Menuju konten utama

Politik Kuliner dan Diplomasi di Atas Meja Makan

Diplomasi di atas meja makan bisa efektif. Obama menjamu Presiden Rusia Medvedev untuk bernegosiasi soal nuklir sambil menyantap Burger. Bagaimana Jokowi?

Presiden Joko Widodo makan bersama mantan Presiden Megawati Soekarnoputeri, di istana Merdeka, Jakarta, Senin (21/11). Presiden Jokowi juga melakukan pertemuan empat mata dengan Presiden RI periode 2001-2004 tersebut di teras belakang istana Merdeka. ANTARA FOTO/Setpres/ama/16

tirto.id - "Seseorang," kata Virginia Woolf, "tak akan bisa berpikir jernih, mencintai dengan tulus, juga tidur nyenyak, jika perut mereka kosong."

Ada banyak studi dan kajian yang menyatakan bahwa gastronomi itu amatlah penting. Sama seperti musik yang bisa membawa pesan politik, begitu pula makanan. Di dunia politik, ada istilah culinary diplomacy. Diplomasi kuliner adalah cabang diplomasi yang mengkaji bagaimana makanan bisa digunakan sebagai alat untuk membangun hubungan antara negara, kerja sama, juga alat untuk mencapai perdamaian.

Menurut Sam Chapple-Sokol, mantan chef pastry di Gedung Putih dan pendiri situs Culinary Diplomacy, ada tiga jenis diplomasi kuliner.

Pertama adalah Track I Culinary Diplomacy, yang ia sebut sebagai jamuan makan antarpemerintah. Entah itu antara presiden dan para menteri, atau presiden dan ketua DPR atau ketua partai. Begitu pula makan malam dengan pemerintah negara lain.

Kedua adalah Gastrodiplomacy. Secara sederhana, ini melibatkan kerja pemerintah untuk publik luar negeri. Tujuannya antara lain membangun soft power sebuah negara, mempromosikan perdagangan dan pariwisata, juga mendorong pertukaran budaya.

"Yang juga masuk dalam ranah ini adalah usaha pemerintah supaya hidangan dari negaranya masuk dalam daftar Warisan Budaya Tak Benda UNESCO," tulis Sam dalam situsnya.

Contoh yang paling ambisius adalah saat Thailand mengampanyekan Global Thai, sebuah usaha untuk menyebarkan restoran dan makanan Thailand ke seluruh penjuru dunia, publik yang sebelumnya nyaris asing. Usaha ini membuahkan hasil manis. Pada 2002, ada sekitar 5.500 restoran Thailand di seluruh dunia. Setahun kemudian, jumlah itu melonjak sekitar 8.000 restoran. Kini, menurut situs Thai Select, ada sekitar 15.000 restoran Thailand di seluruh dunia.

Karena sudah dikenal di penjuru dunia, wajar belaka saat CNN membuat poling World's 50 Most Delicious Foods menyebut makanan Thailand memiliki jumlah terbanyak dalam daftar, di antaranya tom yum (peringkat 4), pad Thai (5), som tam (6), kari massaman (10), kari hijau (19), nasi goreng Thai (24), dan moo nam tok (36).

Kategori ketiga adalah Citizen Culinary Diplomacy. Dari namanya, ini jamuan makan-makan yang diadakan antara pemerintah dan warga negara. Tujuannya ada banyak. Mulai memecahkan persoalan di tingkat kelurahan hingga nasional, juga mendengarkan ide dan aspirasi warga negara.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama adalah salah satu pemimpin dunia yang paling sering menggunakan diplomasi kuliner ini. Bahkan Obama, yang memang selalu tampak kasual dan luwes, sering menjamu pemerintah luar negeri di gerai burger.

Misalkan saat Obama menjamu Presiden Rusia Dmitry Medvedev di Ray's Hell Burger di Arlington, Virginia. Obama memesan cheese burgers, sedangkan Medvedev memesan cheese burger dengan tambahan cabai jalapeno, jamur, dan bawang bombay.

Obama memang menyenangi makanan kasual yang bisa disantap sembari ngobrol santai. Saat mengunjungi Vietnam, penggemar musisi Al Green ini menyempatkan diri makan siang bersama juru masak terkenal, Anthony Bourdain, di Hanoi. Mereka mendatangi sebuah warung sederhana, dengan kursi plastik dan tanpa pendingin udara, serta menyantap bun cha, hidangan babi panggang dan bihun yang disantap dengan kuah.

Apakah perjamuan diplomasi kuliner ini efektif dan bisa berhasil?

"Jelas bisa. Di acara makan-makan itu, Obama dan Medvedev menegosiasikan soal pelucutan nuklir," kata Mohamad Rosyidin, pengajar hubungan internasional di Universitas Diponegoro, Semarang.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/11/24/TIRTOID-InfografikPolitikMejamakanrev.jpg" width="860" alt="Infografik Politik Meja makan " /

Di Indonesia, Jokowi adalah tokoh politik yang menjalankan diplomasi kuliner dengan baik. Bahkan ia sudah menjalankannya sejak menjabat Wali Kota Solo. Yang paling terkenal saat ia menjamu ratusan pedagang kaki lima yang menempati area Monumen 45 Banjarsari. Makan siang itu dilakukan hingga 54 kali. Di pertemuan terakhir itulah Jokowi baru mengungkapkan keinginannya: merelokasi pedagang ke lokasi yang baru.

Dialog terjadi. Dari sana terlihat apa kebutuhan para pedagang dan dan apa solusi dari Jokowi. Maka tercapailah relokasi yang sama sekali tanpa kekerasan. Tanpa makan siang, tentu proses relokasi ini bisa berjalan lebih alot.

Langkah diplomasi kuliner ini masih tetap dijalankan oleh Jokowi ketika menjadi presiden. Terakhir, Jokowi mengundang beberapa ketua umum partai untuk bersantap di Istana Negara dalam kesempatan terpisah.

Jokowi mengundang Prabowo Subianto pada 17 November. Ini juga merupakan kunjungan balasan setelah sebelumnya Jokowi berkunjung ke rumah Prabowo, di Desa Bojong Koneng, Bogor. Di Istana, Jokowi menjamu Prabowo dengan hidangan ikan bakar. Setelahnya, presiden mengundang Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri (21 November). Sehari kemudian, Jokowi mengundang Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuziy, dan Ketua Umum Golkar Setya Novanto dalam waktu yang berbeda.

Hidangannya berbeda-beda. Megawati sempat membawakan mi rebus dan mi goreng, sedangkan Istana menjamu dengan udang goreng, ikan bakar, cumi, tempe goreng, dan sambal. Sedangkan Surya Paloh dijamu dengan bubur, mi Aceh, dan pisang kepok rebus sebagai kudapan. Romahurmuziy dijamu dengan ikan bakar dan coto Makassar. Sedangkan Novanto makan sore dengan hidangan tempe goreng dan berbagai masakan tumis.

Rosyidin melihat usaha Jokowi ini adalah pertunjukan keahlian Jokowi dalam memakai kooptasi, soft power, dalam berpolitik. Di atas meja makan itu Jokowi memastikan kekuatan penting politik di Indonesia akan sejalan dengan misi-misi pemerintahannya. Terutama terkait gejolak politik belakangan ini.

"Dan harus kita akui, Jokowi itu lihai berpolitik," kata Rosyidin.

Dulu langkah Jokowi menjamu para pedagang berakhir dengan manis. Apakah langkah Jokowi kali ini juga berakhir manis pula? Jawabannya tentu klasik: mari kita tunggu sama-sama.

Baca juga artikel terkait DIPLOMASI KULINER atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS