tirto.id - Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto jelang pelantikan presiden-wakil presiden terpilih rajin melakukan safari politik ke sejumlah parpol pengusung Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Misalnya ke rumah Megawati Soekarnoputri (ketum PDIP), Suharso Monoarfa (PPP), Surya Paloh (Nasdem), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Airlangga Hartarto (Golkar).
Spekulasi pun berkembang bila Prabowo hendak membawa Partai Gerindra merapat ke koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Apalagi safari politik ini dilakukan usai Prabowo diundang Presiden Jokowi ke Istana Negara, Kamis (10/10/2019).
Berturut-turut mantan Danjen Kopassus itu menemui Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pada Minggu (13/10/2019), berlanjut bertemu Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar pada Senin (14/10/2019) dan terakhir menemui Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto pada Selasa (15/10/2019).
Sementara pertemuan Prabowo dengan Megawati dan Suharso dilakukan sebelum ketua umum Partai Gerindra itu bertemu Jokowi di Istana Negara.
Pertemuan-pertemuan itu seakan memberikan sinyal bila Gerindra yang dulu menjadi kompetitor Jokowi pada Pilpres 2019, justru berniat bergabung ke koalisi pemerintah, demi mendapatkan jatah kursi menteri.
Meski selalu berkilah meminta jatah menteri, tapi Gerindra selalu menjadikan konsep yang ia tawarkan ke Jokowi sebagai alasan ingin membantu Jokowi, baik di dalam pemerintahan ataupun di luar pemerintahan.
Dahnil Anzar Simanjutak, juru bicara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan Prabowo dan Partai Gerindra siap membantu bila Jokowi memang meminta.
“Kami persilakan apabila Pak Jokowi dan pemerintah lima tahun ke depan membutuhkan dan bersesuaian dengan konsepsi Gerindra, tentu Gerindra dengan kesanggupannya, kami akan bekerja,” kata Dahnil.
Sekretariat Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani bahkan meminta Jokowi tak ragu-ragu dalam mengambil keputusan: apakah akan menambah jumlah koalisi atau tidak?
“Kami sudah sampaikan ke Pak Jokowi, Pak Jokowi jangan ragu untuk ambil keputusan ini karena bapak adalah presiden terpilih, begitu,” kata Muzani di sela-sela Rapimnas Gerindra di Padepokan Garuda Yaksa, Bogor, Jawa Barat, Rabu (16/10/2019).
Partai-partai koalisi Jokowi memang menyerahkan sepenuhnya kepada Jokowi. Meski demikian, terlihat kekhawatiran mereka bila Gerindra ataupun partai lain bergabung akan mengurangi jatah kursi menteri. Padahal, mereka telah berjuang memenangkan Jokowi sejak awal.
Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, misalnya, berharap Jokowi lebih memprioritaskan partai-partai yang sejak awal mendukungnya. Bukan mendahulukan partai yang nantinya baru bergabung ke dalam koalisi.
PPP, partai pendukung Jokowi-Ma'ruf lainnya, bahkan mengingatkan agar partai politik yang baru akan masuk itu tak boleh berperilaku seperti oposisi.
“Kritis boleh dalam konteks menjalankan tugas pengawasan di parlemen, namun tidak berperilaku seperti oposisi dalam model pemerintahan parlementer,” kata Sekjen PPP Arsul Sani saat dihubungi, Jumat (11/10/2019).
Tak Etis Oposisi Minta Jatah Menteri
Direktur Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai wajar bila partai-partai yang sejak awal mendukung Jokowi khawatir dengan bakal masuknya Gerindra dan partai lain yang dulu menjadi kompetitor mereka.
Karena itu, kata Karyono, Jokowi semestinya bisa menjaga psikologis partai politik yang telah mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf sejak awal.
"Wajar jika partai koalisi pengusung Jokowi-Ma'ruf merasa tidak 'happy' jika ada partai di luar koalisi masuk ke dalam kabinet pemerintahan," ujar Karyono kepada reporter Tirto, Kamis (17/10/2019).
Sinyal awal wacana masuknya Gerindra ke dalam kabinet justru berasal dari sikap Presiden Jokowi yang terbuka untuk mengakomodir partai di luar koalisinya. Wacana tersebut bak gayung bersambut.
Tidak hanya Gerindra, Partai Demokrat juga merespons sikap keterbukaan Jokowi yang merangkul kawan dan lawan politik.
“Tampaknya Jokowi memiliki pandangan politik lebih baik merangkul daripada memukul,” kata Karyono.
Kesempatan yang diberikan Jokowi ini yang membuka keran transaksional politik antara Jokowi dengan partai-partai yang berniat gabung.
Kursi menteri menjadi “kunci” dari transaksional politik ini. Perjuangan masyarakat yang membela Prabowo-Sandiaga meski kalah tampaknya diabaikan oleh Gerindra maupun Demokrat.
Karyono menilai, sangat tak etis memang bila partai seperti Gerindra dan Demokrat terang-terangan meminta jatah kursi menteri. Sementara ada 10 partai lain yang sejak awal mendukung Jokowi-Ma'ruf.
Lima di antara parpol pendukung Jokowi lolos parlemen, yaitu: PDIP, Nasdem, Golkar, PPP, PKB. Sementara sisinya, seperti PKPI, Hanura, PSI, Perindo, dan PBB gagal masuk parlemen.
Jokowi, kata Karyono, tak boleh tiba-tiba menganaktirikan 10 partai tersebut, bila tak mau disebut tak adil oleh pendukung setiap partai.
“Tentu tidak etis, meskipun dalam politik minta jatah menteri dipandang lumrah karena dalam dunia politik tidak terpisahkan dari power sharing,” ucap Karyono.
“Jangan sampai justru yang berkeringat menjadi 'anak tiri.' Dengan kata lain, Presiden Jokowi harus bersikap adil," kata Karyono menambahkan.
Pemilu Hanya Jadi Sandiwara Politik Transaksional
Pada Pilpres 2019, Jokowi-Ma'ruf bertarung melawan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pendukung setiap paslon pun mati-matian membela agar pilihan mereka bisa menang pemilu. Saling hujat, serang menyerang, saling fitnah baik di dunia nyata maupun dunia maya dilakukan para pendukung kedua paslon.
Paslon dan elite politik menikmati dukungan tersebut. Namun, pasca Pilpres 2019 mereka seakan lupa dengan dukungan itu. Hal ini, terlihat dari upaya Prabowo yang ingin membawa partainya agar bisa merapat ke koalisi Jokowi, pun dengan Demokrat.
Kedua partai itu sibuk menyiapkan kader terbaiknya untuk ditawarkan ke Jokowi dan juga bersilaturahim ke partai-partai politik pendukung Jokowi.
Kompetisi pemilu yang menjadi pesta demokrasi rakyat, tampaknya hanya dinikmati oleh elite politik saja, karena ujung-ujungnya elite politik ini saling bertransaksi demi sama-sama mendapatkan kekuasan.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin menilai apa yang terjadi saat ini hanya sandiwara yang sedang diperankan para elite politik. Menurut Ujang, mereka tahu kapan harus bermusuhan dan tahu kapan harus berangkulan.
“Yang dikejar hanya kuasa, jabatan, dan wibawa,” kata Ujang kepada reporter Tirto, pada Jumat (18/10/2019).
Politik yang dipertontokan, kata Ujang, hanyalah politik kompromistis dan pragmatis yang tak berideologis. Ujang berkata, semuanya dihitung berdasarkan kepentingan politik, bukan berdasarkan kepentingan rakyat.
Menurut Ujang, politik transaksional akan terus terjadi, bahkan akan semakin menjadi-jadi bila para elite ini berpolitik tanpa moralitas. Moralitas, menurut Ujang, dikesampingkan hanya untuk berebut “kue” jabatan.
“Para elite politik cenderung menerapkan politik menghalalkan segala cara. Politik yang tanpa etika, moral, dan menghalalkan segala cara telah menumbukan politik transaksional yang pragmatis,” kata Ujang.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz