Menuju konten utama
Omnibus Law

Polemik Perppu Cipta Kerja & Pasal Kontroversial di Dalamnya

Perppu Cipta Kerja yang dikeluarkan Jokowi menuai polemik. Sejumlah pasal di Perppu pun menjadi sorotan.

Polemik Perppu Cipta Kerja & Pasal Kontroversial di Dalamnya
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) bersama Menko Polhukam Mahfud MD (kiri) didampingi Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan konferensi pers di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (30/12/2022).ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/YU

tirto.id - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi 'kado manis' Presiden Joko Widodo di penghujung 2022. Aturan yang ditandatangani pada 30 Desember 2022 itu, dijadikan alat sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menjelaskan, penerbitan Perppu 2/2022 ini murni karena alasan medesak sebagaimana putusan MK Nomor 138/PUU/VII/2009. Setidaknya ada tiga alasan penerbitan Perppu ini, di antaranya: mendesak, kekosongan hukum, dan upaya memberikan kepastian hukum.

“Oleh sebab itu pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak,” kata Mahfud MD dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Jumat (30/12/2022).

Mahfud tidak memungkiri bahwa alasan potensi ancaman inflasi, stagflasi, krisis multisektor, masalah suku bunga, kondisi geopolitik, serta krisis pangan memicu pemerintah untuk mengambil langkah-langkah strategis secepatnya. Karena pengambilan langkah strategis, menurutnya tidak bisa dilakukan hingga menunggu tenggat putusan MK sebagaimana putusan Nomor 91 tahun 2021.

“Oleh sebab itu, langkah strategis diperlukan dan untuk memenuhi syarat langkah strategis bisa dilakukan, maka Perppu ini harus dikeluarkan lebih dulu. Itulah sebabnya kemudian hari ini tanggal 30 Desember 2022 presiden sudah menandatangani Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta kerja," kata Mahfud.

Alih-alih memberikan kepastian hukum, Perppu 2/2022 malah menuai kontroversi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, kehadiran Perppu Cipta Kerja ini justru menciptakan ketidakpastian. Karena masalah utama dalam daya saing salah satunya tingkat ketidakpastian kebijakan cukup tinggi.

“Investor bisa ragu kalau aturan berubah-ubah. Padahal investor perlu kepastian regulasi jangka panjang. Idealnya pada saat pembuatan produk regulasi apalagi UU harus disiapkan secara matang. Kalau terburu-buru, ya jadi masalah," kata Bhima kepada Tirto.

Dia menyebut tidak ada jaminan pasca Perppu Cipta Kerja terbut, investasi bisa meningkat. Karena sejauh ini banyak aturan turunan cipta kerja sudah berjalan, tapi jumlah investasi yang mangkrak masih tinggi.

Di sisi lain, kondisi darurat dalam Perppu Cipta Kerja bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023. Di mana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen cenderung tinggi.

“Kalau ekonomi masih tumbuh positif kenapa pemerintah menerbitkan Perppu?” kata Bhima mempertanyakan.

Anggota Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay juga mempertanyakan aspek kegentingan dalam penertiban Perppu tentang Cipta Kerja. Menurutnya, pemerintah harus menjelaskan kepada masyarakat segenting apa situasi yang dihadapi sehingga Perppu harus diterbitkan.

“Dalam konteks kegentingan, ini adalah tugas pemerintah untuk menjelaskan ke publik. Apakah betul bahwa resesi ekonomi global bisa dijadikan sebagai pertimbangan. Pertimbangan untuk menyebutkan adanya kegentingan yang memaksa," ujar Saleh dalam keterangannya.

Menurutnya, pemerintah perlu menjelaskan setidaknya dua hal terkait Perppu tersebut. Pertama, apa ketentuan baru yang masuk di dalamnya. Kedua, apa perbedaannya dengan UU Ciptaker yang sudah disahkan.

“Dari situ nanti baru kita bisa membandingkan apa yang sudah baik, yang perlu disempurnakan, yang perlu dilengkapi dengan aturan turunan, dan seterusnya," jelas Saleh.

Lebih lanjut, anggota legislatif dari Fraksi PAN ini juga mendengar Perppu tersebut dikeluarkan untuk menggugurkan keputusan MK yang mengatakan bahwa UU Ciptaker itu inkonstitusional bersyarat.

“Apa betul seperti itu? Apa benar dengan keluarnya Perppu ini, status inkonstitusional bersyarat jadi hilang? Ini pun pemerintah yang mestinya menjelaskan," ujar Saleh.

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Kurniasih Mufidayati menekankan, seharusnya pemerintah melakukan perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 yang inkonstitusional bersyarat sesuai dengan arahan MK. Bukan justru menerbitkan Perppu baru.

“MK berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Ini malah membuat Perppu untuk menggantikan dengan menghilangkan peran DPR sama sekali,” ujar Kurniasih.

Dalam pertimbangan putusan MK, UU Cipta Kerja cacat formil. Hal itu karena tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang. Kemudian, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan presiden.

Kurniasih mengingatkan selain bermasalah pada sisi substansi, proses pembentukan UU Cipta Kerja juga bermasalah. MK juga mempertimbangkan sulitnya draf RUU Cipta Kerja diakses oleh masyarakat dan kerap berubah-ubah.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad mengaku, pihaknya belum mempelajari isi Perppu Cipta Kerja yang baru saja diterbitkan oleh Presiden Jokowi. Alasannya DPR masih masa reses sehingga mekanisme pembahasan Perppu akan dilakukan saat masuk.

“Jadi Perppu tentang Ciptaker yang sudah dikeluarkan oleh presiden. Kita belum mempelajari karena disampaikan saat masa reses. Dan kita baru akan aktif pada 10 Januari," kata Dasco di Gedung DPR RI.

Meskipun Perppu diterbitkan saat masa reses, tapi Dasco membantah hal tersebut melangkahi kewenangan DPR sebagai pihak pengawas. "Memang ada aturan dalam proses pembuatan undang-undang dan proses revisinya. Sehingga nantinya akan kita akan lihat sama-sama bagaimana," jelasnya.

Masalah Prosedural Perppu Ciptaker Diklaim Selesai

Dalam kesempatan lain, Mahfud MD menegaskan tidak ada permasalahan prosedural dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja. Ia klaim pemerintah sudah memperbaiki Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Cipta Kerja.

Pemerintah bahkan membuat Perppu sesuai ketentuan MK karena substansi Undang-Undang Cipta Kerja tidak ada yang dibatalkan.

“Pembentukan peraturan perundang-undangan itu sudah diubah dijadikan undang-undang dan diuji ke MK sudah sah, lalu Perppu dibuat berdasar itu. Materinya, kan, tidak pernah dibatalkan oleh MK. Coba saya mau tanya, apa pernah materi Undang-Undang Ciptaker dibatalkan? Enggak,” kata Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.

“Itu prosedurnya, prosedurnya harus diulang bahwa harus ada ketentuan bahwa omnibus law itu bagian dari proses registrasi. Sudah kita perbaiki. Omnibus law masuk dan itu sudah disahkan undang-undangnya, lalu ada Undang-Undang Ciptaker-nya yang secara materiil tidak pernah dibatalkan,” kata Mahfud.

Mahfud menegaskan, pemerintah tidak menyoalkan pandangan publik soal masalah substansi Perppu Cipta Kerja. Akan tetapi, khusus secara prosedur, Mahfud menilai hal itu sudah selesai.

Dia menekankan bahwa Perppu setara dengan undang-undang sehingga permasalahan penerbitan Perppu dianggap bermasalah secara prosedural sudah selesai. Ia juga mengingatkan bahwa presiden punya wewenang untuk menerbitkan Perppu selama memenuhi syarat.

Jokowi sendiri merespons santai kritik penolakan atas terbitnya Perppu Cipta Kerja. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu meyakini pro-kontra terhadap aturan hukum baru bisa ditangani lewat penjelasan.

“Ya biasa dalam setiap kebijakan dalam setiap keluarnya sebuah regulasi ada pro dan kontra, tapi semua bisa kita jelaskan," ujar Jokowi usai peninjauan Pasar Tanah Abang, Jakarta.

Pasal-Pasal Kontroversial di Perppu Cipta Kerja

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengaku secara khusus telah mencermati substansi Perppu untuk klaster ketenagakerjaan, tanpa mengabaikan klaster lainnya. Hal tersebut mengingat klaster ketenagakerjaan sangat luas mendapat perhatian berbagai pihak, dan juga klaster yang menjadi fokus perhatian utama aktivitas pengusaha.

Ketua Umum Apindo, Hariyadi B. Sukamdani menyoriti, beberapa pengaturan dalam klaster ketenagakerjaan di Perppu berubah secara substansial. Formula penghitungan Upah Minimum (UM) yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu akan memberatkan dunia usaha, mengingat UU Cipta Kerja hanya mencakup satu variabel yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

“Formula upah minimum yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu memberatkan dunia usaha," kata Haryadi dalam konferensi pers, Selasa (3/1/2023).

Mengacu pada Pasal 88D Perppu Cipta Kerja, upah minimum yakni dihitung dengan menggunakan formula penghitungan upah minimum. Formula yang dimaksud adalah dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.

“Ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan upah minimum diatur dalam peraturan pemerintah," demikian bunyi Pasal 88D ayat 3.

Adapun upah minimum yang dimaksud berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun pada perusahaan yang bersangkutan.

Menurut Haryadi, formula upah minimum dalam Perppu akan menyebabkan penyusutan penyerapan tenaga kerja. Karena upah minimum Indonesia berpotensi menjadi yang tertinggi di ASEAN dalam lima tahun mendatang.

Dalam kondisi penciptaan lapangan kerja yang semakin menurun berdasar data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di mana dalam tujuh tahun terakhir, daya serap pekerja turun tidak sampai satu pertiganya. Sehingga kebijakan kenaikan upah berdasar formula Perppu akan semakin membebani dunia usaha.

“Proyeksi yang dilakukan Apindo dengan mengolah dari berbagai sumber menunjukkan bahwa di tahun 2025 upah minimum di Indonesia akan menjadi yang tertinggi di ASEAN," jelasnya.

Selain penetapan upah minimum, pasal menjadi sorotan Apindo yakni mengenai pengaturan alih daya. Dalam Perppu Cipta Kerja, pemerintah membebaskan atau tidak mengatur tentang batasan jenis pekerjaan alih daya atau outsourcing.

“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis,” demikian bunyi Pasal 64 ayat 1 dikutip Tirto.

Dalam aturan itu, pemerintah mengharuskan perusahaan outsourcing merekrut pekerja alih daya lewat salah satu dari dua kontrak kerja, yaitu kontrak kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Ini berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang lama, di amana pekerja outsourcing hanya menggunakan kontrak PKWT. "Hubungan Kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan, didasarkan pada PKWT atau PKWTT," bunyi Pasal 18 ayat (1) PP Nomor 35 Tahun 2021.

Selanjutnya, dalam kontrak PKWT dan PKWTT di semua pasal-pasal pada aturan baru tersebut, pemerintah tak menjelaskan secara rinci apakah pekerja alih daya masih tetap dibatasi hanya untuk jenis pekerjaan tertentu atau sebaliknya diperluas.

Padahal, UU Ketenagakerjaan yang jelas bahwa pekerjaan outsourcing dibatasi untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan penunjang.

“Mengenai alih daya yang diperlukan adalah terciptanya ekosistem yang sehat dan fleksibel untuk menarik investor menciptakan lapangan kerja, maka pembatasan alih daya justru akan membuat tujuan tersebut sulit dicapai," jelas Hariyadi.

Pelaku usaha pun mengharapkan dilibatkan secara aktif dalam penyusunan Peraturan Pemerintah. Aturan operasional yang akan dituangkan dalam PP menunjukkan fleksibilitas yang diperlukan pemerintah untuk antisipasi menghadapi dinamisnya perubahan bidang ketenagakerjaan sesuai tuntutan perkembangan industri dalam hal teknologi, kondisi kerja dan ketrampilan kerja dalam kaitannya dengan pengupahan, pekerja alih daya dan sebagainya.

Pelibatan secara bermakna sebagaimana diperintahkan dalam UU PPP sangat diharapkan Apindo dalam penyusunan sejumlah PP yang diamanatkan Perppu. Melalui proses tersebut diharapkan dapat mengadopsi berbagai pandangan stakeholder terkait.

Libur Pegawai Cuma 1 Hari?

Sejumlah pasal lainnya menuai sorotan adalah mengenai libur pegawai. Pada Pasal 79 ayat 2 huruf b, dijelaskan waktu libur untuk pekerja minimal satu hari dalam seminggu.

Kemudian dalam Pasal 1 huruf a ditulis waktu istirahat wajib diberikan kepada pekerja atau buruh paling sedikit meliputi istirahat antara jam kerja. Paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja.

“Dan istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu," bunyi pasal tersebut dikutip Tirto.

Pasal di atas mengubah ketentuan Pasal 79 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mencantumkan lama libur dua hari.

Dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya menyebutkan secara jelas, istirahat mingguan yang diberikan kepada pekerja, yaitu satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam seminggu.

Walaupun begitu, Perppu Cipta Kerja tetap memungkinkan pekerja untuk mendapatkan libur selama dua hari dalam seminggu sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat 2.

Mengacu pada pasal ini, aturan waktu kerja pekerja meliputi, tujuh jam dalam satu hari dan 40 jam dalam satu minggu untuk enam hari kerja dalam seminggu. Kemudian, delapan jam dalam satu hari dan 40 jam dalam satu minggu untuk lima hari kerja dalam seminggu.

Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja ini. Bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja, maka wajib membayar upah kerja lembur. Namun, ketentuan-ketentuan ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, membantah mengenai aturan libur kerja hanya sehari dalam seminggu. Dia meluruskan, dalam Perppu Cipta Kerja, libur pegawai tetap dua hari dalam seminggu.

“Gak benar (libur 2 hari) dihapus di Perppu Cipta Kerja," kata Indah saat dikonfirmasi Tirto.

Dia menjelaskan ketentuan waktu istirahat tidak berbeda dengan yang telah diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketentuan waktu libur tersebut juga disesuaikan dengan ketentuan mengenai perusahaan yang menggunakan lima hari kerja dan enam hari kerja dalam seminggu.

“Ketentuan waktu libur tersebut disesuaikan dengan ketentuan mengenai waktu kerja yang dimungkinkan kurang dari 5 hari atau bisa juga 6 hari dalam seminggu. Artinya kalau dalam seminggu ada 7 hari, bila perusahaan menetapkan waktu kerja 6 hari, maka waktu libur atau istirahatnya adalah 1 hari," jelasnya.

Begitu pula bila waktu kerja yang diberlakukan 5 hari, maka waktu libur atau istirahatnya tetap 2 hari. Namun jika perusahaan menetapkan waktu kerja 4 hari dalam seminggu, maka waktu istirahatnya menjadi 3 hari.

“Kalau terhadap pekerja diberlakukan hanya 4 hari kerja, maka tentunya waktu istirahatnya menjadi 3 hari,” tuturnya.

Artinya, ketentuan libur dua hari dalam sepekan tetap berlaku. Menurut Indah, hal teknis seperti ini harusnya tercantum dalam peraturan perusahaan atau dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Baca juga artikel terkait PERPPU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz