto.id - Polri memberikan empat rekomendasi usai peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara yang dilakukan anak berkonflik hukum (ABH) berinisial F. Meskipun, dalam kasus ini dipastikan bukan berkaitan dengan kelompok terorisme.
Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan F merupakan korban perundungan di sekolahnya. Tujuh peledak yang dibuatnya pun terinspirasi dari sejumlah peristiwa di luar negeri.
"Pelaku melakukan aksi karena menjadi korban bullying dari rekannya dan meniru pelaku penembakan massal di luar negeri sebagai metode untuk melakukan aksi balas dendam dan bukan melakukan aksi karena keyakinan atas salah satu paham atau ideologi," kata Trunoyudo si Mabes Polri, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Dijelaskan Trunoyudo, pihaknya melakukan asesmen kerentanan anak yang ternyata dipengaruhi sejumlah faktor sosial, seperti korban perundungan atau korban perpecahan keluarga. Kondisi anak yang kurang perhatian keluarga, mencari jati diri, marginalisasi sosial, minimnya literasi digital, dan tidak memiliki pemahaman agama, juga menjadi faktor kerentanan anak lainnya.
Berdasarkan evaluasi penanganan, kata Truno, Polri pun merekomendasikan kajian regulasi terkait pembatasan dan pengawasan kemanfaatan media sosial untuk anak di bawah umur. Selain itu, diharapkan adanya pembentukan tim terpadu lintas kementerian atau lembaga untuk deteksi dini, edukasi, intervensi pencegahan, penegakan hukum, pendampingan psikologis, serta pengawasan pascaintervensi.
"Ketiga, penyusunan standar operating procedure teknis bagi seluruh stakeholder agar penanganan dilakukan secara cepat, seragam, dan sesuai pada mandat dan tupoksi pada masing-masing institusi," ungkap Truno.
Dia juga menyebutkan, dari evaluasi ini diharapkan agar seluruh elemen masyarakat, baik orang tua maupun guru, dan stakeholder terkait bisa peduli terhadap fenomena tersebut. Dengan demikian, diharapkan bisa bersama-sama menertibkan mata rantai rekrutmen online-online tersebut.
"Polri menegaskan komitmen untuk melindungi anak-anak Indonesia, beserta seluruh kementerian dan lembaga, dan BNPT, KPAI, dan LPSK, serta seluruh kementerian stakeholder terkait, terhadap dari ancaman radikalisasi eksploitasi ideologi maupun kekerasan digital untuk melindungi anak-anak Indonesia, serta terus bekerja sama dengan seluruh unsur-unsur pemerintah serta masyarakat," ujar dia.
Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Eddy Hartono, mengatakan dalam kasus SMAN 72 Jakarta Utara, ABH mengakses komunitas di media sosial yang kemudian perilakunya ditiru demi mendapatkan pengakuan kehebatan. Secara psikologis, kata dia, memang terjadi fenomena memetic radilization atau memetic violence.
"Kalau di yang SMA 72 diketahui Densus juga mengakses kepada grupnya namanya TCC, True Crime Community. Nah itu tadi. Jadi dia bisa meniru ide perilaku apa yang terjadi, sehingga dia meniru supaya bisa dibilang hebat ya, supaya ada kebanggaan," tutur Eddy.
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Fransiskus Adryanto Pratama
Masuk tirto.id

































