Menuju konten utama

Polri Beberkan Pemicu Kasus Intoleransi di Masyarakat

Permasalahan internal yang terjadi di dalam agama itu sendiri menjadi salah satu pemicu kasus intoleransi di masyarakat.

Polri Beberkan Pemicu Kasus Intoleransi di Masyarakat
Romo Aloysius Budi Purnomo (kanan) memainkan saksofon dalam aksi memperingati Hari Toleransi Internasional yang digelar oleh Jaringan Masyarakat Semarang untuk Keberagaman, di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (18/11). Aksi yang diikuti para pegiat kemanusiaan dari berbagai elemen tersebut menyatakan menolak segala bentuk tindakan intoleransi dan diskriminasi atas nama agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, dan pandangan politik. FOTO/R. Rekotomo.

tirto.id - Kasus intoleransi yang selama ini terjadi kerap menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Polri mengungkapkan pemicu munculnya intoleransi yang sekaligus menjadi tantangan bagi kepolisian saat ini.

"Terkait dengan kasus intoleransi memang ada pemicu yang selama ini kami temukan di lapangan sehingga menjadikan kasus-kasus ini menimbulkan gangguan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas)," kata Kabag Mitra Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Kombes Pol Awi Setiyono di Jakarta.

Saat Bincang Perdamaian "Potret Toleransi di Indonesia Tahun 2017", Kamis (5/1/2017), hal pertama yang menjadi tantangan kasus intoleransi tersebut diungkapkan Awi terkait dengan permasalahan internal yang terjadi di dalam agama itu sendiri, yaitu masih ada aliran-aliran yang mempermasalahkan perbedaan-perbedaan.

"Misalnya dalam agama Islam terkait dengan penafsiran Alquran maupun hadis. Fakta di lapangan adanya aliran-aliran keagamaan yang memfitnahkan, mengharamkan, dan mengkafirkan pihak-pihak atau aliran-aliran lain karena perbedaan penafsiran itu sehingga yang terjadi menjadikan suatu masalah," tuturnya sebagaimana dilansir Antara.

Pemicu adanya intoleransi yang kedua, Awi mengatakan, adanya aksi penolakan pendirian tempat ibadah dan memang juga patut dicermati.

"Beberapa tempat misalnya di suatu daerah di Jawa yang mayoritas Islam. Mungkin di situ beberapa kasus yang kami dapatkan misalnya penolakan pendirian gereja dalam mayoritas Islam. Tetapi di sisi lain misalnya di Manado yang mayoritas Nasrani di sana juga terjadi penolakan pendirian masjid ini kan juga menjadi masalah bangsa yang patut dicermati," katanya.

Terakhir, Awi menyinggung soal adanya kegamangan para petugas kepolisian di lapangan soal penindakan aksi-aksi intoleransi.

"Kami tidak malu-malu menyampaikan ini karena memang demikian yang terjadi, pimpinan kami sudah menyatakan tindak tegas tidak ada sweeping-sweeping lagi," ucap Awi.

Menurutnya, setiap tahun Kapolri sudah menyampaikan soal tindak tegas "sweeping" atau penyisiran namun pada pelaksanaannya mulai dari pergantian pimpinan, kepala satuan, kapolda, hingga kapolres masih terjadi tidak kesamaan persepsi cara penindakan di lapangan sehingga menimbulkan kegamangan.

"Makanya beberapa waktu lalu Bapak Kapolri [Jenderal Tito Karnavian] dalam beberapa kasus intoleransi langsung dikumpulkan para kepala satuan wilayah yang ada di lapangan kalau memang salah langsung ditunjuk untuk tanggung jawab. Kejadian di Surabaya ada sweeping malah dikawal, harusnya bubarkan tindak tegas, makanya kemarin diapresiasi terkait tindakan Kapolres Sragen (AKPB Cahyo Widiarso) yang mengusir kelompok-kelompok yang intoleransi [razia atribut natal di toko swalayan]," ujarnya.

Baca juga artikel terkait INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Yuliana Ratnasari

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yuliana Ratnasari
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari